Macam-macam Sopir Taksi di Bangkok
Bangkok merupakan kota yang sangat
besar menurut saya, itu terlihat ketika pesawat kami sedang dalam proses
landing di Bandara International Don Mueang. Dari atas pesawat tampak gemerlap
lampu kota Bangkok yang berwarna-warni yang di dominasi warna lampu kuning,
mungkin itu lampu pinggiran jalan raya di Bangkok. Sejauh mata memandang,
gemerlap lampu seakan tidak ada batasnya, yang mengindikasikan bahwa Bangkok
memang kota yang sangat besar. Ya jelaslah, kan Bangkok ibukota Thailand.
Sebenarnya Bangkok merupakan
salah satu destinasi wisata wajib di Asia, kota ini terkenal dengan banyak
destinasi wisata baik berupa hal-hal yang kuno maupun modern. Hanya saja,
keindahan itu sedikit terganggu manakala kita harus berbicara dengan penduduk lokal,
sebagian besar penduduk kota ini tidak paham dan tidak mampu berbicara dalam
Bahasa Inggris. Begitupun dengan sopir taksi di Bangkok, saya sendiri beberapa
kali mengalami kesulitan yang mendalam ketika berbicara dengan sopir taksi di
Bangkok. Sedangkan wisata kami waktu itu mewajibkan kami untuk bepergian dengan
menggunakan moda transportasi ini. Walaupun tidak selalu demikian.
Menurut cerita, Bangkok terkenal
dengan sopir taksinya yang nakal, mereka terkadang selalu membikin alasan untuk
mengenakan tarif yang tinggi pada customernya, padahal di dalam taksi sudah
terpasang argometer dan diatasnya tertulis Taxi-Meter. Ini yang saya alami
setibanya kami di kota Bangkok. Memang, salah satu dari client teman saya
membawa banyak koper untuk keperluan kerja dia di Bangkok, dan ternyata bagasi
belakang taksi tersebut sangat sempit, sehingga sebagian koper harus kami
letakkan di kursi depan sebelah sopirnya, dan kami berempat harus berdesakkan
di kursi tengah taksi, sekedar info, dari 4 orang tersebut hanya 1 yang
berbadan kecil hehe... Pada awalnya dia meng-iyakan ketika kami memintanya
untuk menggunakan meter taksi, namun setelah semuanya masuk dia malah bilang
kalau tarif menuju hotel adalah 450 Bath, sayapun segera meng-iyakan lantaran
kondisi sudah capek dan enggan untuk menurunkan koper yang serba berat dari taksi
tersebut. Walaupun tadinya sudah sedikit berdebat dengan si sopir taksi, tapi
ya sudahlah. Itu belum bayar toll sebesar 50 bath dan surcharge lagi 50 bath,
kalau di hitung-hitung total jadi 550 bath untuk perjalanan ke hotel kami di
Bangkok.
Kemudian sayapun mengeluarkan
jurus sok-ramah kepada sopir taksinya dengan mengajak ngobrol, dengan harapan
ketika dia merasa nyaman barangkali hatinya luluh dan menurunkan tarif tadi
hehe...Dan memang ketika sampai di depan hotel, dia menurunkan tarif menjadi 400
bath, alhamdulillah... itupun saya tidak membayar toll karena tidak melalui
jalan toll dan dia tidak menarik surcharge kepada saya sebesar 50 bath. Jadi
kalau di hitung riil, jadinya saya hanya membayar 300 bath, yang 50 bath
katakanlah untuk membayar toll dan 50 bath lagi untuk surcharge. Tapi tetap
lebih mahal memang, karena taksi di rombongan lain hanya membayar 200 bath. Ya
sudahlah, nasib, gak ikut punya duit ini.
Terus ada lagi sopir taksi
yang... bener-bener tidak dapat melakukan komunikasi dengan makhluk asing
seperti saya. Alkisah ibu-ibu di hotel pada kelaparan dan menginginkan saya dan
Mahe, salah seorang anak dari client, untuk membelikan makan malam. Sayapun
sebenarnya kelaparan juga karena baru makan 1 kali pada hari keberangkatan,
kasian emang. Dan waktupun menunjukkan pukul dini hari. FYI, sebagai seorang
muslim, kita akan merasakan kesulitan yang teramat sangat ketika mencari makan
di Bangkok, maksud saya makanan halal. Dan sangat tidak mungkin bagi kami untuk
mencari makanan halal di pinggir jalan pada waktu tengah malam. Jadilah kami
mengaruskan diri untuk menaiki taksi demi sesuap nasi di tengah gelapnya malam.
Kami berdua segera keluar hotel
sesaat setelah perintah mencari makan keluar. Dapatlah kami sebuah taksi dan
segera menaikinya. Di dalam taksi saya bilang kalau kita sedang mencari makan
malam di restoran halal. Pertama saya gunakan bahasa inggris saya yang
sempurna, “can you take us to the halal restaurant to get food for dinner??”
tanya saya. Si sopir taksi hanya melihat dan diam dengan banyak pertanyaan di
otaknya, sejenak kemudian dia segera tersenyum dan bilang “ ha... ha... halal”.
Wadow... ternyata dia tidak mengerti maksud kami, bolak balik dia mengulangi
kata-kata halal dengan tampang tidak mengerti.
Akhirnya saya dan Mahe berusaha
untuk berbicara dengan lebih pelan di sertai bahasa tubuh orang mencari makan.
“we muslim” sambil menunjuk kami berdua, “looking halal food, halal restoran”
sembari memperagakan orang sedang menyuapi mulutnya berulang ulang. Dan dia
hanya tersenyum, kemudian mengelengkan kepalanya tanda tidak mengerti, aduhh...
kami berdua cekikikan mendapati situasi darurat yang serba menggelikan
tersebut. Di satu sisi memang lucu, di sisi lain kami sedang kelaparan dan
mengharuskan kami untuk segera mendapatkan makanan halal buat dinner kami
beserta orang-orang yang menunggu di hotel. Sayapun walaupun tertawa sebenarnya
pengen nangis melihat bapak sopir taksi tidak mengerti maksud kami. Hingga
akhirnya saya memperagakan tangan memasukkan makanan ke mulut dan bilang
“food... food...”. Oh My Gosh... ternyata orang sini memang parah. Diapun
kelihatan sedikit mengerti dan segera melanjutkan perjalanan kami. Pada
akhirnya kamipun selalu menggunakan bahasa tarzan alias ngomong sambil
menggerakkan tubuh untuk menyampaikan pesan kepada si sopir taksi.
Saya berusaha memberitahukan dia
untuk bertanya kepada orang yang mengerti maksud kami dan tanya tentang
restoran halal untuk orang muslim. Alhamdulillah, beberapa saat setelah itu dia
segera bertanya kepada sopir Tuk-tuk di pinggir jalan. Sayapun segera ikut
nimbrung dalam obrolan para alien ini, demi mengetahui dimana restoran halal
berada. Si sopir Tuk-tuk memberi tahu kalau ada restoran India Halal di daerah
Silom. Si sopir taksi segera mengarahkan laju kendaraan dia menuju daerah
Silom. Dia segera bertanya kepada seorang anak muda di pinggiran jalan Silom,
dan si anak muda tersebut bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar,
finally... Langsung kami menuju ke restoran India yang di maksud dan segera
membayar taksi setibanya kami di sana.
Tidak semua sopir taksi tidak
mampu berbahasa Inggris dan “nakal”. Saya sempat mendapati seorang sopir taksi
yang sangat fasih berbahasa inggris dan baik hati. Hal tersebut terjadi ketika
saya bermaksud pulang kembali ke Hostel dari Hotel tempat ibu-ibu vendor
menginap. Namanya Mr.Tamaphon, ingat betul saya. Karena namanya berbeda dengan
kebanyakan orang Thailand, rata-rata nama depan orang Thailand terdiri dari 1
suku kata sepert “Put”, “Nyut”, “Prut” dan masih banyak lagi, ada juga sih sopir
taksi dengan nama “Karueng” tapi cara membacanya harus “Darueng”, aneh ya
jelas-jelas tulisannya pake huruf “K” tapi dia tetap memaksa saya untuk membaca
dengan huruf “D”. Kalau namanya Put,
tinggal di kasi awalan Dam dah jadi kata-kata kasar di Jawa Timur.
Kemudian ada juga sopir taksi
yang buanyak banget omongnya, seperti si Mr.Takaslok seorang sopir taksi yang
mengantar saya dan Bu Titik ke Asiatique Riverfront di malam ke dua. Dengan
bahasa Inggris yang kecampuran logat Thailand yang “mbindeng-mbindeng” alias
sengau gitu, dia dengan pede-nya bercerita banyak hal kepada kami. Seperti
ceritanya tentang tempat kelahirannya di daerah Petchaburi, dekat dengan hotel
First Hotel tempat Ibu-ibu menginap. Dia bilang kalau di situ ada tempat atau
kampung dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Diapun bilang kalau dia
sudah pernah ketemu saya, alias saya sudah pernah menaiki taksinya dia. Wow,
baru sehari di Bangkok saja sudah ada orang yang mampu mengenali saya, hebat
banget. Di sela-sela ceritanya tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak, saya
sebenarnya tidak paham apa yang lucu dari ceritanya. Tapi karena melihat dia
sudah tua saya pun ikut tertawa demi menghormati si Mr Takaslok ini. Sayapun
bilang kepada ibu-ibu bahwa saya sebenarnya gak paham dan ngikut tertawa saja,
si Ibu-ibu di belakangpun ikut tertawa mendengar itu. Eh... si sopir taksinya
malah ketawa lagi dengan kencengnya, aneh...
Yang paling mengesalkan adalah
sopir taksi yang ada di sekitaran Grand Palace atau Wat Phra Kew. Memang sudah
terkenal sih, alias saya sudah paham dengan situasi tersebut. Di mana sang
sopir akan meminta kita untuk berhenti dan berjalan-jalan sebentar selama 10
sampai 15 menit di suatu tempat atau toko demi mendapatkan kupon bensin dari
pemilik toko sebesar 200 bath. Waktu itu selepas tour, saya, bu Nia dan
rombongan, dan bu Dyah dan rombongan berjumlah 7 orang mencari taksi lewat
untuk di tumpangi. Kemudian ada sopir taksi berupa minivan datang dan
menawarkan kami untuk menggunakan jasanya. Karena melihat taksi minivan dan dia
menarif sebesar 100 bath saja maka saya segera setuju. Kebetulan taksi minivan
tersebut bisa memuat 7 orang, jadi bisa lebih hemat menurut saya. Di dalam
taksi yang sudah berjalan, si sopir kemudian bilang sesuatu kepada saya,
tadinya saya tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian saya paham, kalau dia
meminta kami untuk “looking, looking” ke suatu tempat selama 10 menit dulu baru
lanjut ke tujuan akhir kami First Hotel. Waduh, saya baru sadar bahwa hal yang
di maksud di buku sedang terjadi. Sayapun segera bilang “No... No... we don’t
have time” eh dia malah marah-marah dan segera menghentikan mobilnya dan
meminta kami keluar mobil sambil ngomel-ngomel. Jancik banget tuh sopir taksi.
Kesel kami di buatnya, sayapun malu dengan kejadian tersebut pada ibu-ibu dan
segera menjelaskan apa yang terjadi barusan.
(to be cont...)
No comments:
Post a Comment