Saturday, September 14, 2013

   

Bangkok I'm in Lost part 2 - Macam-macam Sopir Taksi di Bangkok



Macam-macam Sopir Taksi di Bangkok

Bangkok merupakan kota yang sangat besar menurut saya, itu terlihat ketika pesawat kami sedang dalam proses landing di Bandara International Don Mueang. Dari atas pesawat tampak gemerlap lampu kota Bangkok yang berwarna-warni yang di dominasi warna lampu kuning, mungkin itu lampu pinggiran jalan raya di Bangkok. Sejauh mata memandang, gemerlap lampu seakan tidak ada batasnya, yang mengindikasikan bahwa Bangkok memang kota yang sangat besar. Ya jelaslah, kan Bangkok ibukota Thailand.

Sebenarnya Bangkok merupakan salah satu destinasi wisata wajib di Asia, kota ini terkenal dengan banyak destinasi wisata baik berupa hal-hal yang kuno maupun modern. Hanya saja, keindahan itu sedikit terganggu manakala kita harus berbicara dengan penduduk lokal, sebagian besar penduduk kota ini tidak paham dan tidak mampu berbicara dalam Bahasa Inggris. Begitupun dengan sopir taksi di Bangkok, saya sendiri beberapa kali mengalami kesulitan yang mendalam ketika berbicara dengan sopir taksi di Bangkok. Sedangkan wisata kami waktu itu mewajibkan kami untuk bepergian dengan menggunakan moda transportasi ini. Walaupun tidak selalu demikian.

Menurut cerita, Bangkok terkenal dengan sopir taksinya yang nakal, mereka terkadang selalu membikin alasan untuk mengenakan tarif yang tinggi pada customernya, padahal di dalam taksi sudah terpasang argometer dan diatasnya tertulis Taxi-Meter. Ini yang saya alami setibanya kami di kota Bangkok. Memang, salah satu dari client teman saya membawa banyak koper untuk keperluan kerja dia di Bangkok, dan ternyata bagasi belakang taksi tersebut sangat sempit, sehingga sebagian koper harus kami letakkan di kursi depan sebelah sopirnya, dan kami berempat harus berdesakkan di kursi tengah taksi, sekedar info, dari 4 orang tersebut hanya 1 yang berbadan kecil hehe... Pada awalnya dia meng-iyakan ketika kami memintanya untuk menggunakan meter taksi, namun setelah semuanya masuk dia malah bilang kalau tarif menuju hotel adalah 450 Bath, sayapun segera meng-iyakan lantaran kondisi sudah capek dan enggan untuk menurunkan koper yang serba berat dari taksi tersebut. Walaupun tadinya sudah sedikit berdebat dengan si sopir taksi, tapi ya sudahlah. Itu belum bayar toll sebesar 50 bath dan surcharge lagi 50 bath, kalau di hitung-hitung total jadi 550 bath untuk perjalanan ke hotel kami di Bangkok.

Kemudian sayapun mengeluarkan jurus sok-ramah kepada sopir taksinya dengan mengajak ngobrol, dengan harapan ketika dia merasa nyaman barangkali hatinya luluh dan menurunkan tarif tadi hehe...Dan memang ketika sampai di depan hotel, dia menurunkan tarif menjadi 400 bath, alhamdulillah... itupun saya tidak membayar toll karena tidak melalui jalan toll dan dia tidak menarik surcharge kepada saya sebesar 50 bath. Jadi kalau di hitung riil, jadinya saya hanya membayar 300 bath, yang 50 bath katakanlah untuk membayar toll dan 50 bath lagi untuk surcharge. Tapi tetap lebih mahal memang, karena taksi di rombongan lain hanya membayar 200 bath. Ya sudahlah, nasib, gak ikut punya duit ini.

Terus ada lagi sopir taksi yang... bener-bener tidak dapat melakukan komunikasi dengan makhluk asing seperti saya. Alkisah ibu-ibu di hotel pada kelaparan dan menginginkan saya dan Mahe, salah seorang anak dari client, untuk membelikan makan malam. Sayapun sebenarnya kelaparan juga karena baru makan 1 kali pada hari keberangkatan, kasian emang. Dan waktupun menunjukkan pukul dini hari. FYI, sebagai seorang muslim, kita akan merasakan kesulitan yang teramat sangat ketika mencari makan di Bangkok, maksud saya makanan halal. Dan sangat tidak mungkin bagi kami untuk mencari makanan halal di pinggir jalan pada waktu tengah malam. Jadilah kami mengaruskan diri untuk menaiki taksi demi sesuap nasi di tengah gelapnya malam.

Kami berdua segera keluar hotel sesaat setelah perintah mencari makan keluar. Dapatlah kami sebuah taksi dan segera menaikinya. Di dalam taksi saya bilang kalau kita sedang mencari makan malam di restoran halal. Pertama saya gunakan bahasa inggris saya yang sempurna, “can you take us to the halal restaurant to get food for dinner??” tanya saya. Si sopir taksi hanya melihat dan diam dengan banyak pertanyaan di otaknya, sejenak kemudian dia segera tersenyum dan bilang “ ha... ha... halal”. Wadow... ternyata dia tidak mengerti maksud kami, bolak balik dia mengulangi kata-kata halal dengan tampang tidak mengerti.

Akhirnya saya dan Mahe berusaha untuk berbicara dengan lebih pelan di sertai bahasa tubuh orang mencari makan. “we muslim” sambil menunjuk kami berdua, “looking halal food, halal restoran” sembari memperagakan orang sedang menyuapi mulutnya berulang ulang. Dan dia hanya tersenyum, kemudian mengelengkan kepalanya tanda tidak mengerti, aduhh... kami berdua cekikikan mendapati situasi darurat yang serba menggelikan tersebut. Di satu sisi memang lucu, di sisi lain kami sedang kelaparan dan mengharuskan kami untuk segera mendapatkan makanan halal buat dinner kami beserta orang-orang yang menunggu di hotel. Sayapun walaupun tertawa sebenarnya pengen nangis melihat bapak sopir taksi tidak mengerti maksud kami. Hingga akhirnya saya memperagakan tangan memasukkan makanan ke mulut dan bilang “food... food...”. Oh My Gosh... ternyata orang sini memang parah. Diapun kelihatan sedikit mengerti dan segera melanjutkan perjalanan kami. Pada akhirnya kamipun selalu menggunakan bahasa tarzan alias ngomong sambil menggerakkan tubuh untuk menyampaikan pesan kepada si sopir taksi.

Saya berusaha memberitahukan dia untuk bertanya kepada orang yang mengerti maksud kami dan tanya tentang restoran halal untuk orang muslim. Alhamdulillah, beberapa saat setelah itu dia segera bertanya kepada sopir Tuk-tuk di pinggir jalan. Sayapun segera ikut nimbrung dalam obrolan para alien ini, demi mengetahui dimana restoran halal berada. Si sopir Tuk-tuk memberi tahu kalau ada restoran India Halal di daerah Silom. Si sopir taksi segera mengarahkan laju kendaraan dia menuju daerah Silom. Dia segera bertanya kepada seorang anak muda di pinggiran jalan Silom, dan si anak muda tersebut bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar, finally... Langsung kami menuju ke restoran India yang di maksud dan segera membayar taksi setibanya kami di sana.

Tidak semua sopir taksi tidak mampu berbahasa Inggris dan “nakal”. Saya sempat mendapati seorang sopir taksi yang sangat fasih berbahasa inggris dan baik hati. Hal tersebut terjadi ketika saya bermaksud pulang kembali ke Hostel dari Hotel tempat ibu-ibu vendor menginap. Namanya Mr.Tamaphon, ingat betul saya. Karena namanya berbeda dengan kebanyakan orang Thailand, rata-rata nama depan orang Thailand terdiri dari 1 suku kata sepert “Put”, “Nyut”, “Prut” dan masih banyak lagi, ada juga sih sopir taksi dengan nama “Karueng” tapi cara membacanya harus “Darueng”, aneh ya jelas-jelas tulisannya pake huruf “K” tapi dia tetap memaksa saya untuk membaca dengan  huruf “D”. Kalau namanya Put, tinggal di kasi awalan Dam dah jadi kata-kata kasar di Jawa Timur.

Kemudian ada juga sopir taksi yang buanyak banget omongnya, seperti si Mr.Takaslok seorang sopir taksi yang mengantar saya dan Bu Titik ke Asiatique Riverfront di malam ke dua. Dengan bahasa Inggris yang kecampuran logat Thailand yang “mbindeng-mbindeng” alias sengau gitu, dia dengan pede-nya bercerita banyak hal kepada kami. Seperti ceritanya tentang tempat kelahirannya di daerah Petchaburi, dekat dengan hotel First Hotel tempat Ibu-ibu menginap. Dia bilang kalau di situ ada tempat atau kampung dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Diapun bilang kalau dia sudah pernah ketemu saya, alias saya sudah pernah menaiki taksinya dia. Wow, baru sehari di Bangkok saja sudah ada orang yang mampu mengenali saya, hebat banget. Di sela-sela ceritanya tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak, saya sebenarnya tidak paham apa yang lucu dari ceritanya. Tapi karena melihat dia sudah tua saya pun ikut tertawa demi menghormati si Mr Takaslok ini. Sayapun bilang kepada ibu-ibu bahwa saya sebenarnya gak paham dan ngikut tertawa saja, si Ibu-ibu di belakangpun ikut tertawa mendengar itu. Eh... si sopir taksinya malah ketawa lagi dengan kencengnya, aneh...

Yang paling mengesalkan adalah sopir taksi yang ada di sekitaran Grand Palace atau Wat Phra Kew. Memang sudah terkenal sih, alias saya sudah paham dengan situasi tersebut. Di mana sang sopir akan meminta kita untuk berhenti dan berjalan-jalan sebentar selama 10 sampai 15 menit di suatu tempat atau toko demi mendapatkan kupon bensin dari pemilik toko sebesar 200 bath. Waktu itu selepas tour, saya, bu Nia dan rombongan, dan bu Dyah dan rombongan berjumlah 7 orang mencari taksi lewat untuk di tumpangi. Kemudian ada sopir taksi berupa minivan datang dan menawarkan kami untuk menggunakan jasanya. Karena melihat taksi minivan dan dia menarif sebesar 100 bath saja maka saya segera setuju. Kebetulan taksi minivan tersebut bisa memuat 7 orang, jadi bisa lebih hemat menurut saya. Di dalam taksi yang sudah berjalan, si sopir kemudian bilang sesuatu kepada saya, tadinya saya tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian saya paham, kalau dia meminta kami untuk “looking, looking” ke suatu tempat selama 10 menit dulu baru lanjut ke tujuan akhir kami First Hotel. Waduh, saya baru sadar bahwa hal yang di maksud di buku sedang terjadi. Sayapun segera bilang “No... No... we don’t have time” eh dia malah marah-marah dan segera menghentikan mobilnya dan meminta kami keluar mobil sambil ngomel-ngomel. Jancik banget tuh sopir taksi. Kesel kami di buatnya, sayapun malu dengan kejadian tersebut pada ibu-ibu dan segera menjelaskan apa yang terjadi barusan.
(to be cont...)

No comments:

Post a Comment

Recent Comments