Thursday, September 25, 2014

   

"Dieng Cultural Festival" part 1



DIENG CULTURAL FESTIVAL
Prosesi Pemotongan Rambut Gembel

Dieng Plateau
Dataran tinggi Dieng atau dalam bahasa inggrisnya di sebut Dieng Plateau, sebuah tempat yang teristimewa yang berada di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Dieng berarti Di Hyang yang bermakna Sang Pencipta atau Tuhan. Sejak ribuan tahun silam Dataran Tinggi Dieng sudah terjamah peradaban manusia, terbukti dari sisa peninggalan purbakala berupa kompleks percandian seperti Kompleks Candi Arjuna, yang dulunya adalah sebuah biara bagi umat Hindu yang tinggal di wilayah tersebut.

Walaupun sudah ribuan tahun tersentuh peradaban manusia, dataran tinggi Dieng sejatinya adalah sebuah area yang diliputi potensi bahaya yang sangat mematikan. Karena wilayah ini secara geologi merupakan kaldera atau kawah aktif dari gunung api purba raksasa. Banyak kawah-kawah kecil bermunculan di sana sini yang setiap detiknya menyemburkan gas-gas beracun maupun asap uap air yang pekat. Oleh sebab itulah, dataran tinggi Dieng memiliki tanah yang sangat subur, hingga mengundang manusia untuk bercocok tanam berbagai sayuran dan tumbuhan lain hingga menetap di dalamnya.

Disana-sini tampak kebun sayur yang menghijau meliputi punggung perbukitan yang berbentuk terasering. Sebuah kekayaan alam Indonesia yang begitu dekat dengan bahaya, kontras tapi nyata adanya. Sewaktu-waktu, apabila gunung api purba tersebut menunjukkan gejala keaktifannya, maka ia takkan segan untuk merenggut ratusan bahkan ribuan jiwa penghuninya. Sebagaimana yang terjadi pada tragedi kawah Sinila di tahun 1979 silam. Sebuah kawah aktif yang meletus akibat goncangan gempa bumi dan menimbulkan banyak rekahan yang mengeluarkan gas beracun CO2, hingga menyebabkan nyawa 149 orang melayang.

Disamping potensi bahaya yang nyata, Dieng Plateau merupakan sebuah dataran tinggi yang sangat indah. Terdapat deretan gunung yang mengelilinginya seperti gunung Sindoro, gunung Sumbing, gunung Prau dan perbukitan lainnya. Bahkan Sunrise di bukit Sikunir merupakan salah satu yang terindah di Asia menurut sebagian orang. Telaga Warna adalah salah satu destinasi yang wajib dikunjungi wisatawan. Sebuah danau dengan gradasi warna air yang apik, mulai dari hijau keputihan di area pinggir danau hingga warna tosca dan hijau jamrud di tengah-tengahnya. Warna-warni air ini di sebabkan oleh formasi sedimentasi yang terus berganti-ganti lantaran Telaga Warna sendiri merupakan area munculnya gas gunung api, dibuktikan dengan gelembung-gelembung gas yang bermunculan di mana-mana.

The Way to Paradise
Tahun ini saya berkesempatan untuk mengunjungi Dataran Tinggi Dieng, sebuah moment istimewa. Karena pada saat itu festival bertajuk “Dieng Cultural Festival” berlangsung. Banyak agenda wisata yang sangat rugi untuk dilewatkan, seperti pagelaran seni budaya berupa tarian tradisional, pagelaran wayang kulit hingga puncaknya pemotongan rambut gembel anak-anak Dataran Tinggi Dieng. Juga tak lupa pesta lampion dan kembang api hingga pentas music Jazz bertajuk Jazz Atas Awan.

Jum’at sore 29 Agustus 2014, saya bergegas menuju Terminal Bungurasih untuk dijemput salah seorang traveler team dari Krian. Kali ini saya pergi dengan TAT (Travelistar Adventure Team) yang baru, yang saya sebut TAT2. Dengan anggota tim yang berbeda dari biasanya, mereka adalah teman-teman baru saya yang berawal dari sebuah perkenalan di Kedai Wani bulan puasa silam. TAT2 kali ini beranggotakan Saya, Pimen, Ardhi, Ayog dan Hanif. Saya baru berkenalan dengan Ayog dan Hanif di rumah Ardhi di Krian.

Kami berangkat menggunakan mobil avanza sewaan berwarna putih sekitar pukul 21.00 wib. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 14 jam. Di tengah jalan di wilayah Mojokerto kami sempatkan untuk makan malam dengan menu nasi goreng, kecuali Pimen yang memilih Soto Daging kala itu. Saya takjub dengan pola makan Pimen yang hanya membutuhkan waktu tidak sampai 3 menit untuk menghabiskan makanan didepannya. Saya sempat berfikir, “Ini anak makan apa tidak dikunyah ya”. Yang lainpun juga heran, lantas si Hanif menyebut mulut Pimen pantas sebagai penghuni neraka, lantaran tahan terhadap panas makanan yang dilahapnya. Yang lainpun ikut tertawa mendengarnya.

Sebagian besar waktu perjalanan kami habiskan dengan tertidur, kecuali Ardhi yang memegang kemudi dan Pimen yang menemaninya sambil ngobrol. Hingga sesampainya di daerah Magelang, kami sempatkan untuk berhenti sejenak disebuah masjid untuk bersih-bersih badan. Kemudian Ayog menggantikan Ardhi memegang kemudi di sisa perjalanan. Kami berhenti kembali untuk sarapan di daerah… ah saya lupa namanya, yang jelas tempat itu dekat dengan rumah nenek si Ayog. Sebelum singgah di rumah makan, kami sempat menyaksikan sebuah truk bermuatan kayu yang terguling di pinggir jalan.

Makanan kali ini sungguh nikmat, berbagai hidangan ala pedesaan tersaji dalam bentuk prasmanan di rumah makan tersebut. Berbagai ornamen rumah makan khas pedesaanpun tampak di dalamnya, seperti kerupuk dalam kaleng kotak dengan kaca di sisi depan, camilan dalam toples kaca tebal dengan tutup toples berbentuk bulat di puncaknya, hingga berbagai gorengan lokal seperti bakwan, tahu isi goreng, tahu bacem dan masih banyak lagi. Berbagai masakan lezatpun tersaji apik dalam etalase kaca yang cukup besar didepan meja kasir pemilik rumah makan. Kembali saya menyaksikan adegan makan Pimen yang super cepat.

Usai makan, kami sempatkan untuk membahas pemasukan dan pengeluaran yang telah kami lakukan dalam perjalanan. Sempat terjadi bersih tegang antara Ayog dan Ardhi. Lantaran terjadi perbedaan hitung-hitungan, Ayog merasa hitung-hitungan uangnya sudah klop, tapi Ardhi merasa bahwa ada sebagian uangnya yang tidak lengkap. Saya sendiri ikut pusing melihatnya, hingga Pimen turun tangan untuk menengahinya agar tidak terjadi baku hantam antara mereka. Pimen memaksa Ardhi untuk mengingat kembali semua pengeluaran yang telah ia lakukan di luar kebutuhan trip. Hingga akhirnya Ardhi teringat bahwa ia sempat meminjamkan sebagian uangnya ke seorang teman sebelum berangkat. Usai sudah adegan drama di dalam rumah makan itu, baku hantampun dapat dielakkan. Dan kami segera melanjutkan perjalanan.

Memasuki wilayah kabupaten Wonosobo, kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Jalanan mulai berkelok-kelok dan naik turun. Di kejauhan tampak Gunung Sindoro berdiri dengan gagahnya, perbukitan hijau disekitarnya menambah indah pemandangan. Lahan kebun sayur berbentuk terasering terbentang di hampir semua sisi punggung perbukitan. Sungguh potongan surga yang terjatuh ke bumi. Udara mulai terasa sejuk ketika saya membuka jendela kaca mobil, AC pun kami matikan demi menikmatinya, tampak pula beberapa pemukiman penduduk dan pasar dalam perjalanan di Wilayah Wonosobo tersebut. Saya sempat melihat seorang anak kecil laki-laki berambut panjang kemerahan dengan bentuk rambut Gimbal khas, yang orang sini sebut sebagai rambut Gembel yang melegenda. Perjalanan ke Dataran Tinggi Dieng masih sekitar 13 km lagi, namun menjadi terasa dekat lantaran kami menikmati indahnya alam.

Tak berapa lama kami sudah sampai di pintu gerbang bertulisan “Kawasan Dieng Plateau”. Lega rasanya kami telah sampai di tujuan. Namun semakin kami mendekati area festival, jalanan mulai terasa sesak oleh mobil dan pejalan kaki yang memiliki tujuan sama dengan kami. Kemacetan parah terjadi di jalanan sekitar Kompleks Candi Arjuna. Kebodohan para pengunjung yang memarkirkan kendaraan roda empat di depat homestay masing-masing menjadi penyebab utama kemacetan tersebut. Padahal panitia acara telah menyediakan lapangan parkir yang cukup luas untuk menampung ratusan kendaraan roda empat. Kesitulah kami akan parkir kendaraan.

Kentang Goreng Nikmat
Setelah bersusah payah menuju lapangan parkir, hunting tiket festival menjadi target kami selanjutnya. Langsung kami menuju booth panitia di dekat Indomaret depan jalan masuk ke area Candi Arjuna. Beres dengan tiket kami kembali ke area depan kompleks candi dan ngopi di sana, kecuali saya yang lebih memilih jajanan kentang goreng seharga 10ribu rupiah. Maklum perut dah berontak untuk di isi. Sembari menikmati hidangan kopi dan jajanan khas Dieng, kami sempatkan untuk bercengkrama dengan pengunjung lain tentang Dieng Cultural Festival dan beberapa spot wisata di sini. Mereka menjelaskan beberapa spot untuk hunting sunrise diantaranya Bukit Sikunir dan Gunung Prau. Menurut mereka sunrise di Gunung Prau lebih indah dari Bukit Sikunir, namun perjalanan memang lebih jauh dan harus mendaki selama kurang lebih 2 jam menuju puncak. Sedangkan Bukit Sikunir hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk menikmati Sunrise di puncaknya.

Usai ngopi, kembali kami menuju mobil. Teman-teman penasaran dengan Telaga Warna yang berlokasi tak jauh dari Kompleks Candi Arjuna. Kesanalah tujuan kami selanjutnya untuk mengisi waktu. Di depan pintu gerbang seorang pemuda mencegat kami. Saya kira dia seorang preman, walaupun tak tampak preman sama sekali. Ternyata dia mau menjelaskan tentang nametag yang kami pakai, bahwa berlaku tiket gratis sekali masuk Telaga Warna menggunakan nametag festival yang kami pakai. Memasuki gerbang menuju Telaga Warna, tampak banyak pengunjung lain yang menggunakan moment festival untuk menikmati banyak spot wisata di wilayah Dieng Plateau, sama seperti kami. Mendekati Telaga Warna, kami tak menemukan spot untuk berfoto karena sesak pengunjung yang lain. Kami putuskan untuk mendaki bukit disisi kanan Telaga Warna melalui jalan setapak yang telah tersedia. Berharap dari atas dapat menemukan spot untuk berfoto dengan background Telaga Warna.

Ternyata jalan menuju puncak bukit tersebut tembus ke Gedung Teater Dieng yang biasanya memutar video dokumentasi tentang Dataran Tinggi Dieng. Di sana berjajar pula warung-warung yang menjajakan makanan khas Dieng seperti Kentang Goreng, Jamur Krispi, Minuman Purwaceng dan lain-lain. Tak jauh dari Gedung Teater tampak jalan terusan menuju puncak bukit dengan nama Pintu Pandang Ratapan Angin. Kesanalah kami melangkahkan kaki selanjutnya. Sampai di puncak kami segera hunting spot untuk berfoto ria. Namun malang, tempat yang kami idamkan sudah di kuasai pengunjung dari Jakarta yang di dominasi cewek-cewek dan banyak di antaranya berupa tante-tante.

Lama saya dan Ardhi menunggu di bawah sebuah batu yang menjadi spot foto, sedang di atas batu  tampak cewek-cewek Jakarta tadi sedang asyik berfoto. Tampang kami yang sudah lemas menunggu  tak menyentuh hati mereka untuk segera turun. Kami berusaha untuk bersabar, mereka dengan santainya naik turun berloncatan hingga menimbulkan debu yang pekat dan mengganggu mata dan pernafasan. Tampak sekali mereka tak menghiraukan orang lain, betapa dongkol hati ini, namun tak ada gunanya juga kalo ngajak berantem rombongan dari Jakarta tersebut. Yang ada malah nanti saya yang babak belur. Yasudahlah, berfoto dari bawah batupun tak mengapa.

Kami putuskan kembali turun, kali ini kami hendak menikmati jajanan khas di warung-warung yang berjajar dekat gedung teater. Dibilang khas sih tidak juga, karena tempe goreng dan jamur krispy sudahlah umum ditempat lain, di tambah kentang goreng yang memang terasa nikmat dilidah saya, apa mungkin saya yang memang lapar ya? Cukup lama kami menikmati hidangan warung sederhana sambil bercanda ria. Tiba waktunya untuk nonton filem, kami bergegas memasuki bangunan teater yang pintunya terbuka lebar. Saking pedenya kami dengan nametag di dada masing-masing, kami kira kami dapat masuk cuma-cuma seperti di telaga warna tadi. Ternyata tidak, kami kembali dicegat seorang petugas untuk membayar sebesar 4ribu rupiah masing-masing. Oh tidak…

Usai sudah acara menonton filem dokumentari, tak banyak yang bisa dikomentari dari filem tadi selain kualitas gambarnya yang sudah tak layak tonton. Mungkin karena umur filem sendiri yang sudah lebih dari satu dekade tanpa ada upaya pembuatan ulang.

Joke-joke Goblok
Kami melaju menuruni bukit menuju ke Telaga Warna. Saya sempatkan untuk sholat di sebuah musholla kecil tepat di ujung jalan. Usai sholat, tampak teman-teman yang lain sedang bersantai di pinggiran bangunan musholla. Saya segera ikut nimbrung, kembali mulut kami tak mampu ditahan untuk tidak saling melempar joke (candaan), mulai dari ngomongin bule yang sedari tadi tampak lalu-lalang seolah dia berada dimana-mana, penilaian terhadap para cewek yang menurut kami aduhai, hingga tukang foto kelilingpun tak lepas dari joke kami, bosok emang hahaha. Tak jauh dari kami, seorang tukang foto keliling sedang menawarkan jasa potret langsung jadinya “Foto langsung cetak, foto langsung cetak, 20ribu saja”, Ardhipun tak mau kalah, dia bilang “Foto 10ribu, foto 10ribu, kirim email, kirim email”. “Wakakaka…” yang lain langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Benar-benar kurang ajar mulut-mulut TAT2 kali ini.

Segera kami keluar menuju parkiran mobil, kami sempatkan pula untuk mengisi perut. Ketika yang lain memilih menu soto ayam, saya memiih menu berbeda. Kali ini saya memilih sendiri menu makanannya dengan harapan bisa lebih murah dari yang lain. Kembali kami bercanda satu sama lain, tak lupa pula mengkritik orang-orang yang berada di sekitar kami. Pertama si Ayog yang jengkel dengan seorang koko dari kejauhan dengan menyebutnya Ciko, saya sendiri sedari tadi dipanggil olehnya Ciko jadinya penasaran makna panggilan tersebut. Ternyata Ciko kepanjangan “Cino Koplo”, jancik, saya pikir saya dipanggil Koko atau Ciko, yang tadinya saya anggap cukup “keren” kini terasa menyesakkan dada, asyu...

Tidak berhenti di situ, seorang juru parkir berewokanpun tak lepas dari cibiran kami. Saking tebelnya berewok si bapak sampai saya bilang “Itu kalau bapaknya mau wudhu sudah ndak bingung cari air”. “Lho kenapa Ko?” sahut seorang teman. “Iya, jenggotnya kan mampu menampung air, karena memiliki sifat menyerap air, tinggal peras” jawab saya, “Wahahaha…” yang lain tak tahan menahan tawa. Si Ardhi segera menambah “Iya, kalo mau cuci muka juga gak bingung, tinggal pegang brewoknya dan di usapkan ke wajah, beres”. “Wakakaka” tak henti-hentinya kami tertawa. Entah setelah itu kami ngobrol tentang apa, namun mengarah ke kegiatan “cawik” ato bersih-bersih setelah BAB. Kembali si Ardhi komentar “Kalau cawik pake ini bisa” sambil menunjuk ke sebuah entong (alat untuk mengambil nasi) kecil yang tergantung di depan jendela. Sayapun tak sadar langsung menyahut “Maksudmu di kerok gitu abis e’ek”. “Wakakaka…”Kembali meledak tawa kami hingga membahana. Ternyata kami sama-sama gilanya ya.

Usai makan, waktunya membayar tiba. Masing-masing soto ayam seharga 13ribu, sedangkan makanan saya yang terdiri dari sambal goreng tahu tempe, ayam goreng ditambah irisan ikan tongkol goreng seharga… eng ing eng…  DUA PULUH LIMA RIBU RUPIAH… Oh My Gosh, yang tadinya pengen lebih murah malah jadi yang TERMAHAL hahaha… tembelek kong king, eh king kong emang… Tak pelak, berbagai komentar bermunculan. Kembali komentar si Ardhi yang paling menyakitkan, dia bilang ”Ko… abis ini jangan e’ek dulu sampai Surabaya, eman makanan 25ribu hahaha”

Pesta Lampion dan Agenda Rahasia
Nah, kini saatnya menunggu malam tiba. Karena akan ada acara menerbangkan lampion bersama banyak orang di lapangan yang berada di dekat kompleks Candi Arjuna. Di parkiran mobil kami segera persiapan menuju lokasi. Malam itu terasa sangat dingin, masing-masing dari kami memakai pakaian setebal mungkin. Saya yang hanya mengandalkan jaket sweater, sarung tangan dan sebuah kerpus masih terasa kedinginan. Terutama daerah kaki yang hanya berbalut celana kain hitam. Untungnya ada selembar kain batik yang kami dapat dari membeli tiket siang tadi. Segera kain batik tersebut saya pasang menutupi area pantat hingga lutut. Kini pantat saya tidak terasa terlalu dingin.

Kami sempatkan untuk mengunjungi booth souvenir kaos bertemakan Dieng Cultural Festival atau Jazz Atas Awan. Beberapa dari kami membelinya, saya sendiri tak tega menyentuh display kaos di situ lantaran budget yang tidak berdaya. Kemudian kami datang ke tengah lapangan, saya kebagian bakar jagung. Di depan bara api, saya merasakan kenikmatan yang luar biasa. Betapa tidak, kehangatan bara api membuat saya lupa bahwa tadi saya merasa kedinginan luar biasa. Saya sempat mengobrol dengan mbak-mbak dari Jogja yang pernah berkuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hingga jagung bakar kami matang, saatnya menikmati malam dengan santapan jagung bakar di tangan, lumayan pengganti makan malam.

Tak berapa lama kami melihat beberapa pengunjung sudah menyalakan lampion mereka. Satu-satu lampion mulai beterbangan. Wah… inilah saat yang kami tunggu-tunggu, Pesta Lampion. Semakin lama semakin banyak lampion yang terbang menghiasi langit malam dengan bintang-bintangnya yang gemerlap. Benar-benar pemandangan yang indah luar biasa. Bukan hanya indah dengan lampion yang menghias langit, tapi perasaan kebersamaan kami yang membuat suasana semakin menyenangkan. Ribuan orang dari penjuru Indonesia tumpah ruah di lapangan itu dengan tujuan dan aktifitas yang sama. Walau kami tak saling kenal, tapi kami merasa bersatu dalam suasana cerah malam berhias lampion dan gemintang di angkasa. Saya dan TAT2 lainnya tak menyia-nyiakan waktu, segera kami nyalakan lampion kami. Sambil tak lupa untuk mengambil gambar masing-masing saat memegang lampion yang siap di terbangkan. Saya juga sempatkan untuk mengambil video beberapa kali.

Si Hanif diam-diam memiliki agenda rahasia, saya diajaknya pergi kesuatu tempat sambil memegang kameranya yang tergantung dileher saya. Dalam perjalanan saya merasa curiga, kok tiba-tiba dia mengajak saya ke suatu tempat berdua saja. Semakin kami menjauhi teman-teman yang lain semakin was-was hati saya. Jangan-jangan dia mau berbuat jahat kepada saya, lantaran kami baru kenal sehari sebelumnya.

Tibalah kami di depan sebuah gedung dengan pintu masuk tanpa daun pintu, tampak orang berlalu-lalang keluar masuk bangunan tersebut. Dan dengan segera Hanif melepaskan semua atribut dan pakaian yang menempel di tubuhnya. Mulai dari sepatu, jaket hingga scarf dan penutup kepala dia tanggalkan dengan tergesa-gesa. Perasaan saya semakin tidak karuan lantaran dilokasi tersebut tampak gelap. Setelah selesai menanggalkan atributnya dia segera pergi masuk ke dalam gedung tadi dengan cepat. Saya kira mau ngapain, eh kebelet e’ek ternyata hahaha…

Sayapun menjadi babu penunggu pakaian dan atribut Hanif untuk sekian lama. Setengah jam kira-kira berlalu, tak ada tanda-tanda si Hanif keluar dari toilet. Yang ada orang lain berlalu-lalang keluar masuk toilet. Untungnya ada tarian tradisional sedang berlangsung dekat lokasi toilet tersebut, walau tak tampak keseluruhan, tapi lumayan untuk mengisi waktu luang menunggu tuan boss e’ek.

Tak lama berselang, pesta kembang api di mulai dari lokasi pesta lampion. Tiung tiung derr… bunyi gemuruh kembang api berbagai bentuk dan warna menghias angkasa. Apa mau dikata, saya harus melihat pesta kembang api dari depan toilet menunggui barang-barang boss Hanif. Tapi tak apalah, daripada tidak sama sekali. Kira-kira setengah jam berlalu dan pesta kembang api masih membahana. Hanya saja pertanyaannya adalah, kok masboss Hanif nggak keluar keluar ya? Bedegelen kali ya hahah.
Akhirnya keluar juga dia, saya pikir sudah mati membeku di dalam toilet. Tanpa pikir panjang saya tinggalkan menuju keramaian, berharap dapat view yang lebih baik untuk melihat dan menshoot kembang api. Untungnya masih ada 3 menit sebelum pesta kembang api usai.

Sekembalinya ke tempat kami berkumpul, kami putuskan untuk kembali ke mobil di lapangan parkir. Ditengah jalan, tepatnya di pinggiran agar berbalut kain mori putih kami terhenti. Tak lain karena spot tersebut sangat sempurna untuk Photo Session, latar belakang berupa candi Arjuna dengan sorot lampu warna-warni bergantian. Sorot lampu kebiruan dari arah panggung Jazz Atas Awan menambah suasana lebih dramatis. Bergantian kami ambil foto dengan fotografer andalan bernama Ayog Baunista hahaha…

Selang beberapa waktu kamipun kembali ke mobil, segera masing-masing memasukkan badan kedalam sleeping bag yang kami bawa dari rumah. Kecuali si koplak mulut neraka Pimen, dia tidak membawa sleeping bag dan hanya menggunakan 2 lembar sarung yang saya bawa dari Surabaya. Itupun paginya dia masih mengeluh kedinginan. Tidak bisa saya bayangkan kalau saya tidak membawa sarung-sarung itu, bisa membeku si Pimen.

Tidur kami cukup pulas, dibuktikan dengan suara mengigau si Ayog dan Ardhi yang saling sahut- menyahut. Sayapun tak melewatkan tertidur dengan dengkuran maut. Kami berharap pukul 03.00 pagi nanti terbangun untuk hunting sunrise di Bukit Sikunir. Namun apa mau dikata, ketika pertama kali saya membuka mata, silau matahari sudah tembus kedalam mobil. Kami kesiangan...

to be cont...

No comments:

Post a Comment

Recent Comments