DIENG CULTURAL FESTIVAL
Dieng Plateau
Dataran tinggi Dieng atau
dalam bahasa inggrisnya di sebut Dieng Plateau, sebuah tempat yang teristimewa
yang berada di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Dieng berarti Di Hyang yang
bermakna Sang Pencipta atau Tuhan. Sejak ribuan tahun silam Dataran Tinggi
Dieng sudah terjamah peradaban manusia, terbukti dari sisa peninggalan
purbakala berupa kompleks percandian seperti Kompleks Candi Arjuna, yang
dulunya adalah sebuah biara bagi umat Hindu yang tinggal di wilayah tersebut.
Walaupun sudah ribuan tahun
tersentuh peradaban manusia, dataran tinggi Dieng sejatinya adalah sebuah area
yang diliputi potensi bahaya yang sangat mematikan. Karena wilayah ini secara
geologi merupakan kaldera atau kawah aktif dari gunung api purba raksasa.
Banyak kawah-kawah kecil bermunculan di sana sini yang setiap detiknya
menyemburkan gas-gas beracun maupun asap uap air yang pekat. Oleh sebab itulah,
dataran tinggi Dieng memiliki tanah yang sangat subur, hingga mengundang
manusia untuk bercocok tanam berbagai sayuran dan tumbuhan lain hingga menetap
di dalamnya.
Disana-sini tampak kebun sayur
yang menghijau meliputi punggung perbukitan yang berbentuk terasering. Sebuah
kekayaan alam Indonesia yang begitu dekat dengan bahaya, kontras tapi nyata
adanya. Sewaktu-waktu, apabila gunung api purba tersebut menunjukkan gejala
keaktifannya, maka ia takkan segan untuk merenggut ratusan bahkan ribuan jiwa
penghuninya. Sebagaimana yang terjadi pada tragedi kawah Sinila di tahun 1979
silam. Sebuah kawah aktif yang meletus akibat goncangan gempa bumi dan
menimbulkan banyak rekahan yang mengeluarkan gas beracun CO2, hingga
menyebabkan nyawa 149 orang melayang.
Disamping potensi bahaya yang
nyata, Dieng Plateau merupakan sebuah dataran tinggi yang sangat indah.
Terdapat deretan gunung yang mengelilinginya seperti gunung Sindoro, gunung
Sumbing, gunung Prau dan perbukitan lainnya. Bahkan Sunrise di bukit Sikunir
merupakan salah satu yang terindah di Asia menurut sebagian orang. Telaga Warna
adalah salah satu destinasi yang wajib dikunjungi wisatawan. Sebuah danau
dengan gradasi warna air yang apik, mulai dari hijau keputihan di area pinggir
danau hingga warna tosca dan hijau jamrud di tengah-tengahnya. Warna-warni air
ini di sebabkan oleh formasi sedimentasi yang terus berganti-ganti lantaran
Telaga Warna sendiri merupakan area munculnya gas gunung api, dibuktikan dengan
gelembung-gelembung gas yang bermunculan di mana-mana.
The Way to Paradise
Tahun ini saya berkesempatan
untuk mengunjungi Dataran Tinggi Dieng, sebuah moment istimewa. Karena pada
saat itu festival bertajuk “Dieng Cultural Festival” berlangsung. Banyak agenda
wisata yang sangat rugi untuk dilewatkan, seperti pagelaran seni budaya berupa
tarian tradisional, pagelaran wayang kulit hingga puncaknya pemotongan rambut
gembel anak-anak Dataran Tinggi Dieng. Juga tak lupa pesta lampion dan kembang
api hingga pentas music Jazz bertajuk Jazz Atas Awan.
Jum’at sore 29 Agustus 2014,
saya bergegas menuju Terminal Bungurasih untuk dijemput salah seorang traveler
team dari Krian. Kali ini saya pergi dengan TAT (Travelistar Adventure Team)
yang baru, yang saya sebut TAT2. Dengan anggota tim yang berbeda dari biasanya,
mereka adalah teman-teman baru saya yang berawal dari sebuah perkenalan di
Kedai Wani bulan puasa silam. TAT2 kali ini beranggotakan Saya, Pimen, Ardhi,
Ayog dan Hanif. Saya baru berkenalan dengan Ayog dan Hanif di rumah Ardhi di
Krian.
Kami berangkat menggunakan
mobil avanza sewaan berwarna putih sekitar pukul 21.00 wib. Perjalanan
menghabiskan waktu sekitar 14 jam. Di tengah jalan di wilayah Mojokerto kami
sempatkan untuk makan malam dengan menu nasi goreng, kecuali Pimen yang memilih
Soto Daging kala itu. Saya takjub dengan pola makan Pimen yang hanya
membutuhkan waktu tidak sampai 3 menit untuk menghabiskan makanan didepannya.
Saya sempat berfikir, “Ini anak makan apa tidak dikunyah ya”. Yang lainpun juga
heran, lantas si Hanif menyebut mulut Pimen pantas sebagai penghuni neraka,
lantaran tahan terhadap panas makanan yang dilahapnya. Yang lainpun ikut
tertawa mendengarnya.
Sebagian besar waktu
perjalanan kami habiskan dengan tertidur, kecuali Ardhi yang memegang kemudi
dan Pimen yang menemaninya sambil ngobrol. Hingga sesampainya di daerah
Magelang, kami sempatkan untuk berhenti sejenak disebuah masjid untuk
bersih-bersih badan. Kemudian Ayog menggantikan Ardhi memegang kemudi di sisa
perjalanan. Kami berhenti kembali untuk sarapan di daerah… ah saya lupa
namanya, yang jelas tempat itu dekat dengan rumah nenek si Ayog. Sebelum
singgah di rumah makan, kami sempat menyaksikan sebuah truk bermuatan kayu yang
terguling di pinggir jalan.
Makanan kali ini sungguh
nikmat, berbagai hidangan ala pedesaan tersaji dalam bentuk prasmanan di rumah
makan tersebut. Berbagai ornamen rumah makan khas pedesaanpun tampak di
dalamnya, seperti kerupuk dalam kaleng kotak dengan kaca di sisi depan, camilan
dalam toples kaca tebal dengan tutup toples berbentuk bulat di puncaknya,
hingga berbagai gorengan lokal seperti bakwan, tahu isi goreng, tahu bacem dan
masih banyak lagi. Berbagai masakan lezatpun tersaji apik dalam etalase kaca
yang cukup besar didepan meja kasir pemilik rumah makan. Kembali saya
menyaksikan adegan makan Pimen yang super cepat.
Usai makan, kami sempatkan
untuk membahas pemasukan dan pengeluaran yang telah kami lakukan dalam
perjalanan. Sempat terjadi bersih tegang antara Ayog dan Ardhi. Lantaran
terjadi perbedaan hitung-hitungan, Ayog merasa hitung-hitungan uangnya sudah
klop, tapi Ardhi merasa bahwa ada sebagian uangnya yang tidak lengkap. Saya
sendiri ikut pusing melihatnya, hingga Pimen turun tangan untuk menengahinya
agar tidak terjadi baku hantam antara mereka. Pimen memaksa Ardhi untuk
mengingat kembali semua pengeluaran yang telah ia lakukan di luar kebutuhan
trip. Hingga akhirnya Ardhi teringat bahwa ia sempat meminjamkan sebagian uangnya
ke seorang teman sebelum berangkat. Usai sudah adegan drama di dalam rumah
makan itu, baku hantampun dapat dielakkan. Dan kami segera melanjutkan
perjalanan.
Memasuki wilayah kabupaten
Wonosobo, kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Jalanan mulai
berkelok-kelok dan naik turun. Di kejauhan tampak Gunung Sindoro berdiri dengan
gagahnya, perbukitan hijau disekitarnya menambah indah pemandangan. Lahan kebun
sayur berbentuk terasering terbentang di hampir semua sisi punggung perbukitan.
Sungguh potongan surga yang terjatuh ke bumi. Udara mulai terasa sejuk ketika
saya membuka jendela kaca mobil, AC pun kami matikan demi menikmatinya, tampak
pula beberapa pemukiman penduduk dan pasar dalam perjalanan di Wilayah Wonosobo
tersebut. Saya sempat melihat seorang anak kecil laki-laki berambut panjang
kemerahan dengan bentuk rambut Gimbal khas, yang orang sini sebut sebagai
rambut Gembel yang melegenda. Perjalanan ke Dataran Tinggi Dieng masih sekitar
13 km lagi, namun menjadi terasa dekat lantaran kami menikmati indahnya alam.
Tak berapa lama kami sudah
sampai di pintu gerbang bertulisan “Kawasan Dieng Plateau”. Lega rasanya kami
telah sampai di tujuan. Namun semakin kami mendekati area festival, jalanan
mulai terasa sesak oleh mobil dan pejalan kaki yang memiliki tujuan sama dengan
kami. Kemacetan parah terjadi di jalanan sekitar Kompleks Candi Arjuna.
Kebodohan para pengunjung yang memarkirkan kendaraan roda empat di depat homestay
masing-masing menjadi penyebab utama kemacetan tersebut. Padahal panitia acara
telah menyediakan lapangan parkir yang cukup luas untuk menampung ratusan
kendaraan roda empat. Kesitulah kami akan parkir kendaraan.
Kentang Goreng Nikmat
Setelah bersusah payah menuju
lapangan parkir, hunting tiket festival menjadi target kami selanjutnya.
Langsung kami menuju booth panitia di dekat Indomaret depan jalan masuk ke area
Candi Arjuna. Beres dengan tiket kami kembali ke area depan kompleks candi dan
ngopi di sana, kecuali saya yang lebih memilih jajanan kentang goreng seharga
10ribu rupiah. Maklum perut dah berontak untuk di isi. Sembari menikmati
hidangan kopi dan jajanan khas Dieng, kami sempatkan untuk bercengkrama dengan
pengunjung lain tentang Dieng Cultural Festival dan beberapa spot wisata di
sini. Mereka menjelaskan beberapa spot untuk hunting sunrise diantaranya Bukit
Sikunir dan Gunung Prau. Menurut mereka sunrise di Gunung Prau lebih indah dari
Bukit Sikunir, namun perjalanan memang lebih jauh dan harus mendaki selama
kurang lebih 2 jam menuju puncak. Sedangkan Bukit Sikunir hanya membutuhkan
waktu sekitar 15 menit untuk menikmati Sunrise di puncaknya.
Usai ngopi, kembali kami
menuju mobil. Teman-teman penasaran dengan Telaga Warna yang berlokasi tak jauh
dari Kompleks Candi Arjuna. Kesanalah tujuan kami selanjutnya untuk mengisi
waktu. Di depan pintu gerbang seorang pemuda mencegat kami. Saya kira dia
seorang preman, walaupun tak tampak preman sama sekali. Ternyata dia mau
menjelaskan tentang nametag yang kami pakai, bahwa berlaku tiket gratis sekali
masuk Telaga Warna menggunakan nametag festival yang kami pakai. Memasuki
gerbang menuju Telaga Warna, tampak banyak pengunjung lain yang menggunakan
moment festival untuk menikmati banyak spot wisata di wilayah Dieng Plateau, sama
seperti kami. Mendekati Telaga Warna, kami tak menemukan spot untuk berfoto karena
sesak pengunjung yang lain. Kami putuskan untuk mendaki bukit disisi kanan
Telaga Warna melalui jalan setapak yang telah tersedia. Berharap dari atas
dapat menemukan spot untuk berfoto dengan background Telaga Warna.
Ternyata jalan menuju puncak
bukit tersebut tembus ke Gedung Teater Dieng yang biasanya memutar video
dokumentasi tentang Dataran Tinggi Dieng. Di sana berjajar pula warung-warung
yang menjajakan makanan khas Dieng seperti Kentang Goreng, Jamur Krispi,
Minuman Purwaceng dan lain-lain. Tak jauh dari Gedung Teater tampak jalan
terusan menuju puncak bukit dengan nama Pintu Pandang Ratapan Angin. Kesanalah
kami melangkahkan kaki selanjutnya. Sampai di puncak kami segera hunting spot
untuk berfoto ria. Namun malang, tempat yang kami idamkan sudah di kuasai
pengunjung dari Jakarta yang di dominasi cewek-cewek dan banyak di antaranya
berupa tante-tante.
Lama saya dan Ardhi menunggu
di bawah sebuah batu yang menjadi spot foto, sedang di atas batu tampak cewek-cewek Jakarta tadi sedang asyik
berfoto. Tampang kami yang sudah lemas menunggu tak menyentuh hati mereka untuk segera turun. Kami
berusaha untuk bersabar, mereka dengan santainya naik turun berloncatan hingga
menimbulkan debu yang pekat dan mengganggu mata dan pernafasan. Tampak sekali
mereka tak menghiraukan orang lain, betapa dongkol hati ini, namun tak ada
gunanya juga kalo ngajak berantem rombongan dari Jakarta tersebut. Yang ada
malah nanti saya yang babak belur. Yasudahlah, berfoto dari bawah batupun tak
mengapa.
Kami putuskan kembali turun,
kali ini kami hendak menikmati jajanan khas di warung-warung yang berjajar
dekat gedung teater. Dibilang khas sih tidak juga, karena tempe goreng dan
jamur krispy sudahlah umum ditempat lain, di tambah kentang goreng yang memang
terasa nikmat dilidah saya, apa mungkin saya yang memang lapar ya? Cukup lama
kami menikmati hidangan warung sederhana sambil bercanda ria. Tiba waktunya
untuk nonton filem, kami bergegas memasuki bangunan teater yang pintunya
terbuka lebar. Saking pedenya kami dengan nametag di dada masing-masing, kami
kira kami dapat masuk cuma-cuma seperti di telaga warna tadi. Ternyata tidak,
kami kembali dicegat seorang petugas untuk membayar sebesar 4ribu rupiah
masing-masing. Oh tidak…
Usai sudah acara menonton
filem dokumentari, tak banyak yang bisa dikomentari dari filem tadi selain
kualitas gambarnya yang sudah tak layak tonton. Mungkin karena umur filem
sendiri yang sudah lebih dari satu dekade tanpa ada upaya pembuatan ulang.
Joke-joke Goblok
Kami melaju menuruni bukit
menuju ke Telaga Warna. Saya sempatkan untuk sholat di sebuah musholla kecil
tepat di ujung jalan. Usai sholat, tampak teman-teman yang lain sedang
bersantai di pinggiran bangunan musholla. Saya segera ikut nimbrung, kembali
mulut kami tak mampu ditahan untuk tidak saling melempar joke (candaan), mulai
dari ngomongin bule yang sedari tadi tampak lalu-lalang seolah dia berada
dimana-mana, penilaian terhadap para cewek yang menurut kami aduhai, hingga
tukang foto kelilingpun tak lepas dari joke kami, bosok emang hahaha. Tak jauh
dari kami, seorang tukang foto keliling sedang menawarkan jasa potret langsung
jadinya “Foto langsung cetak, foto langsung cetak, 20ribu saja”, Ardhipun tak
mau kalah, dia bilang “Foto 10ribu, foto 10ribu, kirim email, kirim email”.
“Wakakaka…” yang lain langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Benar-benar
kurang ajar mulut-mulut TAT2 kali ini.
Segera kami keluar menuju
parkiran mobil, kami sempatkan pula untuk mengisi perut. Ketika yang lain
memilih menu soto ayam, saya memiih menu berbeda. Kali ini saya memilih sendiri
menu makanannya dengan harapan bisa lebih murah dari yang lain. Kembali kami
bercanda satu sama lain, tak lupa pula mengkritik orang-orang yang berada di
sekitar kami. Pertama si Ayog yang jengkel dengan seorang koko dari kejauhan
dengan menyebutnya Ciko, saya sendiri sedari tadi dipanggil olehnya Ciko
jadinya penasaran makna panggilan tersebut. Ternyata Ciko kepanjangan “Cino
Koplo”, jancik, saya pikir saya dipanggil Koko atau Ciko, yang tadinya saya
anggap cukup “keren” kini terasa menyesakkan dada, asyu...
Tidak berhenti di situ,
seorang juru parkir berewokanpun tak lepas dari cibiran kami. Saking tebelnya
berewok si bapak sampai saya bilang “Itu kalau bapaknya mau wudhu sudah ndak
bingung cari air”. “Lho kenapa Ko?” sahut seorang teman. “Iya, jenggotnya kan
mampu menampung air, karena memiliki sifat menyerap air, tinggal peras” jawab
saya, “Wahahaha…” yang lain tak tahan menahan tawa. Si Ardhi segera menambah
“Iya, kalo mau cuci muka juga gak bingung, tinggal pegang brewoknya dan di usapkan
ke wajah, beres”. “Wakakaka” tak henti-hentinya kami tertawa. Entah setelah itu
kami ngobrol tentang apa, namun mengarah ke kegiatan “cawik” ato bersih-bersih
setelah BAB. Kembali si Ardhi komentar “Kalau cawik pake ini bisa” sambil
menunjuk ke sebuah entong (alat untuk mengambil nasi) kecil yang tergantung di
depan jendela. Sayapun tak sadar langsung menyahut “Maksudmu di kerok gitu abis
e’ek”. “Wakakaka…”Kembali meledak tawa kami hingga membahana. Ternyata kami
sama-sama gilanya ya.
Usai makan, waktunya membayar
tiba. Masing-masing soto ayam seharga 13ribu, sedangkan makanan saya yang
terdiri dari sambal goreng tahu tempe, ayam goreng ditambah irisan ikan tongkol
goreng seharga… eng ing eng… DUA PULUH
LIMA RIBU RUPIAH… Oh My Gosh, yang tadinya pengen lebih murah malah jadi yang
TERMAHAL hahaha… tembelek kong king, eh king kong emang… Tak pelak, berbagai
komentar bermunculan. Kembali komentar si Ardhi yang paling menyakitkan, dia
bilang ”Ko… abis ini jangan e’ek dulu sampai Surabaya, eman makanan 25ribu
hahaha”
Pesta Lampion dan Agenda Rahasia
Nah, kini saatnya menunggu
malam tiba. Karena akan ada acara menerbangkan lampion bersama banyak orang di
lapangan yang berada di dekat kompleks Candi Arjuna. Di parkiran mobil kami
segera persiapan menuju lokasi. Malam itu terasa sangat dingin, masing-masing
dari kami memakai pakaian setebal mungkin. Saya yang hanya mengandalkan jaket
sweater, sarung tangan dan sebuah kerpus masih terasa kedinginan. Terutama
daerah kaki yang hanya berbalut celana kain hitam. Untungnya ada selembar kain
batik yang kami dapat dari membeli tiket siang tadi. Segera kain batik tersebut
saya pasang menutupi area pantat hingga lutut. Kini pantat saya tidak terasa
terlalu dingin.
Kami sempatkan untuk
mengunjungi booth souvenir kaos bertemakan Dieng Cultural Festival atau Jazz
Atas Awan. Beberapa dari kami membelinya, saya sendiri tak tega menyentuh
display kaos di situ lantaran budget yang tidak berdaya. Kemudian kami datang
ke tengah lapangan, saya kebagian bakar jagung. Di depan bara api, saya
merasakan kenikmatan yang luar biasa. Betapa tidak, kehangatan bara api membuat
saya lupa bahwa tadi saya merasa kedinginan luar biasa. Saya sempat mengobrol
dengan mbak-mbak dari Jogja yang pernah berkuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hingga jagung bakar kami matang, saatnya menikmati malam dengan santapan jagung
bakar di tangan, lumayan pengganti makan malam.
Tak berapa lama kami melihat
beberapa pengunjung sudah menyalakan lampion mereka. Satu-satu lampion mulai
beterbangan. Wah… inilah saat yang kami tunggu-tunggu, Pesta Lampion. Semakin
lama semakin banyak lampion yang terbang menghiasi langit malam dengan
bintang-bintangnya yang gemerlap. Benar-benar pemandangan yang indah luar
biasa. Bukan hanya indah dengan lampion yang menghias langit, tapi perasaan
kebersamaan kami yang membuat suasana semakin menyenangkan. Ribuan orang dari
penjuru Indonesia tumpah ruah di lapangan itu dengan tujuan dan aktifitas yang
sama. Walau kami tak saling kenal, tapi kami merasa bersatu dalam suasana cerah
malam berhias lampion dan gemintang di angkasa. Saya dan TAT2 lainnya tak
menyia-nyiakan waktu, segera kami nyalakan lampion kami. Sambil tak lupa untuk
mengambil gambar masing-masing saat memegang lampion yang siap di terbangkan.
Saya juga sempatkan untuk mengambil video beberapa kali.
Si Hanif diam-diam memiliki
agenda rahasia, saya diajaknya pergi kesuatu tempat sambil memegang kameranya
yang tergantung dileher saya. Dalam perjalanan saya merasa curiga, kok
tiba-tiba dia mengajak saya ke suatu tempat berdua saja. Semakin kami menjauhi
teman-teman yang lain semakin was-was hati saya. Jangan-jangan dia mau berbuat
jahat kepada saya, lantaran kami baru kenal sehari sebelumnya.
Tibalah kami di depan sebuah
gedung dengan pintu masuk tanpa daun pintu, tampak orang berlalu-lalang keluar
masuk bangunan tersebut. Dan dengan segera Hanif melepaskan semua atribut dan
pakaian yang menempel di tubuhnya. Mulai dari sepatu, jaket hingga scarf dan
penutup kepala dia tanggalkan dengan tergesa-gesa. Perasaan saya semakin tidak
karuan lantaran dilokasi tersebut tampak gelap. Setelah selesai menanggalkan
atributnya dia segera pergi masuk ke dalam gedung tadi dengan cepat. Saya kira
mau ngapain, eh kebelet e’ek ternyata hahaha…
Sayapun menjadi babu penunggu
pakaian dan atribut Hanif untuk sekian lama. Setengah jam kira-kira berlalu,
tak ada tanda-tanda si Hanif keluar dari toilet. Yang ada orang lain
berlalu-lalang keluar masuk toilet. Untungnya ada tarian tradisional sedang
berlangsung dekat lokasi toilet tersebut, walau tak tampak keseluruhan, tapi
lumayan untuk mengisi waktu luang menunggu tuan boss e’ek.
Tak lama berselang, pesta
kembang api di mulai dari lokasi pesta lampion. Tiung tiung derr… bunyi gemuruh
kembang api berbagai bentuk dan warna menghias angkasa. Apa mau dikata, saya
harus melihat pesta kembang api dari depan toilet menunggui barang-barang boss
Hanif. Tapi tak apalah, daripada tidak sama sekali. Kira-kira setengah jam
berlalu dan pesta kembang api masih membahana. Hanya saja pertanyaannya adalah,
kok masboss Hanif nggak keluar keluar ya? Bedegelen kali ya hahah.
Akhirnya keluar juga dia, saya
pikir sudah mati membeku di dalam toilet. Tanpa pikir panjang saya tinggalkan
menuju keramaian, berharap dapat view yang lebih baik untuk melihat dan
menshoot kembang api. Untungnya masih ada 3 menit sebelum pesta kembang api
usai.
Sekembalinya ke tempat kami
berkumpul, kami putuskan untuk kembali ke mobil di lapangan parkir. Ditengah
jalan, tepatnya di pinggiran agar berbalut kain mori putih kami terhenti. Tak
lain karena spot tersebut sangat sempurna untuk Photo Session, latar belakang
berupa candi Arjuna dengan sorot lampu warna-warni bergantian. Sorot lampu
kebiruan dari arah panggung Jazz Atas Awan menambah suasana lebih dramatis.
Bergantian kami ambil foto dengan fotografer andalan bernama Ayog Baunista
hahaha…
Selang beberapa waktu kamipun
kembali ke mobil, segera masing-masing memasukkan badan kedalam sleeping bag
yang kami bawa dari rumah. Kecuali si koplak mulut neraka Pimen, dia tidak
membawa sleeping bag dan hanya menggunakan 2 lembar sarung yang saya bawa dari
Surabaya. Itupun paginya dia masih mengeluh kedinginan. Tidak bisa saya
bayangkan kalau saya tidak membawa sarung-sarung itu, bisa membeku si Pimen.
Tidur kami cukup pulas,
dibuktikan dengan suara mengigau si Ayog dan Ardhi yang saling sahut- menyahut.
Sayapun tak melewatkan tertidur dengan dengkuran maut. Kami berharap pukul
03.00 pagi nanti terbangun untuk hunting sunrise di Bukit Sikunir. Namun apa
mau dikata, ketika pertama kali saya membuka mata, silau matahari sudah tembus
kedalam mobil. Kami kesiangan...
to be cont...
No comments:
Post a Comment