na-Si(b) Mbah Pejuang itu...
Sesekali nafasku terasa sesak,
seminggu lebih kurasakan sakitku ini tanpa henti. Terkadang aku merasa aku bisa
berlari, kemudian tubuhku terasa drop lagi. Teringat hasil trial yang tidak
begitu memuaskan beberapa hari yang lalu. Aku tak dapat menyalahkan mereka yang
tak bisa datang waktu itu, lantaran masing-masing punya kegiatan pentingnya
sendiri-sendiri. Atau bisa jadi kegiatan penting itu disepakati setelah
kesepakatan trial, aku tak tahu. Sebagian yang lain juga sedang sakit,
sebagaimana sakitnya aku waktu itu. Tapi aku tetap datang, karena memang belum
begitu parah dan belum begitu terasa di pagi harinya.
Akupun telah mempersiapkan apa
yang seharusnya aku persiapkan sebagai tour guide kelak, walaupun memang belum
begitu matang karena aku memang masih amatir. Tapi yang paling menyesakkan
adalah keterlambatan para team member yang menurutku sudah parah. Memang tidak
separah pada acara-acara pengajian yang hingga beberapa jam berlalu setelah jam
di undangan, acara belum juga di mulai. Tidak, tidak separah itu. Namun
kesepakatan adalah tetap kesepakatan, apa susahnya memenuhi kesepakatan yang
telah disepakati. Apa iya di seluruh pelosok Indonesia semuanya berperilaku
begini semua. Ah aku tak tahu, yang jelas, aku merasa hanya aku saja saat itu
yang bersemangat untuk memenuhi kesepakatan yang telah disepakati oleh semua
pihak. Atau akunya saja yang terlalu bersemangat? Bisa jadi. Yang aku ingat
kesepakatannya adalah jam 09.00 tim mulai berkumpul, sehingga sekitar jam 09.30
acara bisa dimulai dan jam 10.00 pagi sudah bisa berangkat trial.
Namun aku tak boleh terlalu
mempermasalahkannya, karena itu bukan solusi. Solusinya adalah bagaimana trial
tersebut tetap jalan sesuai jadwal dengan segala kondisi yang ada. Tapi memang
semangatku sempat turun, dan saat itu juga gejala sakitku mulai terasa. Akupun
memutuskan untuk lanjut.
Tetapi untungnya ada seorang
mbah di tempat itu yang setia menemaniku sambil menunggu teman-temanku.
Sehingga aku merasa tidak sendirian. Si mbah terlihat kurus kecil dengan
seragam batiknya berwarna coklat. Berpeci gelap bundar dan terlihat beberapa
helai rambut putihnya yang terkadang ikut bergoyang seiring dengan tiupan
angin, yang memang terasa agak kencang waktu itu. Lucu, karena waktu berbicara
dan tertawa si mbah hanya mampu menunjukkan beberapa giginya yang masih ada.
Kini aku merasa tak sendiri. Dengan kondisi bb yang rusak, aku tak tau lagi apa
yang harus kuperbuat dalam waktu kurang lebih satu setengah jam itu. Mungkin
aku hanya bisa membaca buku-buku yang kubawa dalam tas favoritku berwarna
merah.
Si mbah memulai pembicaraan
dengan menanyakan hendak ngapain aku di tempat itu. Wajar, karena
sepengetahuanku si mbah memang setiap harinya di jam-jam tersebut selalu berada
di tempat itu. Sepertinya sudah menjadi kegiatan si mbah untuk beristirahat di
tempat itu pada jam tersebut. Akupun menjawab, bahwa aku dan teman-temanku akan
ada meeting di sini, bahwa setelah meeting tersebut kami akan mengadakan sebuah
trial tour untuk paket wisata kami yang baru akan dijalankan. Bingung memang, karena
harus menjelaskan semua itu dalam bahasa Jawa halus, bahasanya si mbah. Aku
memang paham ketika mendengarnya, tapi tidak untuk menjawab dalam kalimat yang
sempurna. Sesekali aku juga hanya mengangguk ketika mendengar sebuah kata dalam
kalimat si mbah yang tak aku mengerti. Cukup susah ketika dua generasi sedang
bercakap-cakap dalam sebuah keakraban berbalut cara Jawa. Dengan dua
latarbelakang budaya yang berbeda pula, aku tidak mengatakan bahwa aku sudah
kehilangan budaya ke-Jawa-anku, hanya saja kalau menyangkut bahasa Jawa halus,
sepertinya aku harus menyerah.
Kembali angin dipagi itu
berhembus begitu kencangnya dari arah barat. Hingga terkadang aku harus menutup
mataku sesaat, lantaran menghindari debu yang terbawa si angin. Mendengar
penjelasanku dalam bahasa campuran, Jawa halus,Indonesia bahkan tercampur Jawa
kasar, si mbah hanya mengangguk saja, dan tersenyum. Diapun mulai bercerita,
dan aku mendekatkan badanku ke arah si mbah, berharap semua ucapannya dapat aku
dengar dan ku mengerti.
Dia bercerita tentang masa
perang, dimana saat itu daerah trowulan bukanlah sebuah pengecualian. Bahwa di
salah satu situs Majapahit bernama Gapura Wringin Lawang, pernah pula menjadi
saksi perang. Aku menduga yang di bicarakan si mbah adalah tentang perang kemerdekaan
yang terjadi antara tahun 1945 hingga tahun 1949. Waktu itu si mbah masih muda,
belum kawin dan tergabung dalam sebuah laskar perjuangan bernama BKR atau Badan
Keamanan Rakyat. Di ceritakan oleh si mbah, bahwa di lokasi gapura kuno
tersebut, merupakan markas atau kantong perlawanan para pejuang. Dan karena
memiliki kekuatan mistis – menurut si mbah -
maka gapura tersebut tak mempan di bom dari udara oleh pesawat pengebom
Belanda. Si mbah pernah melihat sendiri betapa banyak pesawat tempur Belanda yang
menjatuhkan bom di sekitaran lokasi gapura tersebut, tapi tak satupun bom
tersebut terjatuh tepat di lokasi di mana para pejuang bermarkas. Bom-bom
tersebut selalu jatuh di sekitaran gapura, entah di jalanan atau di persawahan
sekitar gapura. Dia bilang itu karena kekuatan dari para raja masa Majapahit
yang masih ada, hingga si mbah sendiri menyebutnya ‘Gapurane Ratu’ atau pintu
gerbangnya raja.
Sejenak kemudian si mbah
bertanya kepadaku tentang dari mana asalku dan siapa namaku. Ketika ku jawab,
si mbah tiba-tiba mendekat ke arahku dan seolah menginginkanku untuk
mengulanginya lagi. Akupun paham, dan segera mengulanginya dengan sedikit
berteriak. Sepertinya memang faktor usia, pendengaran si mbah kelihatannya
sudah banyak menurun. Kemudian diapun tersenyum dengan beberapa giginya yang
masih ada, akupun spontan ikut tersenyum melihatnya. Betapa lucunya obrolan
ini, hatiku bergumam.
Si mbah segera melanjutkan
cerita menariknya seputar peperangan yang terjadi di wilayah ini. Waktu itu
para serdadu Belanda bermarkas di sekitar pertigaan desa lengkong. Memang,
ketika agresi militer Belanda yang di mulai tahun 1945 tersebut,
wilayah-wilayah di Indonesia terutama di Jawa, terbagi menjadi kantong-kantong
kekuasaan Belanda dan kantong Republik. Saat itu Surabaya sudah merupakan
wilayah kekuasaan Belanda, sehingga para pejuang mundur dan menyebar di
pedalaman dan kota-kota kecil sekitar surabaya seperti di Sidoarjo, Gresik,
Lamongan, Mojokerto dan Jombang. Sehingga peperangan sering meletus di wilayah-wilayah
tersebut. Si mbah bercerita bahwa salah satu spot peperangan berada di Desa
Mejayan kecamatan Trowulan, di sebuah persawahan. Di situ terjadi adegan
tembak-menembak antara serdadu Belanda dan para pejuang. Kemudian para serdadu
Belanda yang mati, maka mayatnya segera di potong-potong oleh para pejuang dan
di masukkan kedalam kantong sak atau kantong beras. Segera kantong-kantong
tersebut di bawa ke daerah lengkong, entah diapakan setelah itu si mbah tidak
tahu. Akupun tak dapat bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi dengan
kantong-kantong berisi potongan mayat Belanda tersebut. Aku hanya bisa menduga
saja, mungkin itu merupakan taktik para pejuang untuk menyurutkan keberanian
para serdadu Belanda yang bermarkas di desa Lengkong dengan membuang kantong potongan
mayat teman mereka di sekitaran markas mereka. Atau mungkin juga para pejuang
segera membuang kantong-kantong tesebut ke sungai Brantas.
Aku segera menyela si mbah dan
menawarkannya minum kopi. Adalah sebuah kebiasaan di sini, apabila hendak
menawarkan minuman kepada orang lain, maka kopi akan menjadi urutan pertama
dalam penawaran tersebut. Sedang aku sendiri bukanlah penyuka kopi, jadi agak
dilema memang. Aku harus memastikan bahwa yang aku tawari memang penyuka kopi
atau minmal peminum kopi, baru aku pesankan ke warung terdekat. Itu yang
terjadi pada penawaranku kepada si mbah, dan seperti biasa si mbah dengan halus
menolak, tapi aku harus memberikan si mbah sesuatu untuk di minum. Karena waktu
itu obrolan kami sangat hangat hingga membuat tenggorokanku kering, di tambah
angin yang memang lagi kencang-kencangnya berhembus. Setelah memastikan kalau
si mbah memang peminum kopi, aku segera pamit ke warung tidak jauh dari tempat
kami mengobrol. Aku sendiri waktu itu memesan es degan kesukaanku dan segera
mengambil gorengan enam buah, ote-ote, pisang goreng dan tempe gimbal.
Lumayanlah buat mengganjal perut.
Sekembalinya aku dari memesan
minuman di warung aku segera meminta si mbah untuk melanjutkan ceritanya,
karena jarang-jarang kita bertemu para saksi sejarah yang masih hidup hingga
kini. Si mbah menurutku bukanlah merupakan saksi sejarah saja, tetapi beliau
adalah pelaku sejarah. Beliau bercerita bahwa, ketika itu sekitar tahun 70-an,
sebenarnya dia diundang ke Surabaya untuk mendapat hadiah dan penghargaan dari
pemerintah Indonesia atas perjuangannya di masa silam. Namun, lantaran
kesibukannya berdagang waktu itu, dia tidak dapat menghadiri dan mendapatkan
penghargaan itu. “Menyesal memang, tapi bukanlah sesuatu yang harus disesali
sepanjang masa”, kata si mbah dalam bahasa Jawa. Akupun hanya ikut terisak
dalam hati mendengar ucapan si mbah yang haru itu.
Si mbah kembali bercerita,
kali ini semasa penjajahan Jepang. Menurut si mbah, para penjajah Jepang
sebenarnya berjasa terhadap kemerdekaan Indonesia. Karena merekalah yang
melatih para pejuang untuk berperang, alias pelatihan militer. Seperti dengan di
bentuknya PETA, tapi sebenarnya maksud pelatihan tersebut adalah untuk membantu
Jepang untuk memenangkan peperangan yang di ciptakannya yaitu Perang Asia Timur
Raya. Hanya saja, pada saat moment yang tepat, yaitu setelah proklamasi
kemerdekaan, para pejuang Indonesia memanfaatkan keahlian tersebut untuk
berjuang mengusir serdadu Belanda yang ingin bercokol kembali di Nusantara.
Mereka melatih para pejuang yang lain untuk mampu memegang senjata dan
menggunakannya juga taktik perang yang lain.
Hanya saja, meski Jepang sudah
berjasa mem-pintar-kan orang indonesia, istilah si mbah, jaman penjajahan
Jepang adalah jaman yang paling sengsara bagi rakyat Indonesia. Jepang pada
waktu itu berusaha untuk mengeruk kekayaan dan hasil bumi di Nusantara dan
mengeksploitasi rakyat secara besar-besaran. Hingga untuk makanpun susah,
bahkan mendapatkan pakaian layak saja tak mampu. Waktu itu para lelaki hanya
menggunakan sebuah celana pendek terbuat dari ‘bago’ atau kantong beras yang
terbuat dari kain kasar berwarna coklat. Dimana terdapat banyak serangga
penghisap darah atau orang Jawa biasa menyebutnya ‘tinggi’. Aku terdiam
sejenak, berusaha merasakan apa yang baru saja di ceritakan oleh si mbah, ah
susah ternyata, karena memang aku tak pernah memakai celana semacam itu.
Walaupun aku pernah merasakan gigitan serangga tersebut ketika menuntut ilmu di
salah satu Ponpes di Jombang. Tak dapat ku bayangkan betapa sakitnya memakai
celana pendek berisi serangga-serangga penghisap darah tersebut. Kembali si
mbah melanjutkan ceritanya, setiap siang hari, orang-orang itu akan menjemur
celana ‘bago’nya di bawah panas matahari. Hingga mereka dapat melihat puluhan
bahkan ratusan serangga kecil tersebut keluar dan mati tersengat sinar
matahari. Kemudian mereka harus makan berupa ransum yang sebenarnya tak pantas
untuk menjadi makanan manusia. Begitu parahnya perlakuan penjajah Jepang
terhadap rakyat Indonesia, yang anehnya hingga saat ini kita di ajari untuk
menyebut mereka sebagai saudara tua. Sungguh sebutan yang sangat tidak
menghargai dan menghormati kesengsaraan para pendahulu kita atas perlakuan
bangsa Jepang tersebut.
Kemudian aku segera menambahi
cerita si mbah. bahwa sebenarnya rakyat kita masih beruntung walaupun buntung
juga dalam prosesnya, tidak seperti negara tetangga, kita masih dapat pelatihan
perang dari Jepang. Sehingga ketika penjajah Belanda hendak kembali berkuasa,
kita mampu mengusirnya. Di Malaysia, menurut salah seorang pelaku sejarahnya
dalam sebuah filem dokumentari, bahwa rakyat Malaysia merasa tidak mampu hidup
sendiri tanpa penjajah Inggris. Namun saat kedatangan tentara Jepang, sebagian
dari mereka sadar bahwa tanpa Inggris pun mereka sebenarnya mampu hidup. Hingga
sebagian dari mereka waktu itu mulai berfikiran untuk memerdekaan negaranya,
walau namun akhirnya yang terjadi adalah sebuah negara “Merdeka” ciptaan
Inggris, lantaran rakyatnya tak mampu berjuang dengan senjata. Hanya berjuang
secara opini dan gerakan massa.
Tak lama kemudian sekitar jam
10.11 seorang kawan tim datang bersama istri dan anaknya yang segera ku sambut
dengan jabat tangan sebagaimana biasanya. Maka segera ku akhiri perbincanganku
dengan si mbah berumur sekitar 90 tahunan itu, karena teman-temanku yang lain
juga segera berdatangan untuk segera memulai kegiatan kami. Aku segera
mempersilahkan si mbah untuk beristirahat sebagaimana rutinitasnya selama ini
di tempat itu. Cukup puas rasanya memiliki pengalaman berbincang dengan seorang
pelaku sejarah seperti si mbah. Di mana kita dapat membayangkan langsung apa
yang terjadi sebenarnya sesuai dengan apa yang dirasakan oleh pelaku sejarah
tersbut. Tidak terpaut hanya yang tertulis di buku sejarah yang banyak beredar
di sekolah-sekolah dan pasaran selama ini. Karena menurutku sejarah dalam buku
adalah sebuah ‘Sejarah Versi’.
[...fin...]
No comments:
Post a Comment