Tuesday, August 27, 2013

   

na-Si(b) Mbah Pejuang itu...



na-Si(b) Mbah Pejuang itu...
 
Sesekali nafasku terasa sesak, seminggu lebih kurasakan sakitku ini tanpa henti. Terkadang aku merasa aku bisa berlari, kemudian tubuhku terasa drop lagi. Teringat hasil trial yang tidak begitu memuaskan beberapa hari yang lalu. Aku tak dapat menyalahkan mereka yang tak bisa datang waktu itu, lantaran masing-masing punya kegiatan pentingnya sendiri-sendiri. Atau bisa jadi kegiatan penting itu disepakati setelah kesepakatan trial, aku tak tahu. Sebagian yang lain juga sedang sakit, sebagaimana sakitnya aku waktu itu. Tapi aku tetap datang, karena memang belum begitu parah dan belum begitu terasa di pagi harinya.

Akupun telah mempersiapkan apa yang seharusnya aku persiapkan sebagai tour guide kelak, walaupun memang belum begitu matang karena aku memang masih amatir. Tapi yang paling menyesakkan adalah keterlambatan para team member yang menurutku sudah parah. Memang tidak separah pada acara-acara pengajian yang hingga beberapa jam berlalu setelah jam di undangan, acara belum juga di mulai. Tidak, tidak separah itu. Namun kesepakatan adalah tetap kesepakatan, apa susahnya memenuhi kesepakatan yang telah disepakati. Apa iya di seluruh pelosok Indonesia semuanya berperilaku begini semua. Ah aku tak tahu, yang jelas, aku merasa hanya aku saja saat itu yang bersemangat untuk memenuhi kesepakatan yang telah disepakati oleh semua pihak. Atau akunya saja yang terlalu bersemangat? Bisa jadi. Yang aku ingat kesepakatannya adalah jam 09.00 tim mulai berkumpul, sehingga sekitar jam 09.30 acara bisa dimulai dan jam 10.00 pagi sudah bisa berangkat trial.

Namun aku tak boleh terlalu mempermasalahkannya, karena itu bukan solusi. Solusinya adalah bagaimana trial tersebut tetap jalan sesuai jadwal dengan segala kondisi yang ada. Tapi memang semangatku sempat turun, dan saat itu juga gejala sakitku mulai terasa. Akupun memutuskan untuk lanjut.

Tetapi untungnya ada seorang mbah di tempat itu yang setia menemaniku sambil menunggu teman-temanku. Sehingga aku merasa tidak sendirian. Si mbah terlihat kurus kecil dengan seragam batiknya berwarna coklat. Berpeci gelap bundar dan terlihat beberapa helai rambut putihnya yang terkadang ikut bergoyang seiring dengan tiupan angin, yang memang terasa agak kencang waktu itu. Lucu, karena waktu berbicara dan tertawa si mbah hanya mampu menunjukkan beberapa giginya yang masih ada. Kini aku merasa tak sendiri. Dengan kondisi bb yang rusak, aku tak tau lagi apa yang harus kuperbuat dalam waktu kurang lebih satu setengah jam itu. Mungkin aku hanya bisa membaca buku-buku yang kubawa dalam tas favoritku berwarna merah.

Si mbah memulai pembicaraan dengan menanyakan hendak ngapain aku di tempat itu. Wajar, karena sepengetahuanku si mbah memang setiap harinya di jam-jam tersebut selalu berada di tempat itu. Sepertinya sudah menjadi kegiatan si mbah untuk beristirahat di tempat itu pada jam tersebut. Akupun menjawab, bahwa aku dan teman-temanku akan ada meeting di sini, bahwa setelah meeting tersebut kami akan mengadakan sebuah trial tour untuk paket wisata kami yang baru akan dijalankan. Bingung memang, karena harus menjelaskan semua itu dalam bahasa Jawa halus, bahasanya si mbah. Aku memang paham ketika mendengarnya, tapi tidak untuk menjawab dalam kalimat yang sempurna. Sesekali aku juga hanya mengangguk ketika mendengar sebuah kata dalam kalimat si mbah yang tak aku mengerti. Cukup susah ketika dua generasi sedang bercakap-cakap dalam sebuah keakraban berbalut cara Jawa. Dengan dua latarbelakang budaya yang berbeda pula, aku tidak mengatakan bahwa aku sudah kehilangan budaya ke-Jawa-anku, hanya saja kalau menyangkut bahasa Jawa halus, sepertinya aku harus menyerah.

Kembali angin dipagi itu berhembus begitu kencangnya dari arah barat. Hingga terkadang aku harus menutup mataku sesaat, lantaran menghindari debu yang terbawa si angin. Mendengar penjelasanku dalam bahasa campuran, Jawa halus,Indonesia bahkan tercampur Jawa kasar, si mbah hanya mengangguk saja, dan tersenyum. Diapun mulai bercerita, dan aku mendekatkan badanku ke arah si mbah, berharap semua ucapannya dapat aku dengar dan ku mengerti.

Dia bercerita tentang masa perang, dimana saat itu daerah trowulan bukanlah sebuah pengecualian. Bahwa di salah satu situs Majapahit bernama Gapura Wringin Lawang, pernah pula menjadi saksi perang. Aku menduga yang di bicarakan si mbah adalah tentang perang kemerdekaan yang terjadi antara tahun 1945 hingga tahun 1949. Waktu itu si mbah masih muda, belum kawin dan tergabung dalam sebuah laskar perjuangan bernama BKR atau Badan Keamanan Rakyat. Di ceritakan oleh si mbah, bahwa di lokasi gapura kuno tersebut, merupakan markas atau kantong perlawanan para pejuang. Dan karena memiliki kekuatan mistis – menurut si mbah -  maka gapura tersebut tak mempan di bom dari udara oleh pesawat pengebom Belanda. Si mbah pernah melihat sendiri betapa banyak pesawat tempur Belanda yang menjatuhkan bom di sekitaran lokasi gapura tersebut, tapi tak satupun bom tersebut terjatuh tepat di lokasi di mana para pejuang bermarkas. Bom-bom tersebut selalu jatuh di sekitaran gapura, entah di jalanan atau di persawahan sekitar gapura. Dia bilang itu karena kekuatan dari para raja masa Majapahit yang masih ada, hingga si mbah sendiri menyebutnya ‘Gapurane Ratu’ atau pintu gerbangnya raja.

Sejenak kemudian si mbah bertanya kepadaku tentang dari mana asalku dan siapa namaku. Ketika ku jawab, si mbah tiba-tiba mendekat ke arahku dan seolah menginginkanku untuk mengulanginya lagi. Akupun paham, dan segera mengulanginya dengan sedikit berteriak. Sepertinya memang faktor usia, pendengaran si mbah kelihatannya sudah banyak menurun. Kemudian diapun tersenyum dengan beberapa giginya yang masih ada, akupun spontan ikut tersenyum melihatnya. Betapa lucunya obrolan ini, hatiku bergumam.

Si mbah segera melanjutkan cerita menariknya seputar peperangan yang terjadi di wilayah ini. Waktu itu para serdadu Belanda bermarkas di sekitar pertigaan desa lengkong. Memang, ketika agresi militer Belanda yang di mulai tahun 1945 tersebut, wilayah-wilayah di Indonesia terutama di Jawa, terbagi menjadi kantong-kantong kekuasaan Belanda dan kantong Republik. Saat itu Surabaya sudah merupakan wilayah kekuasaan Belanda, sehingga para pejuang mundur dan menyebar di pedalaman dan kota-kota kecil sekitar surabaya seperti di Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Mojokerto dan Jombang. Sehingga peperangan sering meletus di wilayah-wilayah tersebut. Si mbah bercerita bahwa salah satu spot peperangan berada di Desa Mejayan kecamatan Trowulan, di sebuah persawahan. Di situ terjadi adegan tembak-menembak antara serdadu Belanda dan para pejuang. Kemudian para serdadu Belanda yang mati, maka mayatnya segera di potong-potong oleh para pejuang dan di masukkan kedalam kantong sak atau kantong beras. Segera kantong-kantong tersebut di bawa ke daerah lengkong, entah diapakan setelah itu si mbah tidak tahu. Akupun tak dapat bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi dengan kantong-kantong berisi potongan mayat Belanda tersebut. Aku hanya bisa menduga saja, mungkin itu merupakan taktik para pejuang untuk menyurutkan keberanian para serdadu Belanda yang bermarkas di desa Lengkong dengan membuang kantong potongan mayat teman mereka di sekitaran markas mereka. Atau mungkin juga para pejuang segera membuang kantong-kantong tesebut ke sungai Brantas.

Aku segera menyela si mbah dan menawarkannya minum kopi. Adalah sebuah kebiasaan di sini, apabila hendak menawarkan minuman kepada orang lain, maka kopi akan menjadi urutan pertama dalam penawaran tersebut. Sedang aku sendiri bukanlah penyuka kopi, jadi agak dilema memang. Aku harus memastikan bahwa yang aku tawari memang penyuka kopi atau minmal peminum kopi, baru aku pesankan ke warung terdekat. Itu yang terjadi pada penawaranku kepada si mbah, dan seperti biasa si mbah dengan halus menolak, tapi aku harus memberikan si mbah sesuatu untuk di minum. Karena waktu itu obrolan kami sangat hangat hingga membuat tenggorokanku kering, di tambah angin yang memang lagi kencang-kencangnya berhembus. Setelah memastikan kalau si mbah memang peminum kopi, aku segera pamit ke warung tidak jauh dari tempat kami mengobrol. Aku sendiri waktu itu memesan es degan kesukaanku dan segera mengambil gorengan enam buah, ote-ote, pisang goreng dan tempe gimbal. Lumayanlah buat mengganjal perut.

Sekembalinya aku dari memesan minuman di warung aku segera meminta si mbah untuk melanjutkan ceritanya, karena jarang-jarang kita bertemu para saksi sejarah yang masih hidup hingga kini. Si mbah menurutku bukanlah merupakan saksi sejarah saja, tetapi beliau adalah pelaku sejarah. Beliau bercerita bahwa, ketika itu sekitar tahun 70-an, sebenarnya dia diundang ke Surabaya untuk mendapat hadiah dan penghargaan dari pemerintah Indonesia atas perjuangannya di masa silam. Namun, lantaran kesibukannya berdagang waktu itu, dia tidak dapat menghadiri dan mendapatkan penghargaan itu. “Menyesal memang, tapi bukanlah sesuatu yang harus disesali sepanjang masa”, kata si mbah dalam bahasa Jawa. Akupun hanya ikut terisak dalam hati mendengar ucapan si mbah yang haru itu.

Si mbah kembali bercerita, kali ini semasa penjajahan Jepang. Menurut si mbah, para penjajah Jepang sebenarnya berjasa terhadap kemerdekaan Indonesia. Karena merekalah yang melatih para pejuang untuk berperang, alias pelatihan militer. Seperti dengan di bentuknya PETA, tapi sebenarnya maksud pelatihan tersebut adalah untuk membantu Jepang untuk memenangkan peperangan yang di ciptakannya yaitu Perang Asia Timur Raya. Hanya saja, pada saat moment yang tepat, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan, para pejuang Indonesia memanfaatkan keahlian tersebut untuk berjuang mengusir serdadu Belanda yang ingin bercokol kembali di Nusantara. Mereka melatih para pejuang yang lain untuk mampu memegang senjata dan menggunakannya juga taktik perang yang lain.

Hanya saja, meski Jepang sudah berjasa mem-pintar-kan orang indonesia, istilah si mbah, jaman penjajahan Jepang adalah jaman yang paling sengsara bagi rakyat Indonesia. Jepang pada waktu itu berusaha untuk mengeruk kekayaan dan hasil bumi di Nusantara dan mengeksploitasi rakyat secara besar-besaran. Hingga untuk makanpun susah, bahkan mendapatkan pakaian layak saja tak mampu. Waktu itu para lelaki hanya menggunakan sebuah celana pendek terbuat dari ‘bago’ atau kantong beras yang terbuat dari kain kasar berwarna coklat. Dimana terdapat banyak serangga penghisap darah atau orang Jawa biasa menyebutnya ‘tinggi’. Aku terdiam sejenak, berusaha merasakan apa yang baru saja di ceritakan oleh si mbah, ah susah ternyata, karena memang aku tak pernah memakai celana semacam itu. Walaupun aku pernah merasakan gigitan serangga tersebut ketika menuntut ilmu di salah satu Ponpes di Jombang. Tak dapat ku bayangkan betapa sakitnya memakai celana pendek berisi serangga-serangga penghisap darah tersebut. Kembali si mbah melanjutkan ceritanya, setiap siang hari, orang-orang itu akan menjemur celana ‘bago’nya di bawah panas matahari. Hingga mereka dapat melihat puluhan bahkan ratusan serangga kecil tersebut keluar dan mati tersengat sinar matahari. Kemudian mereka harus makan berupa ransum yang sebenarnya tak pantas untuk menjadi makanan manusia. Begitu parahnya perlakuan penjajah Jepang terhadap rakyat Indonesia, yang anehnya hingga saat ini kita di ajari untuk menyebut mereka sebagai saudara tua. Sungguh sebutan yang sangat tidak menghargai dan menghormati kesengsaraan para pendahulu kita atas perlakuan bangsa Jepang tersebut.

Kemudian aku segera menambahi cerita si mbah. bahwa sebenarnya rakyat kita masih beruntung walaupun buntung juga dalam prosesnya, tidak seperti negara tetangga, kita masih dapat pelatihan perang dari Jepang. Sehingga ketika penjajah Belanda hendak kembali berkuasa, kita mampu mengusirnya. Di Malaysia, menurut salah seorang pelaku sejarahnya dalam sebuah filem dokumentari, bahwa rakyat Malaysia merasa tidak mampu hidup sendiri tanpa penjajah Inggris. Namun saat kedatangan tentara Jepang, sebagian dari mereka sadar bahwa tanpa Inggris pun mereka sebenarnya mampu hidup. Hingga sebagian dari mereka waktu itu mulai berfikiran untuk memerdekaan negaranya, walau namun akhirnya yang terjadi adalah sebuah negara “Merdeka” ciptaan Inggris, lantaran rakyatnya tak mampu berjuang dengan senjata. Hanya berjuang secara opini dan gerakan massa.

Tak lama kemudian sekitar jam 10.11 seorang kawan tim datang bersama istri dan anaknya yang segera ku sambut dengan jabat tangan sebagaimana biasanya. Maka segera ku akhiri perbincanganku dengan si mbah berumur sekitar 90 tahunan itu, karena teman-temanku yang lain juga segera berdatangan untuk segera memulai kegiatan kami. Aku segera mempersilahkan si mbah untuk beristirahat sebagaimana rutinitasnya selama ini di tempat itu. Cukup puas rasanya memiliki pengalaman berbincang dengan seorang pelaku sejarah seperti si mbah. Di mana kita dapat membayangkan langsung apa yang terjadi sebenarnya sesuai dengan apa yang dirasakan oleh pelaku sejarah tersbut. Tidak terpaut hanya yang tertulis di buku sejarah yang banyak beredar di sekolah-sekolah dan pasaran selama ini. Karena menurutku sejarah dalam buku adalah sebuah ‘Sejarah Versi’.
[...fin...]

No comments:

Post a Comment

Recent Comments