Piramid Majapahit
Sesampainya di sekitaran dusun
Demangan desa Poh Kecik kecamatan Dlangu, kami berbelok arah ke kiri menuju ke
sebuah perkampungan yang lumayan modern. Rumah-rumah di kampung tersebut sudah
merupakan rumah permanen yang menunjukkan tingkat ekonomi menengah ke atas. Tak
jauh dari gang masuk kampung, sekitar lima ratus meter, kami tiba di sebuah
tempat yang dengan tegas di awal saya melihat bahwa gundukan batu bata tersebut
membentuk sebuah Piramid tidak sempurna.
Mengapa saya katakan tidak sempurna,
karena sudah banyak bagian bangunan yang berserakan tidak teratur dan sedikit
mengubah bentuk besar awal. Tapi sejauh saya memandang, bangunan tersebut masih
dapat dikatakan mirip dengan bangunan piramid. Inilah yang kang Paidi katakan
sebelumnya sebagai ‘Piramid Majapahit’. Waktu itu saya belum yakin, karena foto
hasil jepretan kang Paidi tidak menampakkan bentuk bangunan yang utuh alias
bagian-bagiannya saja. Namun setelah melihat sendiri, saya jadi yakin kalau
bangunan tersebut berbentuk piramid. Luas bangunan hampir seluas antara tiga
ratus hingga empat ratus meter persegi, dengan dikelilingi pagar tembok
setinggi setengah meter dan di sisi utara bangunan tersebut di tanami dengan
pohon jati yang sekarang kira-kira berumur lima tahun. Kamipun segera memulai
penjelajahan mengarungi berbagai sisi bangunan piramid tersebut.
Sesampainya di
lokasi, saya segera mendekat dan menaiki sisi utara bangunan yang lebih tinggi.
Sepertinya bangunan tersebut memiliki tiga tingkat sebagaimana yang pernah saya
lihat di candi Sukuh. Tingkatan pertama adalah yang paling luas yang memiliki
pelataran melingkar membentuk piramid terpotong. Di situ terdapat jajaran batu
kali berbentuk persegi panjang memanjang yang menghubungkan antara tingkatan
pertama dan yang kedua, atau bisa juga di sebut batu pijakan menuju tingkatan
kedua yang merupakan sebentuk piramid terpotong dan lebih kecil. Di sisi utara
sebelah kanan tingkatan pertama berdiri sebuah bangunan tembok yang masih
terlihat utuh setinggi sekitar kurang dari dua meter. Sebagian besar bangunan
piramid tersebut terdiri dari batu bata besar, kecuali pada tingkatan ketiga
yang di dominasi oleh tumpukan batu kali. Di sekitaran pelataran tingkatan
pertama, tepatnya menempel tembok tingkatan ke dua, berdiri beberapa pohon yang
cukup besar, sepertinya akar pohon-pohon tersebut ikut menjaga bentuk asli
bangunan, buktinya adalah tembok yang saya sebut tadi yang terlihat relatif
lebih utuh daripada di sisi timur yang sudah kelihatan tidak berbentuk. Pada
sekitaran pijakan batu, saya dan Ryan meneliti atau memperhatikan batu-batu
bata besar, di mana pada bagian tengah batu bata tersebut terdapat pola seperti
goresan dua jari yang membentuk- apabila masih utuh- lingkaran atau setengah
lingkaran. Hal itu dapat kami temui di sebagian besar batu bata lainnya.
Batu-batu bata tersebut terlihat lebih tebal dan lebih besar dari batu bata
jaman Majapahit. Menurut analisa kang Paidi, bisa jadi bangunan yang orang
lokal sebut sebagai sebuah ‘Punden’ tersebut umurnya jauh lebih tua daripada
peradaban Majapahit. Hal ini terlihat pertama, dari struktur bangunan secara
keseluruhan sebagai sebuah bentuk Piramid bertingkat. Kedua bahan material
berupa batu bata yang ukurannya jauh lebih besar dari yang dipakai sebagai
bahan bangunan masa Majapahit. Mungkin benar, mungkin juga salah, analisa kami
hanya sebatas perbandingan bentuk fisik saja. Kemudian bentuk yang dikatakan
sebagai ‘Punden Berundak’, apabila mengacu pada pengetahuan sejarah anak SD,
adalah sebuah bentuk bangunan kuno bertingkat-tingkat mengerucut ke atas yang
biasa di gunakan sebagai acara ritual pada jaman sebelum era kerajaan
Hindu-Budha di Indonesia, alias Jaman Pra-sejarah.
Sedangkan analisa saya, pada
jaman dahulu, mungkin ribuan tahun silam, masyarakat Indonesia sudah memiliki
bentuk kekayaan intelektual yang tinggi sehingga mampu menghasilkan bentuk
arsitektur yang megah seperti piramid dan sebagainya, yang menurut peneliti
jaman sekarang adalah ‘sederhana’ dan ‘kurang canggih’. Hal ini dibuktikan
dengan adanya bentuk arsitektur Candi Bodobudur di Magelang, di mana para
arsitekturnya menggabungkan seni arsitektur lokal dan asli Indonesia dengan
seni arsitektur yang di pengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Ketika kita
lihat Candi Borobudur secara utuh, maka akan tampak sebentuk piramid terpotong
dengan pola-pola yang sangat mengesankan. Itu adalah bukti kecanggihan nenek
moyang kita. Sedangkan kasus Piramid yang berada di dusun Demangan desa Poh
Kecik ini, adalah bukti peradaban kuno Jawa yang masih murni dan belum
tersentuh unsur budaya Hindu-budha, yang bisa jadi pada saat jaman
dipergunakannya piramid tersebut, bentuknya akan sangat jauh lebih indah dan
lebih megah, di mana kita saat ini hanya mampu menikmati reruntuhannya saja
yang tak terurus dengan baik.
Pada Tingkatan kedua sebelah
utara, tampak dengan jelas jajaran batu kali berbentuk persegi panjang berdiri
membentuk sebuah tembok yang mengelilingi tingkatan ke tiga. Dimana diatas
jajaran batuan tersebut terdapat tumpukan beberapa lapis batu bata yang juga
membentuk dinding tingkatan ke tiga. Terdapat juga beberapa pohon berdiri
menjulang ke atas di beberapa sudut tingkatan ke dua. Di situ kang Paidi
menunjukkan kepada saya sebuah temuan pecahan yang terbuat dari terakota
berbentuk ukiran yang indah, seperti kumpulan bunga. Yang menurut kang Paidi
itu adalah bukti peninggalan berupa alat yang bersifat keagamaan. Dari situ
dapat kita simpulkan bahwa bangunan tersebut pada jaman dahulu berfungsi sebagai
lokasi ritual keagamaan. Hanya saja pecahan terakota tersebut mirip dengan
bentuk-bentuk yang ada di situs peninggalan keagamaan era Majapahit.
Hal ini mungkin dapat
dijelaskan sebagai berikut. Telah diketahui secara umum bahwa era Kerajaan
Majapahit tidak banyak membangun candi-candi baru yang sifatnya berupa bangunan
keagamaan. Karena pada masa itu tugas kerajaan di fokuskan untuk ekspansi
wilayah dan memajukan perdagangan. Maka dari itu, bangunan-bangunan kuno yang
sifatnya lebih tua dari era Majapahit masih dilestarikan oleh masyarakat
sekitar, dan tetap difungsikan sebagaimana mestinya. Seperti misal Candi Brahu
di Trowulan, dimana tetap di fungsikan sebagai tempat penyimpanan abu para
raja. Padahal candi tersebut sudah ada sebelum jaman Majapahit. Begitu juga
dengan Candi Simping atau yang lebih di kenal dengan nama Candi Penataran di
Blitar. Candi tersebut di bangun pada masa Kerajaan Singosari atau Tumapel.
Bahkan ada yang mengindikasikan bahwa candi tersebut di bangun jauh lebih lama
sebelum kerajaan Singosari. Hal ini dibuktikan dengan adanya material pembangun
candi yang berbeda di tiap bagiannya. Di mana bangunan candi selalu d renovasi
atau di perbaharui oleh kerajaan berkuasa pada jaman yang berbeda, begitu juga
dengan jaman Majapahit. Pada jaman Majapahit, candi Simping juga mengalami
pemugaran dan penambahan bangunan dan masih di gunakan sebagai tempat ritual
kaagamaan terutama untuk para Raja dan keluarga kerajaan.
Sama kasusnya dengan situs
Piramid di desa Poh Kecik, yang mungkin masih dipergunakan oleh penduduk
sekitar untuk upacara keagamaan pada masa Kerajaan Majapahit. Sehingga dapat
ditemukan banyak sisa peninggalan berupa alat-alat upacara keagamaan di tempat
tersebut.
Ketika menaiki ke tingkat
terakhir atau tingkatan ke tiga, ditengah-tengah terdapat bangunan berupa
tumpukan batu kali dan batu bata yang membentuk kerucut ke atas agak meruncing.
Bangunan itu dapat di indikasikan sebagai puncak dari situs Piramid. Di atas
bangunan puncak tersebut, kami jumpai beberapa benda yang unik. Pertama adalah
sebentuk pecahan terakota yang mirip dengan ujung kendi minuman orang Jawa,
kemudian ada beberapa sisa pembakaran dupa di salah satu ujung bangunan itu.
Juga ada sebuah wadah dari tanah liat yang mungkin juga sebagai tempat orang
menancapkan dupa. Selebihnya adalah susunan batu yang menumpuk membentuk
bangunan puncak Piramid.
Di sisi Barat tingkatan ke tiga berdiri sebuah pohon
yang lumayan besar, kemungkinan berasal dari spesies pohon beringin dengan akar
gantungnya yang khas. Akar pohon ini mencengkram kuat dan seolah-olah tak
tergoyahkan oleh apapun disekitarnya dan mampu menjaga struktur bangunan di
tingkatan ketiga.
Beranjak dari tingkatan ke
tiga, kami menuruni sisi selatan dari situs Piramid tersebut. Di tingkatan
pertama sisi selatan, kami menemukan banyak benda terbuat dari terakota
berserakan di bawah pohon di ujung tingkat pertama. Sepertinya ada seseorang
yang sengaja mengumpulkan pecahan-pecahan terakota tersebut. Bukti ketika kang
Paidi menemukannya, pecahan-pecahan tersebut berada di bawah tumpukan material
berupa glangsing, dan sebagiannya lagi berada di dalam sebuah kantong plastik.
Kami segera menganalisa dan berusaha mengenali pecahan tersebut. Ryan dengan
cerdasnya berusaha menggabungkan kembali sebuah bentuk dasar gentong yang
membentuk lingkaran. Ada pula pecahan yang menyerupai ujung genteng rumah orang
Jawa yang berukir melingkar. Juga bentuk terakota berukir lainnya yang tidak
sanggup kami analisa lebih jauh karena ukirannya yang tidak jelas.
Saya segera
beranjak naik lagi ke atas mendekati pohon besar yang ada di tingkat tiga.
Disitu kami dapati sesosok arca kecil dengan tinggi kurang lebih empatpuluh
centimeter, dengan bentuk yang sudah sangat aus, sehingga sudah tidak dapat
dikenali lagi bentuk tokoh arca tersebut. Akan tetapi memang masih terlihat
jelas bagian muka dan kepala dari arca itu. Menurut kang Paidi, bahwa memang
itu adalah sebuah arca kuno, akan tetapi baru diletakkan di lokasi itu.
Kemungkinan warga sekitar menemukan arca kuno tersebut dari lokasi lain di sekitaran
piramid dan meletakkannya di tempat yang lebih layak. Saya segera turun kembali
menuju bagian luar situs piramid, dari luar sisi sebelah selatan, saya
mendapati tumpukan batu bata yang tersusun rapi membentuk pinggiran piramid
tingkat pertama, sehingga masih tampak struktur aslinya yang berbentuk kotak.
Di sisi selatan tengah juga terdapat sebuah anak tangga baru yang di buat warga
sekitar untuk memudahkan pengunjung menaiki piramid menuju tingkatan pertama.
Puas kami menjelajahi hampir keseluruhan situs Piramid, kami segera melanjutkan
perjalanan kembali.
(to be cont...)
No comments:
Post a Comment