Terkesimaku di Kesiman Tengah
Perjalanan dilanjutkan
menelusuri jalan ke arah pacet. Sesampainya di desa Gondang, kami berhenti di
sebuah rumah, ternyata di rumah tersebutlah kami mendapati buku yang dimaksud
oleh kang Didik. Sesaat kami habiskan waktu bercengkrama dengan penghuni rumah
yang ternyata adalah seorang perupa seni lukis. Kemudian perjalanan dilanjutkan
dan terhenti lagi sejenak di masjid yang berada di desa Padi untuk melaksanakan
sholat Dhuhur.
Kembali kami lanjutkan
perjalanan menuju desa Kesiman Tengah, sekitar lima belas menit perjalanan kang
Paidi dan kang Didik membelokkan arah motornya ke kiri dan memasuki sebuah gang
yang lumayan besar jalannya. Kamipun mengikutinya dari belakang, setelah
bertanya ke salah satu warga kami segera beranjak ke tempat tujuan yang di
maksud. Jalanan di desa Kesiman Tengah sangat indah dimana kiri dan kanan jalan
kita akan disuguhi pemandangan sawah dengan model teraseringnya. Dari kejauhan
di sebelah kiri tampak jelas gunung Penanggungan berdiri kokoh. Dan di sebelah
kanan pula tampak kaki gunung Arjuno dan jajaran perbukitan yang indah di
sekitanya. Waktu itu puncak gunung Arjuno sedang tertutup kabut sehingga tak
nampak dengan jelas. Di tengah perjalanan kami semua tanpa sadar memperhatikan
sebuah bukit yang di puncaknya terdapat sebuah pohon besar. Bukit tersebut
lebih menyerupai sebuah Piramid besar yang letaknya sekitar dua kilometer
sebelah kanan dari jalanan tempat kami berada. Tak lama kemudian kami belok
kekiri, dengan kondisi jalanan kecil berpaving. Hingga tiba di ujung jalan kami
terhenti, ternyata jalan tersebut menuju ke area pemakaman warga dan pastinya
kami telah salah jalan. Sejenak kami berhenti di lokasi tersebut tak dapat
menyia-nyiakan waktu untuk berpose di depan kamera, karena viewnya yang sangat
indah dengan background persawahan dan gunung Penanggungan.
Segera kami memutar arah dan
kembali ke jalan utama. Namun beberapa saat berkendara kami terhenti lagi
karena kang Paidi mencoba untuk bertanya pada warga yang tampak di situ. Dan
kamipun tiba pada belokkan yang pasti di rasa sudah benar. Jalanan kecil itu
kondisinya lebih buruk daripada jalanan menuju area pemakaman tadi. Jalan masih
berupa tanah berumput dengan kubangan air dan lumpur di beberapa bagiannya,
hingga mengharuskan saya dan teman-teman untuk melepaskan sepatu dan ber-nyeker
ria. Tak jauh kami memasuki areal persawahan sekitar tiga ratus meter, kami
melihat sebuah bangunan berwarna batu kali berbentuk kubus di kejauhan.
Bangunan tersebut terletak tepat di tengah-tengah persawahan padi warga.
Kamipun diharuskan untuk melewati medan berupa pematang sawah kecil yang
lebarnya seukuran kaki. Pematang sawah biasa kami sebut galengan, yaitu
pembatas petak sawah yang dalam kasus ini bermodel terasering. Sehingga petak
yang satu lebih tinggi dari petak sebelahnya. Hingga sampailah kami di sisi
candi berpagar kawat berduri yang pintunya tertutup rapat itu. Sejenak saya di
buat bingung dan berfikir, darimana saya harus masuk ke area candi tersebut.
Dan muncullah ide untuk menerobos lubang yang mungkin sengaja di buat seseorang
untuk menerobos masuk area candi tepat di sisi kanan bawah pintu masuk. Saya
segera masuk dan di susul teman-teman yang lain.
Sesampainya di bagian dalam
saya segera mengambil beberapa gambar relief yang ada di dinding candi
berbentuk kubus tersebut. Kondisi candi tersebut sepertinya tidak dalam keadaan
utuh. Seakan bagian atap candi sudah tidak ada lagi. Anehnya candi tersebut
tidak memiliki pintu masuk ke bagian tengah candi. Sehingga hanya terlihat
bentuk kubus tanpa pintu. Saya amati bagian-bagian relief dari sisi satu ke
sisi lainnya. Gambar pertama yang saya amati adalah adanya relief berbentuk
kelinci di dalam lingkaran oval horisontal, dimana kelinci tersebut seperti
sedang memakan sayuran di mulutnya. Kemudian ada gambar berupa sengkala, tapi
dalam bentuk relief. Hal ini sangat menarik mengingat sebagian besar candi yang
di temukan di Jawa memiliki Sengkala yang terletak di atap pintu. Sengkala
berwujud kepala monster raksasa dengan mata melotot dan taring panjang yang
muncul dari dalam mulut, sengkala ini di maksudkan untuk menghindari bala atau
menjaga tempat suci dari roh-roh jahat. Muka sengkala biasanya sangat
menyeramkan, akan tetapi beda kasusnya dengan sengkala yang ada di Candi
Kesiman Tengah tersebut. Rupa sengkala lebih mirip sebagai ornamen hiasan yang
lucu dan cantik, kita akan tahu kalau itu adalah gambar sebuah kepala monster
seperti sengkala. Hanya saja dengan bentuk yang lebih halus dan indah. Kemudian
ada pula gambar relief yang menggambarkan sesosok perempuan separuh badan yang
di kedua tangannya memegang sesuatu. Saya amati lebih dalam gambar tersebut dan
dapat menyimpulkan mungkin yang di pegang di tangan kiri adalah sebuah wadah
seperti gayung terbuat dari logam berisi buah-buahan dan tangan kanan
menggenggam setangkai bunga teratai yang tegak ke atas. Kemudian ruangan yang
kosong dalam lingkaran oval tersebut di isi dengan relief sulur-sulur yang
indah seperti bertaburan bunga. Juga pada luar lingkaran oval tersebut terdapat
relief bunga. Dan kita akan menemukan relief sengkala yang sama yang sepertinya
berada di sela-sela setiap relief yang ada, mungkin sebagai pembatas antar
gambar.
Pada ujung dinding berelief
terlihat sesosok gambar monyet berdiri tegap dengan tangan menengadah ke atas.
Kenapa monyet, karena terlihat ekornya yang menjuntai ke atas dan bagian muka
menyerupai seekor monyet. Banyak orang melihat monyet tersebut sebagai sesosok
Hanuman dalam cerita Ramayana agama Hindu. Akan tetapi bagi saya itu bukanlah
Hanuman, melainkan seekor monyet biasa. Hal ini dapat dilihat dari atribut si
monyet yang sangat sederhana tidak sekompleks atribut Hanuman pada umumnya.
Memang, banyak yang menyimpulkan bahwa candi Kesiman Tengah adalah candi yang
bercorak Hindu. Tapi sekali lagi saya tidak sependapat dengan kesimpulan itu.
Karena tidak terdapat adanya relief-relief yang menceritakan tentang
cerita-cerita klasik agama Hindu sama sekali. Baik cerita Ramayana maupun
Mahabarata dan yang lainnya. Juga menurut saya di candi manapun yang becorak
Hindu, tidak pernah di jumpai relief bergambar kelinci. Terkait dengan sengkala
yang ada di sela-sela relief lainnya, saya dapat menyimpulkan sebagai berikut.
Bahwasanya tradisi sosok sengkala merupakan produk budaya asli Indonesia,
terutama Jawa. Saya belum pernah melihat sosok sengkala berada di atap kuil
orang hindu di Malaysia. Ini bukti bahwa Sengkala bukanlah tradisi bawaan Hindu
dari India. Tapi Asli dari indonesia yang kemudian berasimilasi dengan produk
budaya Hindu-Budha.
Kemudian ada pula relief yang menggambarkan seperti orang sedang melakukan lomba tarik tambang. Dengan peserta di masing masing sisi dua orang. Terlihat sangat jelas postur dan posisi tubuh di masing-masing figur seperti sedang saling menarik sesuatu yang mereka pegang di masing-masing ujungnya. Setelah diamati lebih dekat, ada kemungkinan benda yang menjadi rebutan atau objek yang di tarik menyerupai sebuah tali tambang besar. Hal ini memunculkan teori baru tentang perlombaan tarik tambang yang sering diperlombakan pada hari kemerdekaan Indonesia. Bahwa lomba tersebut merupakan tradisi budaya asli dari Indonesia, bukan permainan yang di bawa oleh orang asing. Sehingga apabila negara lain mengklaim perlombaan tarik tambang sebagai hasil budayanya, maka kita dapat berargumen bahwa lomba tersebut berasal dari Indonesia dengan menunjukkan bukti berupa relief perlombaan tarik tambang di Candi Kesiman Tengah. Salah seorang teman bernama Ryan memiliki teori lain tentang sifat dan tujuan pembuatan candi tersebut. Dia berpendapat bahwa relief candi itu menunjukkan adanya sebuah perayaan yang dilakukan penduduk pada masa itu, sebagaimana di tunjukkan dengan perlombaan tarik tambang dan ornamen-ornamen sekelilingnya yang menunjukkan banyak hasil bumi berupa untaian padi dan lainnya. Figur yang ditampilkan juga bukan merupakan tokoh kerajaan dengan berbagai aksesoris kebesarannya, akan tetapi lebih bersifat sederhana dan mencerminkan sosok rakyat jelata.
Kemudian ada pula relief yang menggambarkan seperti orang sedang melakukan lomba tarik tambang. Dengan peserta di masing masing sisi dua orang. Terlihat sangat jelas postur dan posisi tubuh di masing-masing figur seperti sedang saling menarik sesuatu yang mereka pegang di masing-masing ujungnya. Setelah diamati lebih dekat, ada kemungkinan benda yang menjadi rebutan atau objek yang di tarik menyerupai sebuah tali tambang besar. Hal ini memunculkan teori baru tentang perlombaan tarik tambang yang sering diperlombakan pada hari kemerdekaan Indonesia. Bahwa lomba tersebut merupakan tradisi budaya asli dari Indonesia, bukan permainan yang di bawa oleh orang asing. Sehingga apabila negara lain mengklaim perlombaan tarik tambang sebagai hasil budayanya, maka kita dapat berargumen bahwa lomba tersebut berasal dari Indonesia dengan menunjukkan bukti berupa relief perlombaan tarik tambang di Candi Kesiman Tengah. Salah seorang teman bernama Ryan memiliki teori lain tentang sifat dan tujuan pembuatan candi tersebut. Dia berpendapat bahwa relief candi itu menunjukkan adanya sebuah perayaan yang dilakukan penduduk pada masa itu, sebagaimana di tunjukkan dengan perlombaan tarik tambang dan ornamen-ornamen sekelilingnya yang menunjukkan banyak hasil bumi berupa untaian padi dan lainnya. Figur yang ditampilkan juga bukan merupakan tokoh kerajaan dengan berbagai aksesoris kebesarannya, akan tetapi lebih bersifat sederhana dan mencerminkan sosok rakyat jelata.
Kemudian ada lagi relief yang
menurut saya sangat aneh dan fenomenal. Yaitu sebuah relief yang menggambarkan
sesosok figur separuh badan manusia berupa wanita dengan sayap di belakang dan
memiliki kaki berupa kaki burung juga ekor serupa dengan burung. Sangat aneh
bagi saya dan sangat sulit untuk menyimpulkan sesuatu dari keadaan relief
tersebut. Satu tangan memegang seperti gayung logam dan di tangan satunya
memegang sebuah senjata berupa Gadha.
Biarlah begitu adanya tanpa
kesimpulan yang jelas. Saya sempat menaiki bagian atas candi yang sepertinya
terpotong itu. Dari atas tampak dua buah lubang di tengah candi. Saya tidak
mengerti apa fungsi dari lubang tersebut. Satu lubang kecil di pinggiran dan
sebuah lubang yang cukup besar di tengah. Sayapun segera turun dan
mengeksplorasi lubang yang besar. Siapa tahu dapat menemukan sesuatu yang
berharga fikir saya. Dita segera menyusul dan turun ke bawah, alih-alih
menemukan sesuatu, kami berdua malah asyik berfoto ria dalam lubang tersebut.
Dengan background dinding candi bagian dalam yang sebagiannya di tumbuhi lumut,
sehingga nampak terlihat tua dan kuno.
Ketika menaiki candi, saya
sempat berbincang dengan Kang Paidi. Dia menyebutkan bahwa kemungkinan candi
tersebut bukan berasal dari era Majapahit. Terlihat dari jenis batu dan bentuk
ukiran yang lebih sederhana. Jenis batu yang di pakai untuk candi Kesiman
Tengah merupakan jenis batu yang sangat keras, analisa ini di dapat dengan
percobaan membenturkan jari bercincin logam kang Paidi ke salah satu batu candi
sehingga menimbulkan bunyi nyaring, seolah-olah cincin logam tersebut membentur
ke permukaan logam lain. Ini adalah bukti bahwa bahan batu yang dipakai
pembangunan candi adalah bahan batu bersifat sangat keras, lebih keras daripada
bahan batu di candi lainnya pada era Majapahit maupun yang lainnya, yang juga
merupakan bahan impor dari wilayah lain. Sedangkan ukirannya terlihat seperti
ukiran tipis, dimana ukiran tersebut masih bertahan lama hingga sekarang. Dan
bentuk relief yang relatif lebih sederhana tanpa menceritakan cerita-cerita
keagamaan baik Hindu maupun Budha.
Puas menikmati candi Kesiman
Tengah dari berbagai sisi, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke
tujuan berikutnya, yang saya sendiri belum tahu kemana waktu itu. Sebelum
beranjak pulang kami bertemu para kenalan kang Paidi dimana salah seorangnya
adalah seorang perupa dalam bentuk sketsa. Dimana kemudian kang Paidi bercerita
bahwa kejadian bertemu dengan mereka seperti mengalami sebuah De Javu.
Setelah melewati ‘galengan’
sawah, dan berada pada jalan tanah yang kami lalui tadi. Kami terhenti sejenak
di sebuah sungai kecil untuk sekedar mencuci kaki kami yang kotor di lumuri
lumpur sawah. Tanpa di duga kami menemukan sebongkah batu besar berbentuk kubus
panjang. Tanpa pikir panjang kami segera menyimpulkan bahwa bongkahan batu
tersebut adalah bagian dari sebuah candi, entah itu bagian dari candi Kesiman
Tengah atau mungkin candi yang lain yang menurut kang Paidi sudah terurai
berantakan di mana-mana. Sebuah tanda tanya besar masih menyelimuti pikiran
kami tentang asal batu tersebut. Seperti umum di ketahui, ada beberapa situs
yang masih dapat ditemui di sekitaran areal persawahan desa Kesiman Tengah,
seperti situs prasasti Batu Tulis yang letaknya tak jauh dari situs candi
Kesiman Tengah. Sehingga memunculkan kesimpulan bahwa area tersebut merupakan
area sebaran situs yang berdekatan satu sama lain. Sebagaimana bukit Piramid
yang tampak dari kejauhan tadi.
Puas bercuci kaki ria, kami
melanjutkan berjalan menuju arah parkir sepeda motor kami. Di ujung jalan
tepatnya di jalanan aspal, kami mendapati beberapa anak kecil yang sedang
bermain. Di situ kami sempatkan bertanya kepada mereka perihal bukit yang mirip
Piramid tersebut. Mereka menjawab kalau di puncak bukit tersebut terdapat
sebuah makam, entah makam siapa mereka tidak dapat memastikan. Sedangkan
masyarakat sekitar menyebut tempat tersebut dengan sebutan ‘Puthuk’. Itu adalah
sebutan umum masyarakat Jawa untuk sebuah tempat kuno yang sakral yang biasanya
terdapat makam kuno juga, dan biasanya berlokasi di tengah areal persawahan.
Segera kami kembali berkendara
menuju arah pulang dengan, sekali lagi, sebuah tanda tanya besar tentang
keberadaan ‘Puthuk’ bukit Piramid itu. Saya yakin, bahwa suatu ketika kami akan
datang kembali ke tempat ini dan menjelajahi bukit Piramid tersebut, sehingga
memungkinkan kami untuk menemukan apakah memang bukit piramid itu adalah sebuah
situs kuno atau bukan.
(to be cont...)
No comments:
Post a Comment