Gereja
Katolik Bebas St.Bonafacius
“Semanggi Suroboyo, Lontong balap wonokromo...
di makan enak sekali, sayur semanggi krupuk puli bung
beli...”
Itulah sedikit penggalan lagu
berjudul “Semanggi Suroboyo” yang sedikit banyak mengisahkan betapa “enak-enak”
makanan khas kota Surabaya. Siapa yang tidak paham makanan bernama “semanggi”
itu, mungkin orang papua tidak paham. Maksud saya, siapa orang Surabaya yang
tidak tahu makanan lezat nan menyehatkan itu. Pastilah hampir semua orang yang
tinggal di Surabaya atau pernah tinggal di Surabaya mengetahuinya, atau bahkan
pernah mencicipinya. Namun sayangnya, makanan enak tersebut sudah sangat jarang
sekali bisa di jumpai di kota asalnya, yaitu Surabaya. Tidak seperti kawan
lamanya, lontong balap, yang hingga kini masih eksis dan dengan sangat mudah di
temui di jalan-jalan kota Surabaya, baik berupa penjual dengan gerobak berhenti
ataupun yang menjajakannya sambil berjalan dengan bunyi khasnya teng, teng,
teng.
Pagi itu di hari minggu,
tiba-tiba saya ngidam sekali panganan khas Surabaya yang namanya Semanggi.
Memang, saya dan Hanafi sudah mengikrar janji untuk mulai berkeliling Kota
Surabaya buat menjelajah lokasi-lokasi wisata yang ada di Surabaya yang
nantinya di perkenalkan ke penjuru dunia. Lama saya menanti dia, janji jam 8
pagi namun hingga jam 10 belum muncul juga batang hidungnya. Hingga sekitar jam
10.30 dia baru sms kalau sudah ada di depan kost saya dengan mobil “Mercy” yang
baru di belinya yang “Classic” sekaligus “Classy” berwarna putih krem. Sayapun
segera berujar kalau lagi kepengen banget memakan dedaunan “godog” dengan bumbu
telo khas bernama Semanggi.
Sudah saking jarangnya
panganan ini, hingga saya hanya menemukan 4 tempat yang menjualnya lewat
aktifitas berselancar di dunia Maia, maksud saya dunia Maya. Pertama di daerah
Karah Jawapos lama, kemudian yang ke 2 di areal Masjid Agung Surabaya, trus ada
juga di Jl.Dompu dan terakhir di Taman Bungkul. Karena lokasi Taman Bungkul
paling dekat dan sudah ada petunjuk dari teman si Fafa via bbm, maka kami memutuskan
untuk hunting Semanggi di Taman yang super terkenal se-Surabaya itu. Ya...
Taman Bungkul adalah taman kota yang selalu ramai di kunjungi muda-mudi
Surabaya untuk melepas kepenatan, atau sekedar melepas nafsu alias berpacaran
dengan kekasihnya. Terutama di malam hari dan di akhir pekan, maka kita akan
melihat manusia Surabaya yang rata-rata berusia antara 20 hingga 30 tahun
meluap di taman kota ini. Namun tidak pagi itu, lantaran masih pagi setengah
siang, Taman Bungkul kelihatan sepi. Pun para penjual panganan tidak semuanya
buka, dan saya dibikin pusing mencari penjual Semanggi yang kata si Fafa berada
di tengah-tengah para warung yang lain di areal Makam Sunan Bungkul.
Karena sudah berputar-putar
dan tidak ketemu, juga perut sudah memberontak minta di isi, pecel menjadi
sasaran untuk di jadikan Breakfast. Seusai makan pecel, kami hendak melanjutkan
perjalanan keliling Surabaya dengan tujuan pertama adalah situs Arca Joko
Dolog. Pas mau masuk mobil inilah tiba-tiba kami berdua seperti di bisiki wangsit
“itu lho di seberang jalan ada Gereja yang keliatan kuno, kamu ndak mau lihat
dulu ta? Siapa tahu bisa jadi destinasi kota seperti yang kamu inginkan” yah...
kurang lebih begitu bunyi wangsitnya. Dan si Hanafipun langsung memberi tanda
untuk mengeksplore gereja tua di seberang jalan di areal Taman Bungkul tepatnya
di jl.Serayu no 11, Surabaya itu. Tanpa sadar, kami hendak beruluk salam ala
orang Islam ketika hendak memasuki areal sebelah gereja dan mendapati sesosok
manusia dari kejauhan. Sejenak kamipun tersadar, bahwa orang itu pasti bukan
orang Islam dan kami mengurungkan niat kami. Walaupun salam secara Islami
bukanlah monopoly orang Islam saja di Indonesia, namun kali ini harus menjadi
pengecualian.
Pak Herry namanya, dialah
penjaga bangunan Gereja tua tersebut. Dari luar bangunan itu tampak kecil
dengan warna putih khas bangunan tua yang sudah lama tidak tersentuh cat,
halaman depan juga tampak tidak terawat karena masih banyak rerumputan
menjulang tinggi di sana sini. Hanya sebuah pohon jambu yang tumbuh subur di
pelataran Gereja bernama Gereja Katolik Bebas St. Binafacius seperti tertera di
plang berlatar putih yang tegak menancap di depan. Sebelumnya sempat terbaca
Gereja Katolik Bebas St.Confucius, hingga tiba-tiba pikiran sesat menghampiri
saya “kok bisa orang Katolik mengakui tokoh besar dari daratan China itu
sebagai Santo??” namun setelah menerawang lebih lanjut ternyata bukan Confucius
namun Bonafacius.
Tadinya saya terfikir bahwa
bangunan Gereja tersebut sudah tak terpakai lagi, sebab begitu kelihatan tua
dan tak terawat. Namun setelah melihat plang putih di depan dan pintu pagar
terbuka, saya jadi yakin kalau bangunan tua itu masih di pakai jemaatnya.
Bentuknya unik, khas gereja Katolik dengan 2 bagian depannya melancip seperti bentuk segitiga sama sisi. Begitu juga atapnya membentuk segitiga tapi dengan
versi lebih besar seperti sebuah dome yang lancip di atas dan memanjang ke
belakang. Pintunya terbuat dari kayu berwarna hitam dan besar dengan bentuk
mengikuti bentuk depan yang kuncup, persis seperti sebuah pintu gerbang yang
ada di kastil-kastil kuno di eropa. Membuat kesan yang berbeda dari bangunan
gereja tersebut.
Pak Herry berujar bahwa memang
gereja ini sudah tua adanya, seperti yang tertera di prasasti berbahan marmer
yang tertempel di tembok samping belakang gereja, bangunan ini selesai di
bangun pada tahun 1923, oleh seorang Belanda. Ya seorang Belanda yang tidak di
ketahui namanya, karena pada waktu itu memang Indonesia masih dalam jajahan
Belanda. Sejurus kemudian pak Herry dengan ramahnya mempersilahkan kami masuk
ke dalam bangunan Gereja. “Lantas kenapa didepan namanya Gereja Katolik
Bebas?”. Tanya saya spontan pada beliau. Maka dijelaskannya satu persatu hal
ihwal Gereja Katolik Bebas ini. Bahwa Katolik Bebas adalah sebuah aliran dalam
agama Katolik yang tidak mengakui atau meng-imam kepada Vatikan di Roma.
Sebagaimana Gereja Orthodoks di Rusia maupun di Timur Tengah. Mereka sama-sama
memiliki kepercayaan yang sama tentang Yesus dan para Rasul pembawa berita.
Hanya saja, 2 hal yang membedakan mereka dari Katolik Roma, yaitu mereka tidak
ber-imam pada Vatikan dan para pendeta Gereja Katolik Bebas “bebas” untuk
menikah. Saya jadi paham kenapa namanya “Bebas”
Di Indonesia hanya ada 4
Gereja Katolik Bebas, yaitu di Surabaya, Semarang, Depok dan Bandung. Namun
hanya di Surabaya dan di Depok saja yang masih aktif di gunakan oleh jemaatnya.
Jadi dapat di bilang bahwa jemaat Gereja yang berpusat di Australia ini sangat
terbatas pengikutnya di Indonesia. Pun di gereja yang sekarang saya berdiri ini
juga sudah berkurang jemaatnya, dimana dulu ada 3 kali pelayanan ibadah minggu,
sekarang hanya sekali saja yang tadi baru selesai sekitar jam 11.00 pagi. “Hal
ini lantaran para jemaat, terutama yang masih muda sudah beralih ke Gereja yang
lebih modern” terang pak Herry. Nah tentang begitu terbatasnya jemaat gereja
tersebut, pak Herry menuturkan mungkin karena Indonesia keburu merdeka, maka
penyebaran ajaran Katolik Bebas tidak bisa sebanyak yang di harapkan, bahkan
mungkin juga para pengikutnya yang sekarang ini adalah keturunan orang-orang
Katolik Bebas yang dulu sehingga sangat terbatas dan menjadi sangat minoritas
adanya.
Kondisi di dalam gereja
sangatlah sejuk, dan terasa sangat luas sekali dengan kursi panjang jemaat khas
gereja berjajar 2 dan berbaris banyak ke belakang. Di altar utama dapat kita
lihat berbagai ornamen ritual keagamaan dengan pusatnya di tengah berupa Salib
berukuran besar, namun tanpa patung Yesus seperti di salib-salib orang Katolik
pada umumnya. Kemudian sebelah kanan altar tampak patung Yesus berwarna putih
mengahadap ke kursi jemaat. Pun di belakang sendiri sebelah kanan berdiri
patung Bunda Maria dengan anggunnya yang juga berwarna putih. Diatas dari
berbagai sisi gereja, di hias kaca patri bergambar macam-macam kisah Yesus
berwarna-warni yang menambah keindahan dan keanggunan Gereja itu sendiri.
Tak lama berselang pak Herry
mengantar saya ke bagian depan Gereja menuju pintu keluar yang di batasi sebuah
dinding dengan lubang pintu terbuka di tengahnya, kami menuju ruang sebelah
kanan gereja bagian depan. Disitu terlihat seperti ruang tamu dengan kursi – kursi
tuanya dan menempel berbagai lukisan di dinding diantaranya lukisan Yesus
bersama para muridnya dalam perjamuan terakhir. Bersebelahan dengan pintu
samping depan Gereja tertempel 2 buah foto yang menampilkan gambar banyak orang
berpakaian ala pastur Orthodoks lengkap dengan tongkat masing-masing yang
diantaranya berbentuk melengkung seperti tanda tanya di bagian atas. Foto yang
atas bertuliskan tahun 1996 sedangkan yang bawah kalau tidak salah angka
tahunnya 2005.
Tiba-tiba Hanafi meminta ijin
ke pak Herry untuk naik ke bagian atas lantai 2 Gereja melalui tangga yang
berada di sebelah kiri depan bangunan. Sesampainya di atas tampak 2 buah piano
atau organ tua. Menurutnya yang satu adalah piano tua yang berasal dari tahun
70-an sedangkan yang lebih kecil dari tahun 90-an. Dari lantai 2 tersebut
tampak view ruang utama Gereja begitu megahnya, di tambah kaca Patri utama yang
menempel di bagian tembok depan dan sangat terjangkau oleh tangan-tangan kami
yang begitu penasarannya dengan karya seni kuno tersebut. Tampak bahwa
warna-warni dan gambar yang ada pada kaca patri tersebut merupakan sebuah karya
seni yang menggunakan tangan alias melukis manual dengan tangan. Memang ada sedikit
bagian kaca patri yang berlubang, bagi saya itu sangat wajar mengingat usia
bangunan tersebut yang lumayan tua, tidak mungkin masih bisa utuh sebagaimana
bentuk semula, itupun hanya lubang-lubang kecil beberapa yang tidak mengganggu
keindahan karya seni itu sendiri. Di kaca patri itu tergambar Bunda Maria
sedang berdiri di tengah-tengah menghadap ke bawah, di mana seorang anak kecil
juga sedang berdiri tersenyum yang menurut saya mungkin itu adalah gambaran
Yesus kecil dengan background salib di belakangnya. Sedangkan di kiri kanan
terdapat 2 orang lelaki dengan pakaian khas jaman Yesus sambil menengadahkan
tangan ke arah Bunda Maria yang ada di tengah-tengah seperti sedang berdoa.
Puas menikmati keindahan
Gereja dari dalam, kami segera pamit ke pak Herry dan berjanji akan membantu
untuk menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di Surabaya. Sehingga
nantinya diharapkan berimbas kepada pendapatan Gereja dari para pengunjung
untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Gereja tersebut. Seusai berpamitan
dan meminta nomor hp pak Herry, kami segera meluncur ke destinasi selanjutnya
yaitu Arca Joko Dolog.
No comments:
Post a Comment