Monday, September 23, 2013

   

Gereja Katolik Bebas St.Bonafacius



Gereja Katolik Bebas St.Bonafacius

“Semanggi Suroboyo, Lontong balap wonokromo...
di makan enak sekali, sayur semanggi krupuk puli bung beli...”

Itulah sedikit penggalan lagu berjudul “Semanggi Suroboyo” yang sedikit banyak mengisahkan betapa “enak-enak” makanan khas kota Surabaya. Siapa yang tidak paham makanan bernama “semanggi” itu, mungkin orang papua tidak paham. Maksud saya, siapa orang Surabaya yang tidak tahu makanan lezat nan menyehatkan itu. Pastilah hampir semua orang yang tinggal di Surabaya atau pernah tinggal di Surabaya mengetahuinya, atau bahkan pernah mencicipinya. Namun sayangnya, makanan enak tersebut sudah sangat jarang sekali bisa di jumpai di kota asalnya, yaitu Surabaya. Tidak seperti kawan lamanya, lontong balap, yang hingga kini masih eksis dan dengan sangat mudah di temui di jalan-jalan kota Surabaya, baik berupa penjual dengan gerobak berhenti ataupun yang menjajakannya sambil berjalan dengan bunyi khasnya teng, teng, teng.

Pagi itu di hari minggu, tiba-tiba saya ngidam sekali panganan khas Surabaya yang namanya Semanggi. Memang, saya dan Hanafi sudah mengikrar janji untuk mulai berkeliling Kota Surabaya buat menjelajah lokasi-lokasi wisata yang ada di Surabaya yang nantinya di perkenalkan ke penjuru dunia. Lama saya menanti dia, janji jam 8 pagi namun hingga jam 10 belum muncul juga batang hidungnya. Hingga sekitar jam 10.30 dia baru sms kalau sudah ada di depan kost saya dengan mobil “Mercy” yang baru di belinya yang “Classic” sekaligus “Classy” berwarna putih krem. Sayapun segera berujar kalau lagi kepengen banget memakan dedaunan “godog” dengan bumbu telo khas bernama Semanggi.

Sudah saking jarangnya panganan ini, hingga saya hanya menemukan 4 tempat yang menjualnya lewat aktifitas berselancar di dunia Maia, maksud saya dunia Maya. Pertama di daerah Karah Jawapos lama, kemudian yang ke 2 di areal Masjid Agung Surabaya, trus ada juga di Jl.Dompu dan terakhir di Taman Bungkul. Karena lokasi Taman Bungkul paling dekat dan sudah ada petunjuk dari teman si Fafa via bbm, maka kami memutuskan untuk hunting Semanggi di Taman yang super terkenal se-Surabaya itu. Ya... Taman Bungkul adalah taman kota yang selalu ramai di kunjungi muda-mudi Surabaya untuk melepas kepenatan, atau sekedar melepas nafsu alias berpacaran dengan kekasihnya. Terutama di malam hari dan di akhir pekan, maka kita akan melihat manusia Surabaya yang rata-rata berusia antara 20 hingga 30 tahun meluap di taman kota ini. Namun tidak pagi itu, lantaran masih pagi setengah siang, Taman Bungkul kelihatan sepi. Pun para penjual panganan tidak semuanya buka, dan saya dibikin pusing mencari penjual Semanggi yang kata si Fafa berada di tengah-tengah para warung yang lain di areal Makam Sunan Bungkul.

Karena sudah berputar-putar dan tidak ketemu, juga perut sudah memberontak minta di isi, pecel menjadi sasaran untuk di jadikan Breakfast. Seusai makan pecel, kami hendak melanjutkan perjalanan keliling Surabaya dengan tujuan pertama adalah situs Arca Joko Dolog. Pas mau masuk mobil inilah tiba-tiba kami berdua seperti di bisiki wangsit “itu lho di seberang jalan ada Gereja yang keliatan kuno, kamu ndak mau lihat dulu ta? Siapa tahu bisa jadi destinasi kota seperti yang kamu inginkan” yah... kurang lebih begitu bunyi wangsitnya. Dan si Hanafipun langsung memberi tanda untuk mengeksplore gereja tua di seberang jalan di areal Taman Bungkul tepatnya di jl.Serayu no 11, Surabaya itu. Tanpa sadar, kami hendak beruluk salam ala orang Islam ketika hendak memasuki areal sebelah gereja dan mendapati sesosok manusia dari kejauhan. Sejenak kamipun tersadar, bahwa orang itu pasti bukan orang Islam dan kami mengurungkan niat kami. Walaupun salam secara Islami bukanlah monopoly orang Islam saja di Indonesia, namun kali ini harus menjadi pengecualian.

Pak Herry namanya, dialah penjaga bangunan Gereja tua tersebut. Dari luar bangunan itu tampak kecil dengan warna putih khas bangunan tua yang sudah lama tidak tersentuh cat, halaman depan juga tampak tidak terawat karena masih banyak rerumputan menjulang tinggi di sana sini. Hanya sebuah pohon jambu yang tumbuh subur di pelataran Gereja bernama Gereja Katolik Bebas St. Binafacius seperti tertera di plang berlatar putih yang tegak menancap di depan. Sebelumnya sempat terbaca Gereja Katolik Bebas St.Confucius, hingga tiba-tiba pikiran sesat menghampiri saya “kok bisa orang Katolik mengakui tokoh besar dari daratan China itu sebagai Santo??” namun setelah menerawang lebih lanjut ternyata bukan Confucius namun Bonafacius.

Tadinya saya terfikir bahwa bangunan Gereja tersebut sudah tak terpakai lagi, sebab begitu kelihatan tua dan tak terawat. Namun setelah melihat plang putih di depan dan pintu pagar terbuka, saya jadi yakin kalau bangunan tua itu masih di pakai jemaatnya. Bentuknya unik, khas gereja Katolik dengan 2 bagian depannya melancip seperti bentuk segitiga sama sisi. Begitu juga atapnya membentuk segitiga tapi dengan versi lebih besar seperti sebuah dome yang lancip di atas dan memanjang ke belakang. Pintunya terbuat dari kayu berwarna hitam dan besar dengan bentuk mengikuti bentuk depan yang kuncup, persis seperti sebuah pintu gerbang yang ada di kastil-kastil kuno di eropa. Membuat kesan yang berbeda dari bangunan gereja tersebut.

Pak Herry berujar bahwa memang gereja ini sudah tua adanya, seperti yang tertera di prasasti berbahan marmer yang tertempel di tembok samping belakang gereja, bangunan ini selesai di bangun pada tahun 1923, oleh seorang Belanda. Ya seorang Belanda yang tidak di ketahui namanya, karena pada waktu itu memang Indonesia masih dalam jajahan Belanda. Sejurus kemudian pak Herry dengan ramahnya mempersilahkan kami masuk ke dalam bangunan Gereja. “Lantas kenapa didepan namanya Gereja Katolik Bebas?”. Tanya saya spontan pada beliau. Maka dijelaskannya satu persatu hal ihwal Gereja Katolik Bebas ini. Bahwa Katolik Bebas adalah sebuah aliran dalam agama Katolik yang tidak mengakui atau meng-imam kepada Vatikan di Roma. Sebagaimana Gereja Orthodoks di Rusia maupun di Timur Tengah. Mereka sama-sama memiliki kepercayaan yang sama tentang Yesus dan para Rasul pembawa berita. Hanya saja, 2 hal yang membedakan mereka dari Katolik Roma, yaitu mereka tidak ber-imam pada Vatikan dan para pendeta Gereja Katolik Bebas “bebas” untuk menikah. Saya jadi paham kenapa namanya “Bebas”

Di Indonesia hanya ada 4 Gereja Katolik Bebas, yaitu di Surabaya, Semarang, Depok dan Bandung. Namun hanya di Surabaya dan di Depok saja yang masih aktif di gunakan oleh jemaatnya. Jadi dapat di bilang bahwa jemaat Gereja yang berpusat di Australia ini sangat terbatas pengikutnya di Indonesia. Pun di gereja yang sekarang saya berdiri ini juga sudah berkurang jemaatnya, dimana dulu ada 3 kali pelayanan ibadah minggu, sekarang hanya sekali saja yang tadi baru selesai sekitar jam 11.00 pagi. “Hal ini lantaran para jemaat, terutama yang masih muda sudah beralih ke Gereja yang lebih modern” terang pak Herry. Nah tentang begitu terbatasnya jemaat gereja tersebut, pak Herry menuturkan mungkin karena Indonesia keburu merdeka, maka penyebaran ajaran Katolik Bebas tidak bisa sebanyak yang di harapkan, bahkan mungkin juga para pengikutnya yang sekarang ini adalah keturunan orang-orang Katolik Bebas yang dulu sehingga sangat terbatas dan menjadi sangat minoritas adanya.

Kondisi di dalam gereja sangatlah sejuk, dan terasa sangat luas sekali dengan kursi panjang jemaat khas gereja berjajar 2 dan berbaris banyak ke belakang. Di altar utama dapat kita lihat berbagai ornamen ritual keagamaan dengan pusatnya di tengah berupa Salib berukuran besar, namun tanpa patung Yesus seperti di salib-salib orang Katolik pada umumnya. Kemudian sebelah kanan altar tampak patung Yesus berwarna putih mengahadap ke kursi jemaat. Pun di belakang sendiri sebelah kanan berdiri patung Bunda Maria dengan anggunnya yang juga berwarna putih. Diatas dari berbagai sisi gereja, di hias kaca patri bergambar macam-macam kisah Yesus berwarna-warni yang menambah keindahan dan keanggunan Gereja itu sendiri.

Tak lama berselang pak Herry mengantar saya ke bagian depan Gereja menuju pintu keluar yang di batasi sebuah dinding dengan lubang pintu terbuka di tengahnya, kami menuju ruang sebelah kanan gereja bagian depan. Disitu terlihat seperti ruang tamu dengan kursi – kursi tuanya dan menempel berbagai lukisan di dinding diantaranya lukisan Yesus bersama para muridnya dalam perjamuan terakhir. Bersebelahan dengan pintu samping depan Gereja tertempel 2 buah foto yang menampilkan gambar banyak orang berpakaian ala pastur Orthodoks lengkap dengan tongkat masing-masing yang diantaranya berbentuk melengkung seperti tanda tanya di bagian atas. Foto yang atas bertuliskan tahun 1996 sedangkan yang bawah kalau tidak salah angka tahunnya 2005.

Tiba-tiba Hanafi meminta ijin ke pak Herry untuk naik ke bagian atas lantai 2 Gereja melalui tangga yang berada di sebelah kiri depan bangunan. Sesampainya di atas tampak 2 buah piano atau organ tua. Menurutnya yang satu adalah piano tua yang berasal dari tahun 70-an sedangkan yang lebih kecil dari tahun 90-an. Dari lantai 2 tersebut tampak view ruang utama Gereja begitu megahnya, di tambah kaca Patri utama yang menempel di bagian tembok depan dan sangat terjangkau oleh tangan-tangan kami yang begitu penasarannya dengan karya seni kuno tersebut. Tampak bahwa warna-warni dan gambar yang ada pada kaca patri tersebut merupakan sebuah karya seni yang menggunakan tangan alias melukis manual dengan tangan. Memang ada sedikit bagian kaca patri yang berlubang, bagi saya itu sangat wajar mengingat usia bangunan tersebut yang lumayan tua, tidak mungkin masih bisa utuh sebagaimana bentuk semula, itupun hanya lubang-lubang kecil beberapa yang tidak mengganggu keindahan karya seni itu sendiri. Di kaca patri itu tergambar Bunda Maria sedang berdiri di tengah-tengah menghadap ke bawah, di mana seorang anak kecil juga sedang berdiri tersenyum yang menurut saya mungkin itu adalah gambaran Yesus kecil dengan background salib di belakangnya. Sedangkan di kiri kanan terdapat 2 orang lelaki dengan pakaian khas jaman Yesus sambil menengadahkan tangan ke arah Bunda Maria yang ada di tengah-tengah seperti sedang berdoa.

Puas menikmati keindahan Gereja dari dalam, kami segera pamit ke pak Herry dan berjanji akan membantu untuk menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di Surabaya. Sehingga nantinya diharapkan berimbas kepada pendapatan Gereja dari para pengunjung untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Gereja tersebut. Seusai berpamitan dan meminta nomor hp pak Herry, kami segera meluncur ke destinasi selanjutnya yaitu Arca Joko Dolog.

[...fin...]

Article by: Fritz C. Vila
Photos by: Hanafi






No comments:

Post a Comment

Recent Comments