Sang Budha
Tertua di Surabaya
Siang itu udara Surabaya
terasa menyengat, sepanas hari-hari biasa memang. Namun ada yang lebih membuat
kulit terasa terbakar seperti dalam oven, yaitu ketika memasuki “Mercy” Hanafi
yang sedari tadi teronggok parkir di pinggiran jalan depan Gereja Bebas.
Seperti biasa, sang empunya mobil harus memanaskan Mercy tersebut sebelum
melanjutkan perjalanan kami. Tak sabar ingin segera sampai di Situs Arca Joko
Dolog, terakhir mengunjungi situs tersebut kira-kira setahun yang lalu saat
sedang aktif mengikuti latihan Drama Kolosal Surabaya Membara.
Sebenarnya Situs Arca Joko
Dolog tidak sulit untuk di cari, lokasinya berada di tengah-tengah kota.
Tepatnya di belakang taman Apsari yang berada di seberang jalan Grahadi di
Jl.Pemuda Surabaya. Kira-kira beberapa meter dari Airlangga Broadcasting. Namun
sayangnya tidak banyak orang Surabaya yang mengetahui keberadaan situs yang
menjadi cikal bakal logo kota Surabaya itu. Ya, karena disitulah arca Suro dan
arca Boyo asli dapat di jumpai. Lokasi Situs sangat rindang, karena di
lingkungan situs di tumbuhi beberapa pohon beringin yang cukup besar. Situs
yang luasnya hanya sekitar 100 m2 itu di kelilingi pagar besi setinggi 1,5 m,
dengan pintu gerbang menghadap timur berbentuk sebuah gapura bentar berwarna
hitam. Di hari minggu ternyata situs tutup dan pintu gerbang di gembok, tapi
lantaran melihat ada beberapa orang yang beraktifitas di dalam area situs,
sayapun memberanikan diri untuk bertanya, barangkali si bapak itu mau
membukakan pintu untuk saya. Siapa nyana, ternyata dia malah menyarankan saya
untuk melompat pagar melalui gapura depan. Dengan senang hati kami menuruti
perintahnya.
Dia adalah pak Arifin,
sepertinya dia penjaga situs tersebut. Namun kemudian dia mengaku bukan sebagai
juru kunci situs Arca Joko Dolog. Hanya saja dia tinggalnya di areal situs
tersebut. Saya jadi bingung, sebenarnya hubungan pak Arifin ini apa dengan
Situs yang dia tinggali. Kami mendapat cerita banyak dari pak Arifin, termasuk
beberapa situs kuno yang sama sekali tidak terkenal atau yang biasa saya sebut
sebagai situs Undercover. Diantaranya adalah adanya petilasan Eyang Yudho
Kardono di Jl Mawar, depan jl M.duriat. Kemudian ada makam Ki Ageng Pengging di
Jl Kalibokor arah mbagong, beliau adalah salah satu penyebar Islam di jaman
Majapahit. Adalagi yang di daerah Stasiun Semut ke arah Jembatan Merah,
letaknya di dalam Musholla yaitu makam salah seorang pembesar kerajaan di
Surabaya, Jayengrono. Dia adalah bapaknya Sawunggaling. Situs-situs tersebut
pasti akan saya agendakan pada trip-trip berikutnya.
Arca Joko Dolog dan berbagai
arca di dalam kompleks tersebut di temukan pada jaman Belanda. Tepatnya kapan
tidak ada yang tahu. Arca-arca tersebut di temukan di daerah Trowulan, bekas
ibukota kerajaan Majapahit. Ketika di temukan, arca-arca tersebut berada di
dalam tumpukan kayu gelondongan, termasuk arca Budha itu sendiri. Maka pada
jaman Jepang, mereka menamakan arca budha tersebut dengan nama Arca Jogo Dolog
yang berarti penjaga kayu gelondongan. Yang sekarang berganti menjadi Arca Joko
Dolog. Ada cerita menarik di balik berdirinya arca tersebut di lokasi sekarang.
Ketika itu, lantaran keistimewaan Arca Budha tersebut, Belanda hendak
memboyongnya ke kampung halaman mereka untuk di jadikan koleksi kerajaan dan di
tempatkan di museum. Namun kapal yang hendak membawa rombongan beserta
arca-arca tersebut karam sebelum bersandar di pelabuhan Surabaya, atau
pelabuhan Tanjung Perak sekarang. Maka ditempatkanlah arca-arca tersebut di
lokasi sekarang. Nah, ketika hendak dipindahkan ke kapal yang baru itulah
sepertinya tidak ada seorangpun yang mampu mengangkat arca Budha setinggi 2,5
meter-an itu. Seolah-olah sang arca memang sudah menemukan tempat barunya untuk
bersemayam.
Diperkirakan umur arca
tersebut sudah 720 tahun atau berasal dari tahun 1293. Jika di runut sejarah,
tahun itu adalah tahun pergantian dari Kerajaan Singasari menuju Kerajaan
Majapahit. Kerajaan Singasari dengan Rajanya Sri Kertanegara di hancurkan oleh
serangan tentara Negeri Daha dengan rajanya Jayakatwang pada tahun 1292. Sri
Kertanegara sendiri wafat dalam serangan tersebut. Sesuai dengan tradisi
kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, raja yang wafat pasti di candikan dan
diperwujudkan dalam arca Budha atau arca para dewa dalam agama Hindu. Sri
Kertanegara sendiri di candikan di 2 candi yang berbeda yaitu candi Jawi di
Pasuruan dan Candi Singosari di Malang. Dia pula diperwujudkan dalam berbagai
arca sebagai titisan para dewa, termasuk arca Budha. Diperkirakan arca Budha
Joko Dolog tersebut termasuk salah satu arca perwujudan Raja Sri Kertanegara.
Menurut cerita pak Arifin, ada orang pintar atau orang yang di beri kelebihan
dengan dapat melihat hal-hal yang tak kasat mata atau bahasa kerennya
metafisika, sempat melihat Arca Joko Dolog ini berubah menjadi sosok Sri
Kertanegara dan turun dari tempatnya bersemayamnya, kemudian berjalan
berkeliling areal situs tersebut. Yang pasti kebenaran dari cerita terakhir
tersebut tak dapat di pastikan.
Di kompleks Arca Joko Dolog di
jumpai tidak hanya satu arca, selain arca Budha ada banyak arca-arca yang lain
yang dapat di nikmati seperti arca Suro di sebelah kanan ketika memasuki areal
sembahyang orang Budha, begitu juga arca Boyo yang berada di sebelah kirinya. Juga
ada arca – arca kecil lain yang di tata berjejer di kiri kanan jalan setapak
ketika memasuki areal situs tersebut, di antaranya arca Ganesha, arca dewa Siwa
dengan bentuk tidak utuh lagi, arca seperti Lingga namun berukir wajah raksasa
di bagian dasarnya dan arca lingga-yoni berjumlah 2 buah yang berada di sudut kiri
samping Arca Budha. Ada juga panel relief yang menggambarkan bangunan kuno
mirip bangunan Joglo dengan atap 2 tingkat, gambar relief tersebut tampak indah
jika di perhatikan dengan detail. Di sudut sisi kanan samping arca Budha juga
dapat di jumpai bagian dari atap candi bergambar Sengkala, sebentuk wajah
monster yang menyeramkan yang biasa di tempatkan di atap pintu masuk sebuah
candi di Jawa.
Patung Budha sendiri di
tempatkan di bagian paling belakang menghadap depan, arca tersebut terbuat dari
batu andesit berwarna hitam legam dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Posisi tubuh
arca tersebut duduk dengan sikap meditasi, yaitu kaki di lipat keatas dan
tangan kiri terletak di depan perut dengan telapak tangan menengadah ke atas,
sedangkan tangan kanan menelungkup di atas paha dengan telapak tangan menutupi
“dengkul” sang Budha. Di sandaran bawah atau tempat duduknya sang Budha,
terdapat prasasti dengan huruf jawa kuno melingkar mengelilingi tempat sandaran
duduk tersebut. Tubuh sang Budha di selimuti kain mengkilap warna oranye, khas
pakaian biksu Budha. Sedangkan di depannya di letakkan wadah baskom besar
terbuat dari logam kuningan, sebagai tempat diletakkannya dupa oleh para
peziarah ketika sedang berdoa. Dari semua arca di situ, hanya arca sang Budha
yang memiliki atap genteng permanen dan di bangunkan pelataran tempat
bersemayam cukup tinggi dengan lantai keramik berwarna hitam yang di hiasi
ukiran-ukiran indah di tiap sisinya. Satu lagi keunikan patung Budha tersebut
adalah rambutnya, ketika patung Budha yang lain memiliki rambut keriting yang
berbentuk keong bulat-bulat, maka rambut patung Budha yang ini berbentuk lurus
dan halus dengan potongan rapi khas anak muda jaman sekarang.
Puas mengelilingi areal situs
Joko Dolog sembari mendengarkan cerita pak Arifin, kami segera berpamitan untuk
melanjutkan perjalanan di hari itu. Karena hari masih siang, sehingga cukup
waktu untuk mengunjungi beberapa tempat lain di Surabaya. Tidak saya kira bahwa
hari ini saya cukup banyak mendapatkan cerita dari para penunggu situs atau
bangunan yang kami kunjungi, puas memang, tapi masih banyak yang harus kami
kunjungi dan tidak cukup memakan waktu satu hari. Tapi asalkan maksimal, cukup
satu hari buat saya untuk menikmati panasnya matahari Surabaya dan sejuknya
pepohonan yang banyak tumbuh di pinggiran maupun tengah jalan Surabaya.
Destinasi kami selanjutnya adalah Balai Pemuda yang berada tak jauh dari Situs
Joko Dolog tersebut. Mungkin sekitar dua ratusan meter dari gedung Grahadi di
Jl.Pemuda.
No comments:
Post a Comment