“Mbadhog”
Lontong Kupang di Festival Layang-layang
Balai Pemuda, kalau di
Inggriskan mungkin akan menjadi Hall of Youth. Dan entah apa yang akan
terpikirkan oleh para bule ketika mendengar kata-kata Hall of Youth itu.
Mungkin mereka akan berfikir bahwa itu adalah tempat dimana banyak anak muda
nongkrong, melakukan segala aktifitas ke-pemuda-an, ada yang pacaran, ada yang
belajar, ada yang berdiskusi kelompok membahas isu-isu krusial, atau mungkin
ada yang sedang rapat rencana demo esok hari. Atau bisa jadi mereka akan
berfikir itu adalah salah satu gedung sekolah pelajar SMP atau SMA. Yang jelas,
mereka pasti kecele’ ketika mampir di Balai Pemuda tersebut, karena saat ini
Balai Pemuda merupakan Pusat Infromasi Pariwisata Surabaya, atau kerennya Surabaya
Tourism Information Center (TIC). Di tempat inilah bukti sebuah usaha dari
pemerintah setempat untuk menggiatkan industry pariwisata di Surabaya.
Ketika kita memasuki ruang
utama, kita akan di suguhi berbagai brosur tentang pariwisata baik di Surabaya
maupun Jawa Timur. Ada brosur wisata kuliner, brosur wisata religi, wisata
budaya dan lain-lain. Di situ juga dapat di jumpai mbak-mbak atau mas-mas yang
lumayan fasih berbahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya, sehingga turis
asing tidak akan merasa asing kalau mengunjungi tempat itu. Juga ada berbagai
souvenir khas kota Surabaya dengan berbagai bentuk seperti gantungan kunci,
miniatur Tugu Pahlawan dan lain-lain. Namun sayangnya harga yang tertera cukup
mahal, bahkan jauh lebih mahal dari yang pernah saya temui di Kuala Lumpur
maupun di Bangkok. Contohnya saja gantungan kunci, di situ tertera harga 40 ribu
rupiah per bijinya, sedangkan dengan jenis dan ukuran yang sama di Bangkok
souvenir semacam itu saya dapati hanya kurang lebih 6 ribu rupiah. Kalau kurs
Bath saat ini katakanlah 400 rupiah, saya beli satu bendel gantungan kunci isi
6 seharga 100 THB maka per bijinya menjadi 16,67 THB alias 6.666 rupiah per
bijinya, jauh banget ya...
Ya sudahlah, biarkan berlaku
seperti itu untuk saat ini. Toh saya juga tidak sedang berminat untuk membeli
souvenir tersebut. Hari itu saya jumpai mbak Karina, salah satu penjaga TIC. Dia
sedang sibuk melayani seorang turis dari Singapura. Diapun bingung ketika kami
datang, takut tidak ada yang melayani kami, kami sadar dan memberi aba-aba ke
mbak Karina untuk lanjut melayani si turis Singapura. Saya segera dengan
semangat mengambil satu-persatu brosur maupun booklet yang tersedia di rak
sebelah kiri pintu masuk TIC. Tiba-tiba mbak Karina meminta saya untuk mengisi
buku tamu, dan kamipun segera menurutinya. Ketika itu juga mbak Karina memberi
tahu kami kalau ada Festival Layang-layang yang sedang berlangsung di Kenpark
Kenjeran. Saya segera memberi tanda ke Hanafi untuk segera meluncur ke sana.
Namun sejenak kami mendengarkan si turis Singapura yang sedang bercerita
panjang kali lebar ke mbak Karina. Setelah di rasa cukup yang ternyata banyak
banget ceritanya, kami memutuskan untuk segera pergi dari jebakan cerita turis
tadi. Sempat memang kami menawari bapak Singapura tadi untuk jalan-jalan bareng
kami, tapi dia menolak, kamipun kemudian merasa bersyukur pada akhirnya. Tidak dapat
di bayangkan dia akan bercerita panjang kali lebar sepanjang jalan nantinya
uff...
Matahari sudah condong ke arah
barat ketika kami sampai di Kenpark. Jam menunjukkan sekitar pukul 03.00 sore,
untungnya festival layang-layangnya belum selesai. Jadi kami masih sempat
melihat layang-layang berbagai bentuk melayang-layang di udara di lapangan
dekat kuil Dewa Langit Kenpark. Ada yang super panjang, ada yang super besar
ada pula yang kecil-kecil. Ada yang berbentuk Naga, Kodok, Ikan, Monster dan
berbagai bentuk lainnya berwarna warni menghiasi langit Kenpark sore itu. Puas
dengan layang-layang, segera kami memutuskan untuk mencari makan di sekitaran
lokasi festival, karena perut sudah mulai berontak meminta-minta untuk di isi.
Target kami waktu itu adalah Lontong Kupang.
Dilihat dari namanya, semua
pasti tahu kalau makanan ini menggunakan lontong sebagai bahan utamanya.
Seperti mahfum di ketahui, banyak makanan Indonesia, Jawa Timur khususnya, yang
menggunakan bahan utama nasi padat lonjong terbungkus daun pisang ini. Ada
Lontong Kupang, ada Lontong Balap, Lontong Kikil, Lontong Sayur dan berbagai
makanan khas lainnya, tergantung bahan pelengkap dan asal makanannya. Khusus
Lontong Kupang ini, sepertinya hanya ada di Surabaya dan daerah pesisir Jawa
Timur lainnya seperti Sidoarjo dan Gresik. Kupang adalah sejenis hewan laut
berupa kerang, namun ukurannya sangat kecil. Mungkin seukuran ujung kuku anak
kecil berumur 5 tahun (saking bingungnya cari padanan). Nah setelah lontong di
iris-iris dengan ukuran lumayan besar, kemudian di tuang sedikit sambal petis
khas Surabaya, di siram kuah berisi kupang yang sangat banyak jumlahnya,
terakhir di beri tusukan sate kerang beberapa biji. Hm... Lezaat...
Untungnya kali ini Lontong
Kupang seharga 8 ribu yang kami makan lumayan enak. Maklum, tidak semua penjual
makanan menyediakan makanan khasnya dengan rasa yang pas di lidah, meskipun itu
lidah orang Jawa sendiri seperti saya. Sebab saya pernah trauma dengan lontong
kupang yang saya beli sewaktu malam persiapan acara Lodorpa atau Lomba Dorong
Perahu beberapa bulan yang lalu. Dan itu menjadi moment terakhir saya memakan
makanan tersebut hingga hari ini. Tidak hanya itu, acara kuliner kali ini di
lengkapi dengan Buah Kelapa Muda kesukaan saya yang besar-besar ukurannya.
Segerrr...
Rasa makanan ini begitu khas,
bisa di bilang ini termasuk makanan laut atau yang biasa di sebut seafood.
Memang, rasa petis begitu mendominasi, namun rasa kerang-kerang kecil tersebut
juga masih dapat di nikmati, gurih, asin dan sedikit manis. Teksturnyapun tergolong
lembut, sehingga tak perlu bersusah payah untuk mengunyah layaknya ketika makan
kerang-kerang dengan ukuran lebih besar. Plus sate kerang yang begitu nikmat
menggiurkan, gara-gara mindset “Save the best for the last” maka saya sengaja
sisakan beberapa tusuk sate kerang untuk di kunyah terakhir. Dan seruputan kuah
terakhir yang begitu menyenangkan, hingga habislah makanan di depan kami tanpa
sisa, maunya si menjilati piringnya sekalian biar tambah bersih, tapi...
sepertinya bukan waktu dan tempat yang tepat untuk melakukannya hehe...
Ah... kenyang rasanya perut
ini, dan serangan kantukpun menghinggapi kepala kami. Si Hanafi sudah mulai “ndelosoran”
di karpet berpayung pohon di pinggir jalan itu. Sambil sesekali menghisap
batang rokoknya yang sedari tadi tidak habis-habis. Saya sendiri masih
menikmati buah kelapa muda seharga 15 ribu berwarna hijau itu. Mahal sih, tapi
bagi saya benar-benar memuaskan moment kuliner kali ini.
Usai membayar kepada ibu-ibu
penjual Lontong Kupangnya, kami segera beranjak dan menuju Kuil Dewa Langit
yang berada di seberang jalan. Dari dulu memang sudah berhasrat untuk
menyambangi kuil yang mirip seperti yang ada di daratan China ini. Kalau di
sana memang namanya Kuil Dewa Langit, tapi yang di sini saya tidak tahu
namanya. Dari jauh memang kelihatan megah, namun sayang, pas mendekat
sepertinya bangunan tersebut tidak terurus. Banyak coretan tangan jahil di
sebagian temboknya, pun bagian pelataran kuil, seperti tidak ada yang pernah
membersihkannya. Ketika saya mengintip di bagian dalam kuil melalui celah-celah
jendela, tak tampak suatu apapun yang menarik hati di dalam. Kami hanya
mengelilingi kuil tersebut secara kilat, dan Hanafi sibuk dengan kamera hp nya
mencari angel yang tepat untuk mem-foto kuil Dewa Langit itu. Lantas kami
segera menuju mobil untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya. Karena Hanafi
belum pernah berkunjung ke patung Budha Empat Wajah atau bahasa kerennya Four
Face Budha, maka kami segera menuju ke sana karena masih dalam area Kenpark.
[...fin...]
Article by: Fritz C. Vila
Photos by: Hanafi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2VUr11-i3DJPtRjKEVPtACYZ6IlUZ5hhppYNNkMq9s10TtmFWjUVj0qo0-pLzvTo2aBkD5tR4TNwwbBMaRHLX7SA5L8_y8xqgbB3nNMOl9Ubhv8J4kteXuKeGeeko59TmAReyVjR__cc/s200/20130922_153234.jpg)
No comments:
Post a Comment