Friday, September 27, 2013

   

Lontong Kupang Melayang-layang



“Mbadhog” Lontong Kupang di Festival Layang-layang

Balai Pemuda, kalau di Inggriskan mungkin akan menjadi Hall of Youth. Dan entah apa yang akan terpikirkan oleh para bule ketika mendengar kata-kata Hall of Youth itu. Mungkin mereka akan berfikir bahwa itu adalah tempat dimana banyak anak muda nongkrong, melakukan segala aktifitas ke-pemuda-an, ada yang pacaran, ada yang belajar, ada yang berdiskusi kelompok membahas isu-isu krusial, atau mungkin ada yang sedang rapat rencana demo esok hari. Atau bisa jadi mereka akan berfikir itu adalah salah satu gedung sekolah pelajar SMP atau SMA. Yang jelas, mereka pasti kecele’ ketika mampir di Balai Pemuda tersebut, karena saat ini Balai Pemuda merupakan Pusat Infromasi Pariwisata Surabaya, atau kerennya Surabaya Tourism Information Center (TIC). Di tempat inilah bukti sebuah usaha dari pemerintah setempat untuk menggiatkan industry pariwisata di Surabaya.

Ketika kita memasuki ruang utama, kita akan di suguhi berbagai brosur tentang pariwisata baik di Surabaya maupun Jawa Timur. Ada brosur wisata kuliner, brosur wisata religi, wisata budaya dan lain-lain. Di situ juga dapat di jumpai mbak-mbak atau mas-mas yang lumayan fasih berbahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya, sehingga turis asing tidak akan merasa asing kalau mengunjungi tempat itu. Juga ada berbagai souvenir khas kota Surabaya dengan berbagai bentuk seperti gantungan kunci, miniatur Tugu Pahlawan dan lain-lain. Namun sayangnya harga yang tertera cukup mahal, bahkan jauh lebih mahal dari yang pernah saya temui di Kuala Lumpur maupun di Bangkok. Contohnya saja gantungan kunci, di situ tertera harga 40 ribu rupiah per bijinya, sedangkan dengan jenis dan ukuran yang sama di Bangkok souvenir semacam itu saya dapati hanya kurang lebih 6 ribu rupiah. Kalau kurs Bath saat ini katakanlah 400 rupiah, saya beli satu bendel gantungan kunci isi 6 seharga 100 THB maka per bijinya menjadi 16,67 THB alias 6.666 rupiah per bijinya, jauh banget ya...

Ya sudahlah, biarkan berlaku seperti itu untuk saat ini. Toh saya juga tidak sedang berminat untuk membeli souvenir tersebut. Hari itu saya jumpai mbak Karina, salah satu penjaga TIC. Dia sedang sibuk melayani seorang turis dari Singapura. Diapun bingung ketika kami datang, takut tidak ada yang melayani kami, kami sadar dan memberi aba-aba ke mbak Karina untuk lanjut melayani si turis Singapura. Saya segera dengan semangat mengambil satu-persatu brosur maupun booklet yang tersedia di rak sebelah kiri pintu masuk TIC. Tiba-tiba mbak Karina meminta saya untuk mengisi buku tamu, dan kamipun segera menurutinya. Ketika itu juga mbak Karina memberi tahu kami kalau ada Festival Layang-layang yang sedang berlangsung di Kenpark Kenjeran. Saya segera memberi tanda ke Hanafi untuk segera meluncur ke sana. Namun sejenak kami mendengarkan si turis Singapura yang sedang bercerita panjang kali lebar ke mbak Karina. Setelah di rasa cukup yang ternyata banyak banget ceritanya, kami memutuskan untuk segera pergi dari jebakan cerita turis tadi. Sempat memang kami menawari bapak Singapura tadi untuk jalan-jalan bareng kami, tapi dia menolak, kamipun kemudian merasa bersyukur pada akhirnya. Tidak dapat di bayangkan dia akan bercerita panjang kali lebar sepanjang jalan nantinya uff...

Matahari sudah condong ke arah barat ketika kami sampai di Kenpark. Jam menunjukkan sekitar pukul 03.00 sore, untungnya festival layang-layangnya belum selesai. Jadi kami masih sempat melihat layang-layang berbagai bentuk melayang-layang di udara di lapangan dekat kuil Dewa Langit Kenpark. Ada yang super panjang, ada yang super besar ada pula yang kecil-kecil. Ada yang berbentuk Naga, Kodok, Ikan, Monster dan berbagai bentuk lainnya berwarna warni menghiasi langit Kenpark sore itu. Puas dengan layang-layang, segera kami memutuskan untuk mencari makan di sekitaran lokasi festival, karena perut sudah mulai berontak meminta-minta untuk di isi. Target kami waktu itu adalah Lontong Kupang.

Dilihat dari namanya, semua pasti tahu kalau makanan ini menggunakan lontong sebagai bahan utamanya. Seperti mahfum di ketahui, banyak makanan Indonesia, Jawa Timur khususnya, yang menggunakan bahan utama nasi padat lonjong terbungkus daun pisang ini. Ada Lontong Kupang, ada Lontong Balap, Lontong Kikil, Lontong Sayur dan berbagai makanan khas lainnya, tergantung bahan pelengkap dan asal makanannya. Khusus Lontong Kupang ini, sepertinya hanya ada di Surabaya dan daerah pesisir Jawa Timur lainnya seperti Sidoarjo dan Gresik. Kupang adalah sejenis hewan laut berupa kerang, namun ukurannya sangat kecil. Mungkin seukuran ujung kuku anak kecil berumur 5 tahun (saking bingungnya cari padanan). Nah setelah lontong di iris-iris dengan ukuran lumayan besar, kemudian di tuang sedikit sambal petis khas Surabaya, di siram kuah berisi kupang yang sangat banyak jumlahnya, terakhir di beri tusukan sate kerang beberapa biji. Hm... Lezaat...

Untungnya kali ini Lontong Kupang seharga 8 ribu yang kami makan lumayan enak. Maklum, tidak semua penjual makanan menyediakan makanan khasnya dengan rasa yang pas di lidah, meskipun itu lidah orang Jawa sendiri seperti saya. Sebab saya pernah trauma dengan lontong kupang yang saya beli sewaktu malam persiapan acara Lodorpa atau Lomba Dorong Perahu beberapa bulan yang lalu. Dan itu menjadi moment terakhir saya memakan makanan tersebut hingga hari ini. Tidak hanya itu, acara kuliner kali ini di lengkapi dengan Buah Kelapa Muda kesukaan saya yang besar-besar ukurannya. Segerrr...

Rasa makanan ini begitu khas, bisa di bilang ini termasuk makanan laut atau yang biasa di sebut seafood. Memang, rasa petis begitu mendominasi, namun rasa kerang-kerang kecil tersebut juga masih dapat di nikmati, gurih, asin dan sedikit manis. Teksturnyapun tergolong lembut, sehingga tak perlu bersusah payah untuk mengunyah layaknya ketika makan kerang-kerang dengan ukuran lebih besar. Plus sate kerang yang begitu nikmat menggiurkan, gara-gara mindset “Save the best for the last” maka saya sengaja sisakan beberapa tusuk sate kerang untuk di kunyah terakhir. Dan seruputan kuah terakhir yang begitu menyenangkan, hingga habislah makanan di depan kami tanpa sisa, maunya si menjilati piringnya sekalian biar tambah bersih, tapi... sepertinya bukan waktu dan tempat yang tepat untuk melakukannya hehe...

Ah... kenyang rasanya perut ini, dan serangan kantukpun menghinggapi kepala kami. Si Hanafi sudah mulai “ndelosoran” di karpet berpayung pohon di pinggir jalan itu. Sambil sesekali menghisap batang rokoknya yang sedari tadi tidak habis-habis. Saya sendiri masih menikmati buah kelapa muda seharga 15 ribu berwarna hijau itu. Mahal sih, tapi bagi saya benar-benar memuaskan moment kuliner kali ini.

Usai membayar kepada ibu-ibu penjual Lontong Kupangnya, kami segera beranjak dan menuju Kuil Dewa Langit yang berada di seberang jalan. Dari dulu memang sudah berhasrat untuk menyambangi kuil yang mirip seperti yang ada di daratan China ini. Kalau di sana memang namanya Kuil Dewa Langit, tapi yang di sini saya tidak tahu namanya. Dari jauh memang kelihatan megah, namun sayang, pas mendekat sepertinya bangunan tersebut tidak terurus. Banyak coretan tangan jahil di sebagian temboknya, pun bagian pelataran kuil, seperti tidak ada yang pernah membersihkannya. Ketika saya mengintip di bagian dalam kuil melalui celah-celah jendela, tak tampak suatu apapun yang menarik hati di dalam. Kami hanya mengelilingi kuil tersebut secara kilat, dan Hanafi sibuk dengan kamera hp nya mencari angel yang tepat untuk mem-foto kuil Dewa Langit itu. Lantas kami segera menuju mobil untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya. Karena Hanafi belum pernah berkunjung ke patung Budha Empat Wajah atau bahasa kerennya Four Face Budha, maka kami segera menuju ke sana karena masih dalam area Kenpark.

[...fin...]

Article by: Fritz C. Vila
Photos by: Hanafi




No comments:

Post a Comment

Recent Comments