Saturday, September 28, 2013

   

Malam Sastra Stikosa AWS



Melihat Pertunjukan “Orang-orang Gila”

Malam tanpa seni itu ibaratnya tenggorokan kering yang tak berkesudahan. Seni sendiri adalah air dingin yang mampu melenyapkan segala dahaga dalam gelapnya malam. Dan hanya orang-orang gila yang mampu menunjukkan sebuah karya seni yang “gila” pula. Ya, karena hanya beda tipis antara orang seni dan orang gila, kata mereka. Tiap malam kita di suguhi berbagai seni yang tercipta di alam, seni lampu kelap-kelip oleh kunang-kunang, seni paduan suara oleh kodok di persawahan, seni musik dari para jangkrik yang menggesekkan sayapnya, layaknya seorang violist yang sedang bersenandung indah dengan biola di tangannya. Namun sepertinya itu hanya terjadi di desa-desa, bukan di kota-kota. Karena di kota tidak ada sawah maupun ladang atau jangkrik maupun kunang-kunang, di kota hanya ada tikus dan kecoak yang bikin merinding penduduknya. Bagaimana tidak, tikus di kota seperti Surabaya sebesar kucing-kucingnya.

Tapi malam ini serasa berbeda, dan jarang adanya. Berbagai pertunjukkan seni yang di tampilkan arek-arek Stikosa AWS Surabaya dan teman-temannya seperti mengaburkan semua teori di atas tadi. Bahwa di kota juga bisa ada seni, bahwa di kota tidak melulu tikus dan kecoak tapi masih ada jangkrik dan kunang-kunang yang di perankan oleh pemuda-pemudi yang memiliki kemampuan seperti “orang gila”. “Sungguh hebat teman-teman ini” gumam saya dalam hati. Malam sastra semalam tadi telah membius mata dan hati saya untuk tidak beranjak selama hampir 3 jam lebih. Mulai dari seni tari, pertunjukan teater, musikalisasi puisi dan senandung-senandung indah lainnya begitu apik dituangkan dalam balutan kegelapan ruang.

Saya teringat ketika si Fafa membacakan puisi yang mungkin berjudul “Ngenthu”, ya ngenthu, sebuah kosakata Surabaya yang masih tabu oleh sebagian kalangan, karena itu berarti berjimak atau bahasa Jakartanya “Ngentot”. Pertama dia eja satu persatu hurufnya, “N, G... N, G, E... N, G, E, N, T, H, U...” membuat semua orang dalam ruangan bertanya-tanya, sebenarnya apa sih yang dia mau katakan. Karena dia sambil membaca kamus di tangannya, seolah-olah sedang belajar bahasa Inggris. Saya pikir juga begitu. Namun tiba-tiba “Grrr.... wakakaka...” gelak tawa mereka memecah keheningan yang tercipta sekian detik yang lalu, lantaran Fafa berhasil membaca kosakata tersebut dengan kerasnya. Dan diapun melanjutkan puisinya di temani seorang lelaki yang tadinya berpakaian utuh dengan rantai terbuka menggelantung di lehernya, namun akhirnya semua pakaian itu terlepas dari tubuhnya satu persatu oleh Fafa. Dan si lelaki sendiri melakonkan seperti orang yang sedang menahan hawa nafsunya dengan gerakan-gerakan anehnya. Tapi saya masih bingung, apa sebenarnya “message” dari puisi ini.

Kemudian saya bertambah bingung dengan panampilan berikutnya. Saya yang memang goblok tentang seni pertunjukan atau memang teatrikal tersebut yang membingungkan, entahlah. Tiga orang, satu cewek di tengah berbalut baju kebaya merah bersarung kain batik dominan putih dengan mimik muka seperti orang gelisah dengan sebuah “cowek” di atas kepalanya. Kemudian di kiri kanan ada lelaki-lelaki bertelanjang dada bersarung kain putih dengan mimik muka tenang. Sejurus kemudian mereka melakukan gerakan-gerakan yang aneh, aneh menurut saya. Si cewek sambil memanggul cobek berjalan ke depan ke belakang dengan tangan mengayunkan tarian-tarian mirip tarian Bali. Sedangkan si cowok-cowoknya berakrobat pelan dengan mengangkat tubuhnya ke atas dan menggerakkan kaki-kakinya. Aduh, saya semakin tidak paham. Adegan terakhir para cowok ini mengambil selembar kain panjang berwarna merah darah, membelitkan kain tersebut di kepala mereka dan mulai menarik satu sama lain dari ujung yang berbeda, juga di tambah gerakan aneh. Kemudian sang ceweknya mendekati para cowok satu persatu dan memasukkan sesuatu ke mulut masing-masing cowok tersebut, tadinya saya kira itu adalah kembang, namun ternyata itu bukan kembang tapi cabe. Lagi lagi saya belum paham maksudnya. End of story... dengan tanda tanya besar tentunya, menyembul tepat di atas kepala saya berwarna putih pucat.

Nah selepas adegan tersebut, di interviewlah mereka oleh MCnya. “Itu tadi apa ceritanya” tanya si MC. “Itu tadi menggambarkan bahwa Bangsa Indonesia pada jaman dahulu terkenal dengan rempah-rempahnya dan menjadi rebutan bangsa eropa yang menjajah bla, bla, bla...” jawab si cewek. OH MY GOD... kok saya gak kepikir sampai ke situ ya, “apanya yang nyambung dengan bangsa rempah-rempah” gumam saya. Aduh... ya sudahlah, tapi gerakan-gerakannya keren kok, apalagi mimik muka si cewek yang benar-benar konsisten tanpa perubahan selama pertunjukan, apik...

Tiba-tiba perut saya terasa lapar, lapar sekali. Ya, karena pas berangkat dari kost perut saya dalam keadaan kosong melompong. Di tambah seharian tadi saya tour Surabaya bersama si Hans, capek beud gitu... Lalu saya memutuskan untuk keluar ruangan, berharap menemukan makanan di luar sana, maksud saya warung makan untuk mengisi perut yang sudah menangisi nasibya dari tadi. Eh pas mau nyampe pintu, si Fafa memanggil dengan kencengnya. “Mas Fritz...” panggil Fafa. Lah, gak jadi makan deeeh...

Sayapun menyahut dan tau kalau dia Fafa, wah kebetulan, mungkin aja di ruangan para artis sono ada makanan yang bisa mengganjal perut. Saya di antar si Fafa untuk menemui Ryan, dalang di balik pertunjukan Malam Sastra. Seusai bermanis-manis dengan Ryan dan para Aktor dan Aktris di ruang artis, saya celingak-celinguk mencari “cuwilan-cuwilan” roti atau snack lainnya untuk saya paksa masuk perut. “Dying” banget saat itu rasanya... untungnya si Fafa paham betul gerakan saya. Di ambilnya sebuah “tampah” berisikan remah-remah snack campur aduk, ada jajan stick bawang-bawangan, ada seperti jajan bidaran dan lain sebagainya. Segera tangan secara ostosmastis meraih remahan-remahan tersebut, enaak.... Sejurus kemudian si Fafa mengajak saya memasuki ruangan gelap tadi,  lagi...

Kali ini sebuah puisi yang di tampilkan mas-mas yang agak “kemayu”. Saya lupa ceritanya tentang apa, waduh lupa terus jangan-jangan amnesia lagi. Yang pasti di tengah-tengah dia baca puisi, dia memerankan seorang ayah yang mati. Ya, itu dia... dia bercerita tentang seorang anak yang bercakap-cakap dengan ayahnya yang sedang sekarat. Tapi anehnya tiba-tiba ada sesosok kuntilanak berjalan-jalan di belakangnya, dengan puisi yang bertanya-tanya tentang setan tersebut.
“Apakah dia seorang laki-laki”
“ataukah dia seorang waria” kata si pembaca puisi.
Gebleknya, para penonton kompak menjawab “bisa jadi, bisa jadi, iya iya...” layaknya kuis di tv yang tebak kata di helm yang terpasang di kepala orang di depannya... Ramai betul moment itu, saya sendiri tertawa tidak berhenti-berhenti. “Ini baca puisi atau pertunjukan komedi sih” pikir saya. Adegan berganti tentang tukang sate dan kuntilanak seperti yang sering di mainkan di film-film horor Indonesia yang di perankan oleh Suzana.

Eh saya lupa, sebelum itu ada teatrikal dari senior UKM Lingkar yang mengisahkan sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Anak dan seekor anjing yang berjudul “Asu Kabeh”. Kemudian setelah puisi komedi tadi ada sebuah monolog yang lagi-lagi saya tidak mengerti maksudnya apa, yang jelas ceritanya datar dan monoton, menurut saya.

Bagi saya puncak cerita malam itu adalah ketika Puisi Teatrikal asuhan teman saya, Ryan, di mainkan, yang mengisahkan tentang seorang bayi dalam kandungan yang berbincang dengan ibunya yang “tidak menginginkannya”. Dengan latar suara yang aneh sedikit horor, duduklah seorang ibu mengandung di tengah panggung berbalut kain putih. Di depannya sudah tersulut 4 lilin sebagai penerangannya, membuat suasana semakin, Horor. Dengan latar panggung serba hitam, moment itu begitu hidup. Tiba-tiba ada 2 sosok dari kiri dan kanan panggung memasuki area di sisi sang Ibu dengan gerakan-gerakan anehnya. Dua sosok itu juga serba hitam, tubuh mereka di balur oli keseluruhan dengan ujung jari masing-masing berlumur cat merah darah, dan hanya memakai celana dalam saja. Sebagian kepala ditutupi stocking hitam, sehingga tak nampak wajah mereka sebenarnya. Pas mereka berhenti dengan pose melipat tubuh inilah puisi mulai di bacakan.

Pertama sang jabang bayi bicara kepada ibunya, dia bilang kalau tempat ia berada saat ini begitu nyaman, dia bersyukur kepada Allah karena telah berada di perut Ibunya yang sangat sayang padanya. Dan kata-kata yang menyanjung sang Ibundanya.
“Ibu, aku merasa bahagia ada di sini bersama Ibu, aku merasa nyaman Bu, aku begitu menyayangimu Ibu, begitu juga Ibu, pasti menyayangiku...” kata-kata pertama sang jabang bayi.
Namun tiba-tiba dia merasa sakit, sakit sesakit sakitnya, seolah-olah ada benda yang sedang mencengkeram kepalanya dan memaksanya keluar dari tempatnya berdiam itu.
“sakit bu, sakit... benda apa ini, dia menyakitiku, dia mencengkeram kepalaku seperti sedang menarikku keluar dari perutmu... oh... sakitnya, hentikan benda ini bu, hentikan” kata si jabang bayi.
Sang Ibupun seperti sedang memukul-mukul perutnya dengan kerasnya sambil menangis histeris.
“Ibu kenapa, kenapa ibu bersedih, kenapa Ibu menangis bu... bukankah Ibu sekarang sedang bersamaku, malaikat kecilmu, bukankah Ibu sangat menyayangiku, bukankah Ibu sangat menginginkan aku” kata si jabang bayi.
“Ibu tolong aku, benda ini menyakitiku lagi, tolong aku ibu... sakiiit... aku sudah  tak tahan lagi Bu, tolonglah aku, malaikat kecilmu, tolong keluarkan benda ini Ibu...” suara si jabang bayi begitu kuatnya, seolah apa yang dia rasakan begitu memilukan.

Sang Ibupun tak menghiraukan jeritan jabang bayinya dan terus memukul perutnya, kemudian menjatuhkan tubuhnya begitu keras ke lantai hingga keluar darah dari dalam perutnya, hingga kain yang tadinya putih bersih, kini berubah kemerahan lantaran darah yang keluar.

Sejurus kemudian, keluarlah pembaca puisi yang lain. Dia memerankan sang jabang bayi yang berada di Syurga. “Ibu, aku kini berada di Syurga berasa Allah... aku juga kini memiliki banyak teman di sini, yang nasibnya sama seperti aku, tapi aku sangat rindu padamu Ibu... karena aku tahu, Ibu sangat menyayangiku, malaikat kecilmu” kata sang jabang bayi.
“Ibu, kenapa mereka bilang, bahwa Ibu tidak menginginkanku, mereka bilang kalau aku telah di aborsi oleh Ibu... apa itu aborsi Ibu?? Benda apa itu, benda itukah yang telah menyakitiku tadi Ibu, benda itukah yang dengan kejamnya memaksaku keluar dari perutmu??” kata sang jabang bayi lagi.
“Ibu, maafkanlah aku Ibu, maafkanlah aku yang tidak bisa menjadi malaikat kecilmu, maafkanlah aku yang tidak bisa membuatmu bahagia Ibu, maafkan...” kemudian adegan diakhiri dengan kematian sang Ibu yang tergeletak di lantai.

Ah... sedih rasanya mengingat moment ini, sekarangpun saya sedang menangis sesenggukan. Tidak biasanya saya menulis sampai menangis begini. Saya salut kepada teman saya, sutradara sekaligus penulis puisi tersebut. Walaupun penonton sudah banyak yang beranjak pergi, namun tak merusak moment yang dapat di hidupkan oleh puisi teatrikal tentang Ibu dan jabang bayinya tadi. Kamu keren bro...

Terakhir adalah sebuah tarian modern yang ditampilkan oleh sepasang kekasih, si cowok bernama “Ndrenges”, sedangkan yang cewek saya lupa. Ketika saya tanya teman saya kenapa namanya aneh gitu, dia bilang “lihat aja mukanya, kayak orang hippies kan??” oh... begitu ceritanya, emang si cowok tersebut sekilas mukanya mirip orang pemakai, lucu... Mas Salim tidak mau ketinggalan, dia adalah teman dari ISI Jogja, dia menampilkan sebuah monolog plus lagu karyanya yang menceritakan tentang seorang temannya yang memiliki perilaku biseksual yang kini telah tiada.

Sebelum penutup, dua orang mahasiswa kembar menyajikan nyanyian yang di ambil dari puisi-puisi. Saking kembarnya mereka, bahkan model rambut dan kumisnyapun tampak sama, lucu banget. Lebih lucu lagi ternyata mereka tidak bisa mengucap huruf “r”, ketika bernyanyi lagu berjudul “Warung Angkringan” jadinya malah “Wayung Angkyingan” hahaha... geblek pak.

Malam Sastra ditutup dengan menyanyikan lagu hymne UKM Lingkar oleh para anggota UKM Lingkar, mereka sambil bergandengan tangan dan diiringi musik khas hymne UKM Lingkar menyanyikan lagu tersebut dengan penghayatan. Salut saya sama anak-anak muda ini, saya juga muda sih, tapi tak semuda mereka. Malam Sastra di Stikosa AWS Surabaya ini rutin di gelar setiap 3 bulan sekali, kata Fafa. Jadi, mari kita tunggu Malam Sastra berikutnya, se”gila” apa teman-teman Stikosa AWS di Malam Sastra berikutnya, kita akan tahu 3 bulan lagi.

[...fin...]

Article by: Fritz C. Vila
Photos by:Rosita 'Princess'












 

No comments:

Post a Comment

Recent Comments