Melihat
Pertunjukan “Orang-orang Gila”
Malam tanpa seni itu ibaratnya
tenggorokan kering yang tak berkesudahan. Seni sendiri adalah air dingin yang
mampu melenyapkan segala dahaga dalam gelapnya malam. Dan hanya orang-orang
gila yang mampu menunjukkan sebuah karya seni yang “gila” pula. Ya, karena
hanya beda tipis antara orang seni dan orang gila, kata mereka. Tiap malam kita
di suguhi berbagai seni yang tercipta di alam, seni lampu kelap-kelip oleh
kunang-kunang, seni paduan suara oleh kodok di persawahan, seni musik dari para
jangkrik yang menggesekkan sayapnya, layaknya seorang violist yang sedang
bersenandung indah dengan biola di tangannya. Namun sepertinya itu hanya
terjadi di desa-desa, bukan di kota-kota. Karena di kota tidak ada sawah maupun
ladang atau jangkrik maupun kunang-kunang, di kota hanya ada tikus dan kecoak
yang bikin merinding penduduknya. Bagaimana tidak, tikus di kota seperti
Surabaya sebesar kucing-kucingnya.
Tapi malam ini serasa berbeda,
dan jarang adanya. Berbagai pertunjukkan seni yang di tampilkan arek-arek
Stikosa AWS Surabaya dan teman-temannya seperti mengaburkan semua teori di atas
tadi. Bahwa di kota juga bisa ada seni, bahwa di kota tidak melulu tikus dan
kecoak tapi masih ada jangkrik dan kunang-kunang yang di perankan oleh
pemuda-pemudi yang memiliki kemampuan seperti “orang gila”. “Sungguh hebat
teman-teman ini” gumam saya dalam hati. Malam sastra semalam tadi telah membius
mata dan hati saya untuk tidak beranjak selama hampir 3 jam lebih. Mulai dari
seni tari, pertunjukan teater, musikalisasi puisi dan senandung-senandung indah
lainnya begitu apik dituangkan dalam balutan kegelapan ruang.
Saya teringat ketika si Fafa
membacakan puisi yang mungkin berjudul “Ngenthu”, ya ngenthu, sebuah kosakata
Surabaya yang masih tabu oleh sebagian kalangan, karena itu berarti berjimak
atau bahasa Jakartanya “Ngentot”. Pertama dia eja satu persatu hurufnya, “N,
G... N, G, E... N, G, E, N, T, H, U...” membuat semua orang dalam ruangan
bertanya-tanya, sebenarnya apa sih yang dia mau katakan. Karena dia sambil
membaca kamus di tangannya, seolah-olah sedang belajar bahasa Inggris. Saya
pikir juga begitu. Namun tiba-tiba “Grrr.... wakakaka...” gelak tawa mereka
memecah keheningan yang tercipta sekian detik yang lalu, lantaran Fafa berhasil
membaca kosakata tersebut dengan kerasnya. Dan diapun melanjutkan puisinya di
temani seorang lelaki yang tadinya berpakaian utuh dengan rantai terbuka
menggelantung di lehernya, namun akhirnya semua pakaian itu terlepas dari
tubuhnya satu persatu oleh Fafa. Dan si lelaki sendiri melakonkan seperti orang
yang sedang menahan hawa nafsunya dengan gerakan-gerakan anehnya. Tapi saya
masih bingung, apa sebenarnya “message” dari puisi ini.
Kemudian saya bertambah
bingung dengan panampilan berikutnya. Saya yang memang goblok tentang seni
pertunjukan atau memang teatrikal tersebut yang membingungkan, entahlah. Tiga
orang, satu cewek di tengah berbalut baju kebaya merah bersarung kain batik
dominan putih dengan mimik muka seperti orang gelisah dengan sebuah “cowek” di
atas kepalanya. Kemudian di kiri kanan ada lelaki-lelaki bertelanjang dada
bersarung kain putih dengan mimik muka tenang. Sejurus kemudian mereka
melakukan gerakan-gerakan yang aneh, aneh menurut saya. Si cewek sambil
memanggul cobek berjalan ke depan ke belakang dengan tangan mengayunkan
tarian-tarian mirip tarian Bali. Sedangkan si cowok-cowoknya berakrobat pelan
dengan mengangkat tubuhnya ke atas dan menggerakkan kaki-kakinya. Aduh, saya
semakin tidak paham. Adegan terakhir para cowok ini mengambil selembar kain
panjang berwarna merah darah, membelitkan kain tersebut di kepala mereka dan
mulai menarik satu sama lain dari ujung yang berbeda, juga di tambah gerakan
aneh. Kemudian sang ceweknya mendekati para cowok satu persatu dan memasukkan
sesuatu ke mulut masing-masing cowok tersebut, tadinya saya kira itu adalah
kembang, namun ternyata itu bukan kembang tapi cabe. Lagi lagi saya belum paham
maksudnya. End of story... dengan tanda tanya besar tentunya, menyembul tepat
di atas kepala saya berwarna putih pucat.
Nah selepas adegan tersebut,
di interviewlah mereka oleh MCnya. “Itu tadi apa ceritanya” tanya si MC. “Itu
tadi menggambarkan bahwa Bangsa Indonesia pada jaman dahulu terkenal dengan
rempah-rempahnya dan menjadi rebutan bangsa eropa yang menjajah bla, bla,
bla...” jawab si cewek. OH MY GOD... kok saya gak kepikir sampai ke situ ya,
“apanya yang nyambung dengan bangsa rempah-rempah” gumam saya. Aduh... ya
sudahlah, tapi gerakan-gerakannya keren kok, apalagi mimik muka si cewek yang
benar-benar konsisten tanpa perubahan selama pertunjukan, apik...
Tiba-tiba perut saya terasa
lapar, lapar sekali. Ya, karena pas berangkat dari kost perut saya dalam
keadaan kosong melompong. Di tambah seharian tadi saya tour Surabaya bersama si
Hans, capek beud gitu... Lalu saya memutuskan untuk keluar ruangan, berharap
menemukan makanan di luar sana, maksud saya warung makan untuk mengisi perut
yang sudah menangisi nasibya dari tadi. Eh pas mau nyampe pintu, si Fafa
memanggil dengan kencengnya. “Mas Fritz...” panggil Fafa. Lah, gak jadi makan
deeeh...
Sayapun menyahut dan tau kalau
dia Fafa, wah kebetulan, mungkin aja di ruangan para artis sono ada makanan
yang bisa mengganjal perut. Saya di antar si Fafa untuk menemui Ryan, dalang di
balik pertunjukan Malam Sastra. Seusai bermanis-manis dengan Ryan dan para
Aktor dan Aktris di ruang artis, saya celingak-celinguk mencari
“cuwilan-cuwilan” roti atau snack lainnya untuk saya paksa masuk perut. “Dying”
banget saat itu rasanya... untungnya si Fafa paham betul gerakan saya. Di ambilnya
sebuah “tampah” berisikan remah-remah snack campur aduk, ada jajan stick
bawang-bawangan, ada seperti jajan bidaran dan lain sebagainya. Segera tangan
secara ostosmastis meraih remahan-remahan tersebut, enaak.... Sejurus kemudian
si Fafa mengajak saya memasuki ruangan gelap tadi, lagi...
Kali ini sebuah puisi yang di
tampilkan mas-mas yang agak “kemayu”. Saya lupa ceritanya tentang apa, waduh
lupa terus jangan-jangan amnesia lagi. Yang pasti di tengah-tengah dia baca
puisi, dia memerankan seorang ayah yang mati. Ya, itu dia... dia bercerita
tentang seorang anak yang bercakap-cakap dengan ayahnya yang sedang sekarat.
Tapi anehnya tiba-tiba ada sesosok kuntilanak berjalan-jalan di belakangnya,
dengan puisi yang bertanya-tanya tentang setan tersebut.
“Apakah dia seorang laki-laki”
“ataukah dia seorang waria”
kata si pembaca puisi.
Gebleknya, para penonton
kompak menjawab “bisa jadi, bisa jadi, iya iya...” layaknya kuis di tv yang
tebak kata di helm yang terpasang di kepala orang di depannya... Ramai betul
moment itu, saya sendiri tertawa tidak berhenti-berhenti. “Ini baca puisi atau
pertunjukan komedi sih” pikir saya. Adegan berganti tentang tukang sate dan
kuntilanak seperti yang sering di mainkan di film-film horor Indonesia yang di
perankan oleh Suzana.
Eh saya lupa, sebelum itu ada
teatrikal dari senior UKM Lingkar yang mengisahkan sebuah keluarga yang terdiri
dari Ayah, Anak dan seekor anjing yang berjudul “Asu Kabeh”. Kemudian setelah
puisi komedi tadi ada sebuah monolog yang lagi-lagi saya tidak mengerti
maksudnya apa, yang jelas ceritanya datar dan monoton, menurut saya.
Bagi saya puncak cerita malam
itu adalah ketika Puisi Teatrikal asuhan teman saya, Ryan, di mainkan, yang
mengisahkan tentang seorang bayi dalam kandungan yang berbincang dengan ibunya
yang “tidak menginginkannya”. Dengan latar suara yang aneh sedikit horor,
duduklah seorang ibu mengandung di tengah panggung berbalut kain putih. Di
depannya sudah tersulut 4 lilin sebagai penerangannya, membuat suasana semakin,
Horor. Dengan latar panggung serba hitam, moment itu begitu hidup. Tiba-tiba
ada 2 sosok dari kiri dan kanan panggung memasuki area di sisi sang Ibu dengan
gerakan-gerakan anehnya. Dua sosok itu juga serba hitam, tubuh mereka di balur
oli keseluruhan dengan ujung jari masing-masing berlumur cat merah darah, dan
hanya memakai celana dalam saja. Sebagian kepala ditutupi stocking hitam,
sehingga tak nampak wajah mereka sebenarnya. Pas mereka berhenti dengan pose
melipat tubuh inilah puisi mulai di bacakan.
Pertama sang jabang bayi
bicara kepada ibunya, dia bilang kalau tempat ia berada saat ini begitu nyaman,
dia bersyukur kepada Allah karena telah berada di perut Ibunya yang sangat
sayang padanya. Dan kata-kata yang menyanjung sang Ibundanya.
“Ibu, aku merasa bahagia ada
di sini bersama Ibu, aku merasa nyaman Bu, aku begitu menyayangimu Ibu, begitu
juga Ibu, pasti menyayangiku...” kata-kata pertama sang jabang bayi.
Namun tiba-tiba dia merasa
sakit, sakit sesakit sakitnya, seolah-olah ada benda yang sedang mencengkeram
kepalanya dan memaksanya keluar dari tempatnya berdiam itu.
“sakit bu, sakit... benda apa
ini, dia menyakitiku, dia mencengkeram kepalaku seperti sedang menarikku keluar
dari perutmu... oh... sakitnya, hentikan benda ini bu, hentikan” kata si jabang
bayi.
Sang Ibupun seperti sedang
memukul-mukul perutnya dengan kerasnya sambil menangis histeris.
“Ibu kenapa, kenapa ibu
bersedih, kenapa Ibu menangis bu... bukankah Ibu sekarang sedang bersamaku,
malaikat kecilmu, bukankah Ibu sangat menyayangiku, bukankah Ibu sangat menginginkan
aku” kata si jabang bayi.
“Ibu tolong aku, benda ini
menyakitiku lagi, tolong aku ibu... sakiiit... aku sudah tak tahan lagi Bu, tolonglah aku, malaikat
kecilmu, tolong keluarkan benda ini Ibu...” suara si jabang bayi begitu
kuatnya, seolah apa yang dia rasakan begitu memilukan.
Sang Ibupun tak menghiraukan
jeritan jabang bayinya dan terus memukul perutnya, kemudian menjatuhkan
tubuhnya begitu keras ke lantai hingga keluar darah dari dalam perutnya, hingga
kain yang tadinya putih bersih, kini berubah kemerahan lantaran darah yang
keluar.
Sejurus kemudian, keluarlah
pembaca puisi yang lain. Dia memerankan sang jabang bayi yang berada di Syurga.
“Ibu, aku kini berada di Syurga berasa Allah... aku juga kini memiliki banyak
teman di sini, yang nasibnya sama seperti aku, tapi aku sangat rindu padamu
Ibu... karena aku tahu, Ibu sangat menyayangiku, malaikat kecilmu” kata sang
jabang bayi.
“Ibu, kenapa mereka bilang,
bahwa Ibu tidak menginginkanku, mereka bilang kalau aku telah di aborsi oleh
Ibu... apa itu aborsi Ibu?? Benda apa itu, benda itukah yang telah menyakitiku
tadi Ibu, benda itukah yang dengan kejamnya memaksaku keluar dari perutmu??”
kata sang jabang bayi lagi.
“Ibu, maafkanlah aku Ibu,
maafkanlah aku yang tidak bisa menjadi malaikat kecilmu, maafkanlah aku yang
tidak bisa membuatmu bahagia Ibu, maafkan...” kemudian adegan diakhiri dengan
kematian sang Ibu yang tergeletak di lantai.
Ah... sedih rasanya mengingat
moment ini, sekarangpun saya sedang menangis sesenggukan. Tidak biasanya saya menulis
sampai menangis begini. Saya salut kepada teman saya, sutradara sekaligus
penulis puisi tersebut. Walaupun penonton sudah banyak yang beranjak pergi,
namun tak merusak moment yang dapat di hidupkan oleh puisi teatrikal tentang
Ibu dan jabang bayinya tadi. Kamu keren bro...
Terakhir adalah sebuah tarian
modern yang ditampilkan oleh sepasang kekasih, si cowok bernama “Ndrenges”,
sedangkan yang cewek saya lupa. Ketika saya tanya teman saya kenapa namanya
aneh gitu, dia bilang “lihat aja mukanya, kayak orang hippies kan??” oh...
begitu ceritanya, emang si cowok tersebut sekilas mukanya mirip orang pemakai,
lucu... Mas Salim tidak mau ketinggalan, dia adalah teman dari ISI Jogja, dia
menampilkan sebuah monolog plus lagu karyanya yang menceritakan tentang seorang
temannya yang memiliki perilaku biseksual yang kini telah tiada.
Sebelum penutup, dua orang
mahasiswa kembar menyajikan nyanyian yang di ambil dari puisi-puisi. Saking
kembarnya mereka, bahkan model rambut dan kumisnyapun tampak sama, lucu banget.
Lebih lucu lagi ternyata mereka tidak bisa mengucap huruf “r”, ketika bernyanyi
lagu berjudul “Warung Angkringan” jadinya malah “Wayung Angkyingan” hahaha...
geblek pak.
Malam Sastra ditutup dengan
menyanyikan lagu hymne UKM Lingkar oleh para anggota UKM Lingkar, mereka sambil
bergandengan tangan dan diiringi musik khas hymne UKM Lingkar menyanyikan lagu
tersebut dengan penghayatan. Salut saya sama anak-anak muda ini, saya juga muda
sih, tapi tak semuda mereka. Malam Sastra di Stikosa AWS Surabaya ini rutin di
gelar setiap 3 bulan sekali, kata Fafa. Jadi, mari kita tunggu Malam Sastra
berikutnya, se”gila” apa teman-teman Stikosa AWS di Malam Sastra berikutnya,
kita akan tahu 3 bulan lagi.
No comments:
Post a Comment