Sunday, September 1, 2013

   

Sebuah Syair Pemikiran part 2 - Peradaban

Peradaban

Aku bukanlah orang yang sempurna, atau taat terhadap agama. Seringkali aku berbuat dosa yang ku sengaja. Tapi menyesal itu tetap ada dan akupun tetap berusaha untuk kembali. Kadang aku melihat keindahan dalam dosa itu, dan akupun tenggelam di dalamnya. Bukannya aku tak terfikirkan untuk menghentikan itu, apa daya, godaan itu terlalu kuat untuk di hindari. Terkadang saking kuatnya hingga membuatku menangis sesenggukan, menangis di depan Tuhan. Berharap segala perasaan itu sirna hilang seiring berjalannya masa. Dan itupun terjadi berulang-ulang mulai aku muda dulu, tanpa mengetahui kapan akan berakhir. Terkadang aku merasa ini sebuah kutukan dari Tuhan. Tapi adakah dosa besar yang kuperbuat di kehidupan masa lalu, hingga diriku pantas menerima kutukan ini.
Aku teringat sebuah filem dari daratan China tentang seorang biksu yang pergi ke barat untuk menemui Tuhannya. Dia memiliki tiga orang murid yang aneh-aneh dimana salah satu muridnya bertampang seperti babi bernama Cu Patkay. Masa lalu Cu Patkay cukuplah menarik, dahulu dia seorang Jendral besar di kahyangan, dia memiliki perangai yang buruk dan cenderung playboy. Karena sebuah kesalahan, Cu Patkay akhirnya di hukum oleh sang Budha dengan menjalani hidup berulang-ulang selama seribu tahun lamanya. Dia harus menjalani kisah cinta yang selalu berakhir tragis dalam semua kehidupan yang dia jalani.

Agak berlebihan memang, ketika membandingkan kisah hidupku yang kujalani dengan cerita di atas. Tapi setidaknya ada kemiripan di antara keduanya. Selalu berakhir dengan tangis dan derita. Atau mungkin aku hanya melebih-lebihkannya saja. Aku tidak tahu, yang aku tahu, hatikulah yang selalu merasakan penderitaan itu.

Aku memiliki cita-cita, bahwa bangsaku adalah lebih besar dari yang sekarang ini. Lebih merdeka, yang bukan sekedar slogan belaka. Jauh lebih besar daripada warisan Belanda dan Majapahit saja. Manusianya makmur dan beradab. Karena hanya bangsa yang makmur yang dapat memunculkan sebuah peradaban yang maju dan canggih. Bukan sekedar peradaban seperti Amerika dan negara-negara eropa. Menurutku peradaban yang sebenarnya jauh dari itu. Peradaban yang sebenarnya akan terjadi bukan hanya dilihat dari bentuk fisiknya saja, tetapi juga manusianya. Moral dan etika juga faktor sebuah peradaban tingkat tinggi. Bukanlah sebuah peradaban jika harus terus menerus berperang dengan bangsa lain. Bukanlah peradaban jika harus saling mencurigai dan mencaci maki bangsa lain. Juga bukan sebuah peradaban jika bangsanya memiliki moral dan etika yang sangat buruk, bahkan terkadang lebih buruk dari binatang.

Seiring berjalannya waktu, aku berharap aku dapat merumuskan sebuah peradaban menurut versiku itu. Dengan tujuan akhir yang mulia. Yaitu memuliakan manusia-manusia yang tinggal dalam sebuah bangsa yang besar. Dimana kemajuan dalam segala bidang dapat di capai. Dimana semua unsur masyarakatnya dapat hidup rukun dan akur serta dapat saling bekerjasama demi mewujudkan cita-cita bersama. Mungkinkah cita-citaku ini sangat berlebihan, mungkin. Hanya orang lain yang dapat menjawabnya. Yang aku tahu, aku harus memiliki cita-cita yang besar untuk menjadi orang besar, sebesar Sukarno, sebesar Rasulullah. Semakin besar cita-cita seseorang, maka semakin besar pula rintangan dan halangan yang akan dia hadapi, aku yakin itu. Bahkan mautpun akan menjadi teman hidupnya, dimana sewaktu-waktu dapat memintanya untuk pergi mengikutinya menuju ke alam lain, tanpa memandang apakah cita-citanya dapat terwujud pada waktu dia masih hidup atau sesudah dia mati. Itu pulalah yang terjadi pada orang-orang besar sebelum kita. Seolah merupakan formula wajib bagi orang yang menuju ke’besar’annya. Atau minimal aku dapat menularkan cita-cita besar ini kepada orang lain, yang mungkin dialah yang dapat mewujudkannya di kemudian hari.

(to be cont....)

No comments:

Post a Comment

Recent Comments