Peradaban
Aku bukanlah orang yang
sempurna, atau taat terhadap agama. Seringkali aku berbuat dosa yang ku
sengaja. Tapi menyesal itu tetap ada dan akupun tetap berusaha untuk kembali.
Kadang aku melihat keindahan dalam dosa itu, dan akupun tenggelam di dalamnya.
Bukannya aku tak terfikirkan untuk menghentikan itu, apa daya, godaan itu
terlalu kuat untuk di hindari. Terkadang saking kuatnya hingga membuatku
menangis sesenggukan, menangis di depan Tuhan. Berharap segala perasaan itu
sirna hilang seiring berjalannya masa. Dan itupun terjadi berulang-ulang mulai
aku muda dulu, tanpa mengetahui kapan akan berakhir. Terkadang aku merasa ini
sebuah kutukan dari Tuhan. Tapi adakah dosa besar yang kuperbuat di kehidupan
masa lalu, hingga diriku pantas menerima kutukan ini.
Aku teringat sebuah filem dari
daratan China tentang seorang biksu yang pergi ke barat untuk menemui Tuhannya.
Dia memiliki tiga orang murid yang aneh-aneh dimana salah satu muridnya
bertampang seperti babi bernama Cu Patkay. Masa lalu Cu Patkay cukuplah
menarik, dahulu dia seorang Jendral besar di kahyangan, dia memiliki perangai
yang buruk dan cenderung playboy. Karena sebuah kesalahan, Cu Patkay akhirnya
di hukum oleh sang Budha dengan menjalani hidup berulang-ulang selama seribu
tahun lamanya. Dia harus menjalani kisah cinta yang selalu berakhir tragis
dalam semua kehidupan yang dia jalani.
Agak berlebihan memang, ketika
membandingkan kisah hidupku yang kujalani dengan cerita di atas. Tapi
setidaknya ada kemiripan di antara keduanya. Selalu berakhir dengan tangis dan
derita. Atau mungkin aku hanya melebih-lebihkannya saja. Aku tidak tahu, yang
aku tahu, hatikulah yang selalu merasakan penderitaan itu.
Aku memiliki cita-cita, bahwa
bangsaku adalah lebih besar dari yang sekarang ini. Lebih merdeka, yang bukan
sekedar slogan belaka. Jauh lebih besar daripada warisan Belanda dan Majapahit
saja. Manusianya makmur dan beradab. Karena hanya bangsa yang makmur yang dapat
memunculkan sebuah peradaban yang maju dan canggih. Bukan sekedar peradaban
seperti Amerika dan negara-negara eropa. Menurutku peradaban yang sebenarnya
jauh dari itu. Peradaban yang sebenarnya akan terjadi bukan hanya dilihat dari
bentuk fisiknya saja, tetapi juga manusianya. Moral dan etika juga faktor
sebuah peradaban tingkat tinggi. Bukanlah sebuah peradaban jika harus terus
menerus berperang dengan bangsa lain. Bukanlah peradaban jika harus saling
mencurigai dan mencaci maki bangsa lain. Juga bukan sebuah peradaban jika
bangsanya memiliki moral dan etika yang sangat buruk, bahkan terkadang lebih
buruk dari binatang.
Seiring berjalannya waktu, aku
berharap aku dapat merumuskan sebuah peradaban menurut versiku itu. Dengan
tujuan akhir yang mulia. Yaitu memuliakan manusia-manusia yang tinggal dalam
sebuah bangsa yang besar. Dimana kemajuan dalam segala bidang dapat di capai.
Dimana semua unsur masyarakatnya dapat hidup rukun dan akur serta dapat saling
bekerjasama demi mewujudkan cita-cita bersama. Mungkinkah cita-citaku ini
sangat berlebihan, mungkin. Hanya orang lain yang dapat menjawabnya. Yang aku
tahu, aku harus memiliki cita-cita yang besar untuk menjadi orang besar,
sebesar Sukarno, sebesar Rasulullah. Semakin besar cita-cita seseorang, maka
semakin besar pula rintangan dan halangan yang akan dia hadapi, aku yakin itu.
Bahkan mautpun akan menjadi teman hidupnya, dimana sewaktu-waktu dapat
memintanya untuk pergi mengikutinya menuju ke alam lain, tanpa memandang apakah
cita-citanya dapat terwujud pada waktu dia masih hidup atau sesudah dia mati.
Itu pulalah yang terjadi pada orang-orang besar sebelum kita. Seolah merupakan
formula wajib bagi orang yang menuju ke’besar’annya. Atau minimal aku dapat
menularkan cita-cita besar ini kepada orang lain, yang mungkin dialah yang
dapat mewujudkannya di kemudian hari.
(to be cont....)
(to be cont....)
No comments:
Post a Comment