Pak Aly yang Baik
Hati (2)
Malam kedua kami menyempatkan
mengobrol lagi dengan bapak yang baik hati dan mau menampung kami itu. Saya
sangat menyukai cerita perjalanan pak Aly, yang menurut saya SUPER. Kali ini tentang perjalanan pak
Aly ke pulau Keramaian. Tadinya saya sempat berfikir dan menanyakan “Maksudnya
pulau yang penghuninya keramaian atau nama pulaunya keramaian?”. “Nama pulaunya
keramaian mas” jawab pak Aly. Pulau Keramaian berada di utara Sumenep, pulau
Madura. Masih dalam wilayah administratif kecamatan kepulauan Masalembu di
Sumenep.
Ceritanya, ketika itu pak Aly
sedang berada di daerah Brondong, Paciran, Lamongan. Di mana disana terdapat
sebuah pelabuhan angkut barang yang cukup besar. Di pandanginya sebuah kapal
yang sedang bongkar muat barang, tanpa pikir panjang didekatinya salah seorang
yang sedang melakukan bongkar muat barang tersebut.
“Ini apa pak isinya” tanya pak
Aly.
“Isinya cengkeh mas” jawab
bapaknya.
“Dari mana asalnya
cengkeh-cengkeh ini pak” tanya pak Aly lagi.
“Pulau Keramaian” timpal
bapaknya.
Pak Alypun semakin penasaran tentang
asal cengkeh-cengkeh tersebut, sebuah pulau kecil yang terletak di utara
Sumenep, Madura. Dengan perjalanan dua hari dua malam. Pulau itu bernama pulau
Keramaian. Cengkeh adalah komoditas utama pulau tersebut. Tanpa basa-basi pak
Aly menyampaikan keinginannya untuk ikut kapal tersebut ketika kembali ke pulau
Keramaian.
Bapak tadi bilang kalau
kapalnya akan berangkat tiga hari lagi, maka ditunggulah oleh pak Aly kapal
tersebut sampai tiga hari. Namun dengan membantu memasukkan barang muatan ke
kapal tentunya. Ya... menjadi kuli angkut adalah bayaran yang harus di lakukan
pak Aly demi sampai ke pulau menarik tersebut.
Disana pak Aly tinggal selama
satu setengah bulan, dimana saat pertama menginjakkan kakinya adalah bulan
Ramadhan sekitar sepuluh hari terakhir. Ada yang aneh dalam masjid kecil yang
lebih menyerupai musholla itu, mereka melakukan sholat terawih di masjid, tapi
tanpa imam. Ketika di tanyakan tentang hal tersebut, para jamaah menjawab bahwa
tidak seorangpun dari mereka yang merasa pantas menjadi imam. Sehingga mereka
sholat terawih sendiri-sendiri. Dan dimintalah pak Aly untuk menjadi imam,
butuh waktu beberapa lama hingga pak Aly mengiyakan permintaan warga tersebut.
Akhirnya sholat terawih di bulan Ramadhan sepuluh hari terakhir di imami oleh pak
Aly.
Tidak berhenti sampai di situ,
tiba-tiba rumah tempat pak Aly menginap di datangi oleh para pemuda yang ingin
belajar agama kepadanyaa. Perlu beberapa hari bagi pak Aly untuk menyanggupi
permintaan itu, lantaran tidak enak kepada pemilik rumah. Padahal waktu itu
adalah moment kepulangan beliau. Setelah di ijinkan maka pak Alypun mengiyakan
untuk mengajar di sana, dan semakin lama semakin banyak pemuda yang datang
belajar kepadanya. Itulah kisah di balik terdamparnya pak Aly selama satu
setengah bulan di pulau keramaian. Saya tertawa mendengar kisah terperangkapnya
pak Aly di pulau terpencil bernama Keramaian karena menjadi guru ngaji.
Kemudian cerita berlanjut
tentang kisah perjalanannya ke pulau Bawean di utara Gresik. Di sana pak Aly
tinggal beberapa bulan lamanya. “Gampang mas kalau tinggal di pulau Bawean,
banyak rumah yang kosong dan hanya di huni beberapa perempuan saja” kata pak
Aly. Memang sudah menjadi adat para lelaki Bawean untuk merantau di negeri
orang, tujuan utama adalah Malaysia dan Singapura. Sehingga hanya tertinggal
para wanitanya saja di pulau dengan dua kecamatan tersebut, yaitu Sangkapura
dan Tambak. Tidak heran jika kemudian sebagian masyarakat Indonesia
menjulukinya sebagai pulau Putri.
Pak Aly bercerita tentang asal
mula pulau Bawean, yang aslinya adalah bagian dari pulau Madura. Yang kemudian
dipisahkan oleh ayah Sunan Bonang, Sunan Maulana Iskhak. Demi mendidik putranya
di sebuah pulau terasing. Singkat cerita pulau Bawean terbentuk dan di pagari
oleh empat pulau kecil di empat penjurunya. Selebihnya pak Aly bercerita
tentang kemolekan pulau Bawean, indahnya danau Khastoba yang berada tepat di
tengah pulau, kesuburan tanahnya yang dapat menghasilkan panen padi tiga kali
setahun hingga pulau-pulau indah di sekeliling pulau Bawean. Saya hanya
tertegun mendengar cerita-cerita tersebut. Karena memang sedari dulu saya sudah
berhasrat mengunjungi pulau Putri itu.
Keesokan paginya, sebelum saya
kembali pulang ke Surabaya, kembali pak Aly bercerita kepada kami. Dan saya
kembali menjadi pendengar yang baik, lantaran cerita petualangan pak Aly yang
sanggup membuat saya tercengang kadang-kadang. Kali ini tentang perjalanannya
ke Alas Purwo di Banyuwangi dan Pulau Nusa Barong di Jember. “Pernah ke Pulau
Nusa Barong mas?” tanya pak Aly pada saya. “Belum pernah pak Aly, tapi memang
pengen kesana dari dulu” timpal saya. “Kalau ke Alas Purwo?” tanya pak Aly
lagi. “Dulu sempat mau kesana tapi ndak jadi pak Aly, karena biaya terlalu
mahal untuk perjalanannya” jawab saya lagi. “Wah angker mas di Alas Purwo dan
Pulau Nusa Barong” kembali pak Aly menjelaskan.
Pak Aly menyebutkan bahwa di
Alas Purwo sangatlah angker, di sana dia berjalan seorang diri selama satu
minggu lamanya. Tujuannya menyendiri dan merenung katanya. Tempat yang di tuju
adalah Goa Soekarno, sebuah Gua yang dulunya pernah di pakai Bung Karno untuk
menyendiri sebelum menjadi Presiden Indonesia. Disitulah tempat menginap pak
Aly ketika di Alas Purwo. Ketika berjalan di jalan setapak di tengah hutan, pak
Aly mendengar seperti auman seekor Macan. “Jelas sekali suara itu, seolah-olah
berasal dari arah dekat” kata pak Aly. “Tapi pas saya cari-cari tidak ada
wujudnya mas” tambahnya. “Wah serem juga kalau gitu ya, untung saya tidak jadi
ke sana waktu itu” gumam saya.
Sedangkan di Nusa Barong,
ketika pertama menginjakkan kaki di pasir pantai, dilihatnya sebuah jejak bekas
ular di pasir sebesar paha. “Waduh, tambah serem pula” sahut saya. Dan itu
banyak sekali bekas ular yang berjalan di sana. Di Pulau Nusa Barong pak Aly
bertahan selama tiga hari lamanya. Dia berkeliling pulau tersebut dari barat ke
timur, selatan ke utara. Pulaunya rimbun oleh pepohonan dan disana sering di
jumpai bayangan-bayangan hitam tidak jelas yang besar-besar. Ini terjadi ketika
pak Aly sedang duduk beristirahat di bawah salah satu pohon dimalam hari. “Jika
mau kesana mas, cari dulu orang panggilannya Babalong” tutur pak Aly. “Orangnya
sepuh tapi masih kuat, cari aja di pantai Puger, insyaallah saat ini orangnya
masih hidup” tambahnya lagi. Untuk sampai di pulau Nusa Barong, kapal yang
ditumpangi harus melewati dua buah gunung di kiri kanan laut, sepertinya pantai
Puger adalah sebuah teluk yang menjorok ke dalam dengan dua gunung menjulang di
kedua ujungnya seolah-olah menjadi pintu gerbang ke pantai Puger.
Di pintu gerbang itulah banyak
kejadian atau kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Setiap tahun pasti memakan
korban, kata penduduk setempat. Dipercayai kalau di lokasi tersebut terdapat
pusaran air yang sangat kuat, yang dapat mengakibatkan kapal karam dan tengelam.
Para nelayan seperti tidak memperdulikan hal itu dan tetap melaut seperti
biasanya. Di lokasi ini juga sempat ada kapal karam, kapal itu mengangkut para
imigran gelap dari timur tengah seperti Irak, Iran, Libanon dan lainnya. Mereka
hendak mencari suaka dan mengadu nasib di negeri Kanguru Australia lantaran
merasa tidak nyaman dengan negerinya sendiri. Namun sayang, nasib berkata lain,
kapal mereka karam dan harus merelakan sebagian keluarga mereka menjadi korban
hempasan gelombang laut selatan yang terkenal ganas.
Dari Nusa Barong pak Aly
menemukan sebuah tongkat kayu berukuran sekitar satu meter. Kayu itu adalah
kayu stigi yang oleh beberapa orang memiliki kekuatan supranatural. Bagi pak
Aly, itu adalah sejenis kayu yang kuat, anti rayap dan tahan lama. Sudah setahun
lebih kayu tersebut di geletakkan begitu saja oleh pak Aly, namun hingga kini
masih tampak sama.
Sejurus kemudian, saya
bertanya ke pak Aly, mengapa kok banyak batu karang mati yang di jadikan
penduduk sebagai material bangunan dan tembok plengsengan tepi pantai utara,
dari barat hingga timur pulau. Seperti yang saya lihat kemarin sore di ujung
barat pulau Mandangin saat Sunset.
Pak Aly pun menceritakan,
betapa dulu penduduk Mandangin tidak kesusahan dan kerepotan untuk mencari
makan di sekitar pulau. Dulu sebelum tahu 1991, ketika pak Aly masih duduk di
bangku SD, hanya dari jarak dekat dengan bibir pantai para penduduk sudah dapat
mencari ikan tongkol yang besar-besar, hingga menjadi pemandangan umum
sehari-hari di sore hari oleh anak-anak seusia pak Aly waktu itu. Kemudian
ketika air laut surut, dengan mudahnya masyarakat mencari kerang di sela-sela
batu karang di tepi pantai. Juga rajungan (sejenis kepiting) yang besar-besar,
dengan mudahnya ditangkap dengan tangan di pasir-pasir pantai yang tergenang
air. Babi laut dan teripangpun sangat mudah di temui, dulu.
Tapi kini, semenjak perusakan
besar-besaran oleh penduduk pulau terhadap batu karang yang ada di sekitar
pulau, pemandangan itu tak pernah tampak lagi. Hal ini di mulai semenjak pak
Aly lulus Sekolah Dasar. Yang dulunya nelayan dari Pasuruan dan Probolinggo
pada berdatangan untuk mencari ikan di sekitar pulau Mandangin, kini malah
nelayan Mandangin yang harus rela pergi jauh, sejauh kepulauan Kangean di timur
Sumenep, demi mendapatkan ikan. Karena tak ada lagi ikan yang tersisa maupun
bermukim di sekitaran pulau Mandangin. Pepatah mengatakan, siapa menabur angin,
dia akan menuai badai. Manusia berbuat ulah terhadap alam, manusia pula yang
menerima nasib.
Sedih rasanya mendengar cerita
nasib pulau Mandangin yang tragis ditangan penduduknya sendiri, tanpa karang,
ikan akan segan untuk tinggal di sekitaran pulau tersebut. Keberadaan karang
dan biota laut pula yang menjadi parameter bersih tidaknya sebuah kawasan
perairan laut dari pollutan. Yang saya lihat di pesisir utara pulau, justru
sampah yang menumpuk akibat kurang sadarnya manusia pulau itu tentang kebersihan
lautnya. Saya sendiri melihat dengan mata kepala saya ketika berangkat dan
kembali dari pulau Mandangin dengan kapal penumpang. Manusia-manusia Mandangin dengan
tanpa beban membuang sampah plastik sisa Makanan mereka ke tengah laut. Tapi
saat itu saya hanya bisa terdiam sembari “mbatin”
saja, karena kalau saya larang takutnya terjadi salah paham sebab hanya dua
hari saya menginjakkan kaki di pulau indah tersebut, atau, setidaknya pulau
dengan keindahan yang tersisa tersebut.
Saya dan Eko sempat bingung,
lantaran sisa uang yang tinggal (sangat-sangat) sedikit. Kami bermaksud untuk
memberi Ibu Haddad, ibunda pak Aly beberapa rupiah, sekedar rasa terimakasih
karena mau menerima kami sebagai tamu tak diundang. Namun kondisi berkata lain,
sepertinya uang kami hanya cukup untuk membayar ongkos kapal pulang dan bensin
buat si Mio untuk perjalanan pulang saja. Malu rasanya, hanya rasa terima kasih
dan do’a kesehatan buat sang Ibunda dan pak Aly yang dapat kami berikan. Untungnya
saya membawa beberapa buku bacaan yang selalu saya bawa setiap bepergian. Dan salah
satunya adalah buku Travelling karya sang legenda Travel Writer Gol A Gong,
tentang perjalanannya mengelilingi Asia Tenggara hingga India. Segera saya
menyerahkan buku tersebut kepada pak Aly sebagai kenang-kenangan. Dan beliaupun
dengan senang hati menerimannya, Syukurlah...
Jam menunjukkan pukul 09.15
menit, sedangkan kapal penuumpang berangkat dari dermaga jam 10.00. Saat yang
tepat untuk berpamitan, seperti biasa adat orang Jawa, dan mungkin Madura, kami
saling mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf sebelum berpamitan.
Itulah dua kelumit (kalau
sekelumit berarti cuman satu tulisan) cerita tentang pak Aly, tuan rumah dan
petualang yang baik hati. Mungkin perasaan iba yang tiba-tiba muncul di hatinya
terhadap kami, yang sedang melakukan “kebodohan” yang sama di masa lalunnya,
yang membuatnya segera berinisiatif menampung kami di Pulau Mandangin. Namun
dari pertemuan tersebut, justru menambah khazanah keilmuan dan petualangan kami
di pulau berpenduduk dua puluh ribu jiwa tersebut (berdasarkan data DPT tahun
2009).
[...fin...]
No comments:
Post a Comment