Wednesday, October 16, 2013

   

Mandangin... Mandi Angin-angin part 2



Pak Aly yang Baik Hati (2)

Malam kedua kami menyempatkan mengobrol lagi dengan bapak yang baik hati dan mau menampung kami itu. Saya sangat menyukai cerita perjalanan pak Aly, yang menurut saya SUPER. Kali ini tentang perjalanan pak Aly ke pulau Keramaian. Tadinya saya sempat berfikir dan menanyakan “Maksudnya pulau yang penghuninya keramaian atau nama pulaunya keramaian?”. “Nama pulaunya keramaian mas” jawab pak Aly. Pulau Keramaian berada di utara Sumenep, pulau Madura. Masih dalam wilayah administratif kecamatan kepulauan Masalembu di Sumenep.

Ceritanya, ketika itu pak Aly sedang berada di daerah Brondong, Paciran, Lamongan. Di mana disana terdapat sebuah pelabuhan angkut barang yang cukup besar. Di pandanginya sebuah kapal yang sedang bongkar muat barang, tanpa pikir panjang didekatinya salah seorang yang sedang melakukan bongkar muat barang tersebut.
“Ini apa pak isinya” tanya pak Aly.
“Isinya cengkeh mas” jawab bapaknya.
“Dari mana asalnya cengkeh-cengkeh ini pak” tanya pak Aly lagi.
“Pulau Keramaian” timpal bapaknya.
Pak Alypun semakin penasaran tentang asal cengkeh-cengkeh tersebut, sebuah pulau kecil yang terletak di utara Sumenep, Madura. Dengan perjalanan dua hari dua malam. Pulau itu bernama pulau Keramaian. Cengkeh adalah komoditas utama pulau tersebut. Tanpa basa-basi pak Aly menyampaikan keinginannya untuk ikut kapal tersebut ketika kembali ke pulau Keramaian.

Bapak tadi bilang kalau kapalnya akan berangkat tiga hari lagi, maka ditunggulah oleh pak Aly kapal tersebut sampai tiga hari. Namun dengan membantu memasukkan barang muatan ke kapal tentunya. Ya... menjadi kuli angkut adalah bayaran yang harus di lakukan pak Aly demi sampai ke pulau menarik tersebut.

Disana pak Aly tinggal selama satu setengah bulan, dimana saat pertama menginjakkan kakinya adalah bulan Ramadhan sekitar sepuluh hari terakhir. Ada yang aneh dalam masjid kecil yang lebih menyerupai musholla itu, mereka melakukan sholat terawih di masjid, tapi tanpa imam. Ketika di tanyakan tentang hal tersebut, para jamaah menjawab bahwa tidak seorangpun dari mereka yang merasa pantas menjadi imam. Sehingga mereka sholat terawih sendiri-sendiri. Dan dimintalah pak Aly untuk menjadi imam, butuh waktu beberapa lama hingga pak Aly mengiyakan permintaan warga tersebut. Akhirnya sholat terawih di bulan Ramadhan sepuluh hari terakhir di imami oleh pak Aly.

Tidak berhenti sampai di situ, tiba-tiba rumah tempat pak Aly menginap di datangi oleh para pemuda yang ingin belajar agama kepadanyaa. Perlu beberapa hari bagi pak Aly untuk menyanggupi permintaan itu, lantaran tidak enak kepada pemilik rumah. Padahal waktu itu adalah moment kepulangan beliau. Setelah di ijinkan maka pak Alypun mengiyakan untuk mengajar di sana, dan semakin lama semakin banyak pemuda yang datang belajar kepadanya. Itulah kisah di balik terdamparnya pak Aly selama satu setengah bulan di pulau keramaian. Saya tertawa mendengar kisah terperangkapnya pak Aly di pulau terpencil bernama Keramaian karena menjadi guru ngaji.

Kemudian cerita berlanjut tentang kisah perjalanannya ke pulau Bawean di utara Gresik. Di sana pak Aly tinggal beberapa bulan lamanya. “Gampang mas kalau tinggal di pulau Bawean, banyak rumah yang kosong dan hanya di huni beberapa perempuan saja” kata pak Aly. Memang sudah menjadi adat para lelaki Bawean untuk merantau di negeri orang, tujuan utama adalah Malaysia dan Singapura. Sehingga hanya tertinggal para wanitanya saja di pulau dengan dua kecamatan tersebut, yaitu Sangkapura dan Tambak. Tidak heran jika kemudian sebagian masyarakat Indonesia menjulukinya sebagai pulau Putri.

Pak Aly bercerita tentang asal mula pulau Bawean, yang aslinya adalah bagian dari pulau Madura. Yang kemudian dipisahkan oleh ayah Sunan Bonang, Sunan Maulana Iskhak. Demi mendidik putranya di sebuah pulau terasing. Singkat cerita pulau Bawean terbentuk dan di pagari oleh empat pulau kecil di empat penjurunya. Selebihnya pak Aly bercerita tentang kemolekan pulau Bawean, indahnya danau Khastoba yang berada tepat di tengah pulau, kesuburan tanahnya yang dapat menghasilkan panen padi tiga kali setahun hingga pulau-pulau indah di sekeliling pulau Bawean. Saya hanya tertegun mendengar cerita-cerita tersebut. Karena memang sedari dulu saya sudah berhasrat mengunjungi pulau Putri itu.

Keesokan paginya, sebelum saya kembali pulang ke Surabaya, kembali pak Aly bercerita kepada kami. Dan saya kembali menjadi pendengar yang baik, lantaran cerita petualangan pak Aly yang sanggup membuat saya tercengang kadang-kadang. Kali ini tentang perjalanannya ke Alas Purwo di Banyuwangi dan Pulau Nusa Barong di Jember. “Pernah ke Pulau Nusa Barong mas?” tanya pak Aly pada saya. “Belum pernah pak Aly, tapi memang pengen kesana dari dulu” timpal saya. “Kalau ke Alas Purwo?” tanya pak Aly lagi. “Dulu sempat mau kesana tapi ndak jadi pak Aly, karena biaya terlalu mahal untuk perjalanannya” jawab saya lagi. “Wah angker mas di Alas Purwo dan Pulau Nusa Barong” kembali pak Aly menjelaskan.

Pak Aly menyebutkan bahwa di Alas Purwo sangatlah angker, di sana dia berjalan seorang diri selama satu minggu lamanya. Tujuannya menyendiri dan merenung katanya. Tempat yang di tuju adalah Goa Soekarno, sebuah Gua yang dulunya pernah di pakai Bung Karno untuk menyendiri sebelum menjadi Presiden Indonesia. Disitulah tempat menginap pak Aly ketika di Alas Purwo. Ketika berjalan di jalan setapak di tengah hutan, pak Aly mendengar seperti auman seekor Macan. “Jelas sekali suara itu, seolah-olah berasal dari arah dekat” kata pak Aly. “Tapi pas saya cari-cari tidak ada wujudnya mas” tambahnya. “Wah serem juga kalau gitu ya, untung saya tidak jadi ke sana waktu itu” gumam saya.

Sedangkan di Nusa Barong, ketika pertama menginjakkan kaki di pasir pantai, dilihatnya sebuah jejak bekas ular di pasir sebesar paha. “Waduh, tambah serem pula” sahut saya. Dan itu banyak sekali bekas ular yang berjalan di sana. Di Pulau Nusa Barong pak Aly bertahan selama tiga hari lamanya. Dia berkeliling pulau tersebut dari barat ke timur, selatan ke utara. Pulaunya rimbun oleh pepohonan dan disana sering di jumpai bayangan-bayangan hitam tidak jelas yang besar-besar. Ini terjadi ketika pak Aly sedang duduk beristirahat di bawah salah satu pohon dimalam hari. “Jika mau kesana mas, cari dulu orang panggilannya Babalong” tutur pak Aly. “Orangnya sepuh tapi masih kuat, cari aja di pantai Puger, insyaallah saat ini orangnya masih hidup” tambahnya lagi. Untuk sampai di pulau Nusa Barong, kapal yang ditumpangi harus melewati dua buah gunung di kiri kanan laut, sepertinya pantai Puger adalah sebuah teluk yang menjorok ke dalam dengan dua gunung menjulang di kedua ujungnya seolah-olah menjadi pintu gerbang ke pantai Puger.

Di pintu gerbang itulah banyak kejadian atau kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Setiap tahun pasti memakan korban, kata penduduk setempat. Dipercayai kalau di lokasi tersebut terdapat pusaran air yang sangat kuat, yang dapat mengakibatkan kapal karam dan tengelam. Para nelayan seperti tidak memperdulikan hal itu dan tetap melaut seperti biasanya. Di lokasi ini juga sempat ada kapal karam, kapal itu mengangkut para imigran gelap dari timur tengah seperti Irak, Iran, Libanon dan lainnya. Mereka hendak mencari suaka dan mengadu nasib di negeri Kanguru Australia lantaran merasa tidak nyaman dengan negerinya sendiri. Namun sayang, nasib berkata lain, kapal mereka karam dan harus merelakan sebagian keluarga mereka menjadi korban hempasan gelombang laut selatan yang terkenal ganas.

Dari Nusa Barong pak Aly menemukan sebuah tongkat kayu berukuran sekitar satu meter. Kayu itu adalah kayu stigi yang oleh beberapa orang memiliki kekuatan supranatural. Bagi pak Aly, itu adalah sejenis kayu yang kuat, anti rayap dan tahan lama. Sudah setahun lebih kayu tersebut di geletakkan begitu saja oleh pak Aly, namun hingga kini masih tampak sama.

Sejurus kemudian, saya bertanya ke pak Aly, mengapa kok banyak batu karang mati yang di jadikan penduduk sebagai material bangunan dan tembok plengsengan tepi pantai utara, dari barat hingga timur pulau. Seperti yang saya lihat kemarin sore di ujung barat pulau Mandangin saat Sunset.

Pak Aly pun menceritakan, betapa dulu penduduk Mandangin tidak kesusahan dan kerepotan untuk mencari makan di sekitar pulau. Dulu sebelum tahu 1991, ketika pak Aly masih duduk di bangku SD, hanya dari jarak dekat dengan bibir pantai para penduduk sudah dapat mencari ikan tongkol yang besar-besar, hingga menjadi pemandangan umum sehari-hari di sore hari oleh anak-anak seusia pak Aly waktu itu. Kemudian ketika air laut surut, dengan mudahnya masyarakat mencari kerang di sela-sela batu karang di tepi pantai. Juga rajungan (sejenis kepiting) yang besar-besar, dengan mudahnya ditangkap dengan tangan di pasir-pasir pantai yang tergenang air. Babi laut dan teripangpun sangat mudah di temui, dulu.

Tapi kini, semenjak perusakan besar-besaran oleh penduduk pulau terhadap batu karang yang ada di sekitar pulau, pemandangan itu tak pernah tampak lagi. Hal ini di mulai semenjak pak Aly lulus Sekolah Dasar. Yang dulunya nelayan dari Pasuruan dan Probolinggo pada berdatangan untuk mencari ikan di sekitar pulau Mandangin, kini malah nelayan Mandangin yang harus rela pergi jauh, sejauh kepulauan Kangean di timur Sumenep, demi mendapatkan ikan. Karena tak ada lagi ikan yang tersisa maupun bermukim di sekitaran pulau Mandangin. Pepatah mengatakan, siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Manusia berbuat ulah terhadap alam, manusia pula yang menerima nasib.

Sedih rasanya mendengar cerita nasib pulau Mandangin yang tragis ditangan penduduknya sendiri, tanpa karang, ikan akan segan untuk tinggal di sekitaran pulau tersebut. Keberadaan karang dan biota laut pula yang menjadi parameter bersih tidaknya sebuah kawasan perairan laut dari pollutan. Yang saya lihat di pesisir utara pulau, justru sampah yang menumpuk akibat kurang sadarnya manusia pulau itu tentang kebersihan lautnya. Saya sendiri melihat dengan mata kepala saya ketika berangkat dan kembali dari pulau Mandangin dengan kapal penumpang. Manusia-manusia Mandangin dengan tanpa beban membuang sampah plastik sisa Makanan mereka ke tengah laut. Tapi saat itu saya hanya bisa terdiam sembari “mbatin” saja, karena kalau saya larang takutnya terjadi salah paham sebab hanya dua hari saya menginjakkan kaki di pulau indah tersebut, atau, setidaknya pulau dengan keindahan yang tersisa tersebut.

Saya dan Eko sempat bingung, lantaran sisa uang yang tinggal (sangat-sangat) sedikit. Kami bermaksud untuk memberi Ibu Haddad, ibunda pak Aly beberapa rupiah, sekedar rasa terimakasih karena mau menerima kami sebagai tamu tak diundang. Namun kondisi berkata lain, sepertinya uang kami hanya cukup untuk membayar ongkos kapal pulang dan bensin buat si Mio untuk perjalanan pulang saja. Malu rasanya, hanya rasa terima kasih dan do’a kesehatan buat sang Ibunda dan pak Aly yang dapat kami berikan. Untungnya saya membawa beberapa buku bacaan yang selalu saya bawa setiap bepergian. Dan salah satunya adalah buku Travelling karya sang legenda Travel Writer Gol A Gong, tentang perjalanannya mengelilingi Asia Tenggara hingga India. Segera saya menyerahkan buku tersebut kepada pak Aly sebagai kenang-kenangan. Dan beliaupun dengan senang hati menerimannya, Syukurlah...

Jam menunjukkan pukul 09.15 menit, sedangkan kapal penuumpang berangkat dari dermaga jam 10.00. Saat yang tepat untuk berpamitan, seperti biasa adat orang Jawa, dan mungkin Madura, kami saling mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf sebelum berpamitan.

Itulah dua kelumit (kalau sekelumit berarti cuman satu tulisan) cerita tentang pak Aly, tuan rumah dan petualang yang baik hati. Mungkin perasaan iba yang tiba-tiba muncul di hatinya terhadap kami, yang sedang melakukan “kebodohan” yang sama di masa lalunnya, yang membuatnya segera berinisiatif menampung kami di Pulau Mandangin. Namun dari pertemuan tersebut, justru menambah khazanah keilmuan dan petualangan kami di pulau berpenduduk dua puluh ribu jiwa tersebut (berdasarkan data DPT tahun 2009).

[...fin...]

No comments:

Post a Comment

Recent Comments