Wednesday, October 16, 2013

   

Mandangin... Mandi Angin-angin part 1



Pak Aly yang Baik Hati (1)
Dulu saya kira orang Madura itu kasar-kasar dan temperamen, seperti yang di beritakan di tv-tv. Namun semua itu sirna semenjak saya menginjakkan kaki di pulau ini Lebaran Haji 2013 silam. Memang, tepatnya bukan di pulau Madura tapi Pulau Mandangin yang ada di selatan pulau Madura. Pertemuan saya dengan pak Aly adalah sebuah kebetulan sahaja, bahkan bisa di bilang sebuah anugerah buat saya. Betapa tidak, tanpa beliau saya dan teman saya Eko tak tahu harus menginap di mana dan makan di mana. Memang, liburan kali ini sengaja tidak saya planning dengan sempurna, alias saya biarkan mengalir apa adanya. Biasanya saya cari informasi baik melalui internet maupun media lainnya tentang seluk beluk sebuah destinasi yang saya tuju, mulai dari cara kesana hingga tidur dan makan dimana, tapi kali ini tidak. Saya hanya punya satu “Clue”, Mandangin adalah sebuah pulau di selatan kabupaten Sampang, Madura, yang bisa di akses melalui kapal penumpang dari pelabuhan “kecil” Tanglok, titik.

Maka Tangloklah satu-satunya kata yang terbenam di benak saya untuk di tuju saat itu, tanpa memikirkan “tetek bengek” yang lain. Sesampainya di pelabuhan Tanglok, seperti biasa, segera saya mencari info tentang kapal yang berangkat ke pulau Mandangin. Mulai dari harga tiket, termasuk tiket sepeda motor yang di bawa, hingga jam keberangkatan dan berapa lama waktu perjalanan kami “google” secara manual dengan metode interview petugas kapal.

Ternyata kapal baru berangkat ketika air laut pasang, alias sekitar 2 sampai 3 jam lagi. Ketika itu, jam menunjukkan pukul 1.30 siang dengan terik matahari yang menyengat sangat. Tak ayal lagi, kami segera mencari tempat untuk berteduh dan menunggu di sekitaran pelabuhan. Tak jauh dari dermaga kapal, tampak sebuah Musholla kecil dengan halaman tertutupnya yang dapat menaungi kami. Disanalah kami bertemu dengan pak Aly, orangnya kurus berkulit gelap khas orang Madura, berbaju hem kotak-kotak biru putih dan ber peci hitam.

Di tengah obrolan kami dengan pak Gendut, tiba-tiba pak Aly menyela dengan sebuah pertanyaan sederhana. “Di Mandangin ada teman yang di tuju mas??” tanya pak Aly. Spontan saya menjawab “Tidak ada pak!”. “Loh, kalau begitu ikut saya saja, bisa menginap di rumah saya” sambung pak Aly. Tanpa ba-bi-bu, saya segera mengiyakan ajakan sang bapak. Sejenak kemudian kami berkenalan, ternyata pak Aly sejak kecil hidup di Pulau Mandangin, dia adalah anak tunggal dari seorang ibu bernama Haddad yang asli Pulau Mandangin. Kali ini dia bermaksud untuk pulang ke rumah ibunya di Mandangin untuk sekedar menengok sang Ibu yang sudah berumur dan sendirian hidup di pulau tersebut, di samping juga untuk berlebaran Haji di rumah.

Di rumahnya yang sederhana, bahkan terkesan tua dan tak terawat itu, kami lanjutkan obrolan kami malam harinya. Pak Aly bercerita, ketika dia menanyakan ke kami tentang orang yang di tuju dan kami jawab tidak ada. Tiba-tiba “DEG” kata pak Aly dalam hatinya. Langsung bayangan pak Aly tertuju pada masa-masa muda sebelum menikah dulu. Selidik punya selidik, ternyata belaupun seorang pengelana dan sudah banyak tempat dan pulau yang di kunjunginya semasa lajang dulu. Dia teringat betapa dahulu harus tidur di terminal atau stasiun ketika sedang bepergian, juga di masjid jika sedang beruntung. Mengunjungi berbagai tempat yang dia tuju hanya bermodal rasa “penasaran”. Tanpa uang yang memadai, pak Aly memberanikan diri mengunjungi tempat-tempat tersebut.

Cerita pertamanya, justru perjalanannya paling jauh, menuju Sorong di Papua dengan Raja Ampatnya yang melegenda. “Wow, itu impian saya pak Aly” saya bilang. Di mulai dari rasa “penasaran”nya dengan kota Jakarta. Di Masjid Kemayoran Surabaya (sekarang Masjid Takmiriyah), pak Aly hanya bermodal uang 100 ribu rupiah hendak pergi ke Jakarta. Namun nasib mempertemukannya dengan pak Jafar kala itu. Sejurus kemudian, terjadi obrolan antara mereka, pak Jafar sempat bertanya “Ada uang berapa untuk pergi ke Jakarta?”. “Cuman seratus ribu pak” jawab pak Aly. “Kamu siapkan uang sepuluh ribu saja, insyaallah kita sampai ke Jakarta” kata pak Jafar. Tadinya pak Aly tidak percaya, namun kemudian dia menurut saja.

Ternyata pak Aly di ajak oleh teman barunya menaiki gerbong kereta barang di salah satu stasiun kereta api di Surabaya, dimintanya dia mengeluarkan uang sepuluh ribu tersebut. Pak Jafar lima ribu dan pak Aly lima ribu. Pesan pak Jafar waktu itu adalah “Bilang ke orang yang minta duit tiket kalau kamu hanya punya uang segitu”. Maka terjadilah apa yang di katakan oleh pak Jafar, dan mereka sampai juga di Jakarta keesokan paginya.

“Heran saya mas” kata pak Aly pada saya. “Hanya dengan sepuluh ribu saya bisa sampai Jakarta” katanya lagi. Saya hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum saja mendengarnya. Kemudian cerita berlanjut. Sesampainya di Jakarta, pak Aly di ajak pak Jafar ke pelabuhan Tanjung Priuk. Disitu mereka bertemu seorang China yang hendak merekrut pak Jafar menjadi tenaga kerjanya, di PAPUA. Terjadi percakapan antara pak Jafar dan orang China tersebut. Pak Aly mendeskripsikan betapa pak Jafar adalah orang yang berkemampuan hebat di bidang kelistrikan, dia mampu menjelaskan tentang yang menjadi pertanyaan orang China tadi dengan lancar dan jelas, hanya bermodal pakaian selembar dengan celana dan sepatu sambil menenteng map yang berisi, mungkin ijazah dan CV pak Jafar. Tiba-tiba pak Jafar mengenalkan pak Aly pada bos China tersebut, pak Aly sempat bilang kalau bos China itu ternyata orangnya baik, namanya bapak Sorini. Ditanyalah pak Aly oleh bos China tersebut “Kamu bisa apa, mau ndak bekerja sama saya di Papua”. “Saya ndak bisa apa-apa pak” kata pak Aly waktu itu. “Ndak apa-apa kalau mau ikut saja dengan pak Jafar ke Papua” timpal bos China itu. Karena “penasaran” dengan tempat yang mau di tuju, Sorong Papua, pak Aly segera mengiyakan ajakan pak Sorini, dengan sedikit bujukan dari pak Jafar tentunya.

Pergilah kedua teman baru tersebut ke Papua dengan kapal milik pak Sorini ke Sorong, Papua. Perjalanan ditempuh selama 6 hari 6 malam. Di Sorong pak Aly mendapat bagian menjaga toko, di temani istri pak Sorini. Dia bilang kalau istri pak Sorini orangnya baik sekali dan penuh perhatian, dia hanya di gaji lima puluh ribu sehari serta mendapat makan dan tidur gratis. Sedangkan pak Jafar di tempatkan di tempat lain yang pak Aly tidak tahu, seminggu sekali pak Jafar menengok keadaan pak Aly. Kira-kira selama tiga bulan lamanya pak Aly bekerja di toko pak Sorini di Sorong, Papua. Diapun sempat mengunjungi kepulauan Raja Ampat. “Indah betul Raja Ampat mas” kata pak Aly. “Waduh, pak Aly ndak usah bilang saya juga sudah tahu, itu tempat impian saya untuk di kunjungi pak Aly” jawab saya spontan.

Kemudian saya menanyakan ke pak Aly, apakah ada di pulau Mandangin sebuah cerita Rakyat atau legenda yang mungkin dulu di tuturkan oleh orang tua-tua. “Ada” kata pak Aly. Diceritakan dulu pada jaman Sumenep masih berupa kerajaan. Seorang pembesar wilayah Sampang, bawahan kerajaan Sumenep, memiliki seorang istri yang berparas sangat cantik bernama Ragapatmi. Tiba-tiba sang istri menderita penyakit kulit yang susah untuk di sembuhkan, maka di usirlah sang istri oleh pembesar tersebut. Ada seorang penjaga kuda kerajaan waktu itu, bernama Bangsacara. Beliau juga dikenal sebagai seorang Mubaligh Islam di Kerajaan Sumenep yang bermukim di Sampang. Bangsacara inilah yang kemudian menampung sang istri pembesar di pengasingan. Di rawatnya si Ragapatmi hingga penyakit kulit tersebut hilang. Witing Trisna Jalaran Saka Kulina, merekapun kemudian saling meadu kasih dan saling mencintai.

Sang pembesar Sampang mengetahui perihal istrinya yang sudah sembuh dan berhasrat istrinya untuk kembali. Di buatlah trik oleh pembesar tersbut dengan menitahkan si Bangsacara untuk berburu di hutan di sebuah pulau di selatan wilayah Sampang, yang kemudian bernama pulau Mandangin ini. Ternyata sesampainya di pulau tersebut, Bangsacara dibunuh oleh pengawal pembesar yang mengikutinya untuk berburu. Ragapatmi mendengar perihal kepergian Bangsacara ke pulau di selatan Sampang. Segera dia menyusul ke pulau tersebut, ternyata dia hanya menemukan mayat kekasih hatinya. Duka mendalam mengakibatkan Ragapatmi meregang nyawa di pulau yang sama.

Tak berapa lama, ada seorang saudagar dari Sumenep hendak pergi ke Surabaya dengan kapal dagangnya. Di tengah perjalanan kapalnya rusak, dan berhenti di pulau Mandangin untuk memperbaiki kapal tersebut. Di sana dia dapati dua sosok mayat lelaki dan perempuan. Tanpa berfikir panjang diapun segera menguburkan kedua mayat tersebut yang adalah Bangsacara dan Ragapatmi, sepasang kekasih yang cintanya kandas oleh kekuasaan. Ketika itu juga saudagar bernama Gema tersebut bernadzar “Kalau saya berhasil menjual batok kelapa ini dengan keuntungan yang banyak, saya berjanji akan membangun dan merawat kuburan mereka ini”. Dan ternyata kesuksesan tersebut menghampiri pak Gema saudagar dari Sumenep itu. Dan dia segera menepati nadzarnya. Tanpa diduga, batok kelapa sisa berjualan di Surabaya, dalam perjalanan ke Sumenep berubah menjadi emas semua. Dan menurut cerita pak Aly, saudagar tersebut menjadi kaya raya hingga tujuh turunan. Pak Aly sendiri pernah bertanya ke salah satu keturunan saudagar tersebut tentang sudah berapa keturunan yang ada sekarang, dan dia menjawab sudah lebih dari tujuh turunan. “WOW, saya juga mau jadi salah satu keurunannya” gumam saya.

Kini kuburan Bangsacara dan Ragapatmi dipercaya berada di areal salah satu Masjid yang ada di Pulau Mandangin. Sebuah epik Romeo dan Juliet versi orang Madura, menurut saya. Tragis dan mengharukan, sebuah kisah cinta yang berakhir dengan kematian semata. Namun kembali lagi, “Itu hanyalah legenda” tutur pak Aly.

Malam sudah semakin larut, larut versi sebuah pulau sekitar jam 8. Saya berpamitan ke pak Aly hendak mengelilingi desa dan mencari Masjid buat sholat Isya. Juga penasaran dengan makam dua kekasih tersebut. Di tengah jalan saya mendapati sebuah masjid, yang kelihatannya baru di bangun dan masih dalam tahap pembangunan. Bentuk masjid cukup modern dengan pintu-pintu luar yang tinggi dan melancip di atas seperti masjid-masjid yang ada di Timur Tengah. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke arah Dermaga di sebelah barat pulau. Di dekat dermaga tersebut kami mendapati sebuah masjid lagi bernama Masjid Al Isitiqomah, ini juga salah satu masjid besar yang ada di Pulau Mandangin dari tiga masjid besar yang ada. Maklum, seratus persen penduduk pulau Mandangin beragama Islam, dengan satu kelurahan saja terdapat tiga masjid besar di dalamnya.

Tak menemukan makam yang dimaksud, kami segera melaksanakan sholat Isya di masjid tersebut. Terdengar suara keras jamaah masjid sedang bertakbir menyambut hari raya Qurban keesokan harinya. Suara takbir dari loudspeaker tak berhenti hingga kami meninggalkan masjid. Ketika lapar menyerang, kami menyempatkan diri memakan bakso di kedai bakso sederhana dekat masjid. Disana saya menjumpai seorang anak muda bernama Dedy, perwakilan anak muda yang dapat di ajak ngobrol dengan bahasa Indonesia yang lumayan. Sebelumnya kami kesulitan menemukan orang yang mampu berbahasa Indonesia dengan fasih, kebanyakan dari mereka adalah orang tua-tua. Tapi satu hal yang saya dapati dari sini, penduduk Pulau Mandangin orangnya ramah-ramah. Orang Madura Gili yang ramah dan penuh senyum. Mereka tidak segan untuk menyapa orang asing seperti saya, walaupun terkadang dengan bahasa Madura yang tidak saya fahami.

Dedy kami ajak ngobrol santai dengan bakso di depan kami masing-masing. Malam itu suasana sangat cerah dengan semilir angin laut yang “isis”. Sesekali terasa kencang dan dingin, namun tidak merusak obrolan hangat kami di kedai bakso terbuka itu. Dedy seorang lulusan SMK yang bercita-cita bekerja di salah satu Mall di Surabaya. Dari dia saya tahu kalau adat penduduk sini, terutama golongan mudanya, adalah wajib untuk menimba ilmu di pondok pesantren. Baik itu di pondok pesantren yang ada di Madura maupun yang ada di Jawa. Sebagaimana adat di pondok pesantren, disinipun mereka berkeliaran dengan memakai sarung. Sunggguh pemandangan yang unik menurut saya, ya... mayoritas laki-laki di pulau Mandangin selalu mengenakan sarung saat bepergian, baik ketika berjalan kaki maupun dengan mengendarai sepeda motor.

Sedangkan untuk Dedy, dia termasuk tipe anak muda yang bandel, katanya. Dia kabur setelah tiga bulan belajar di salah satu pondok pesantren di Sampang, saat kursus komputerpun dia hanya bertahan selama satu bulan, kemudian “kabur” lagi. “Terus apa yang kamu lakukan selama ini” tanya saya. “Ya... gak ngapa-ngapain mas, santai saja di sini” jawabnya ringan. “Wah, enak sekali hidupmu” saya langsung menyahut spontan. Tapi mungkin itu hanya sementara saja, karena dalam waktu dekat dia akan ke Surabaya untuk mencari kerja di “Mall” seperti mimpinya. Dia punya teman yang bisa menampungnya di Surabaya untuk sementara.

Saya segera pamit ke Dedy dan balik ke rumah pak Aly untuk istirahat. Karena waktu semakin “larut” malam, sekitar jam 9 saat itu. Di perjalanan pulang sepeda motor saya sempat tertabrak seseorang yang mengendarai motor laki-laki. Apesnya, tabrakan itu pas mengenai kaki saya, untungnya waktu itu kaki sedang berselimut sepatu Eiger kesayangan saya, sehingga tidak sampai patah-patah. Ya, karena suara tabrakan cukup keras hingga mengagetkan orang-orang di sekitar. Sejurus kemudian kami berhenti dan saling memandang, dirasa tidak ada luka serius saya segera melanjutkan perjalanan dengan di bonceng Eko.

Sesampai di rumah pak Aly, kami berniat istirahat. Sedangkan di musholla depan rumah masih tampak aktifitas beberapa warga sekitar bertakbir ria menyambut hari raya Qurban. Usai bertakbir, mereka mengajak kami untuk bersantap malam. Dan langsung tidur selepasnya.
(to be cont...)

No comments:

Post a Comment

Recent Comments