Pak Aly yang Baik
Hati (1)
Dulu saya kira orang Madura
itu kasar-kasar dan temperamen, seperti yang di beritakan di tv-tv. Namun semua
itu sirna semenjak saya menginjakkan kaki di pulau ini Lebaran Haji 2013 silam.
Memang, tepatnya bukan di pulau Madura tapi Pulau Mandangin yang ada di selatan
pulau Madura. Pertemuan saya dengan pak Aly adalah sebuah kebetulan sahaja,
bahkan bisa di bilang sebuah anugerah buat saya. Betapa tidak, tanpa beliau
saya dan teman saya Eko tak tahu harus menginap di mana dan makan di mana.
Memang, liburan kali ini sengaja tidak saya planning dengan sempurna, alias
saya biarkan mengalir apa adanya. Biasanya saya cari informasi baik melalui
internet maupun media lainnya tentang seluk beluk sebuah destinasi yang saya
tuju, mulai dari cara kesana hingga tidur dan makan dimana, tapi kali ini
tidak. Saya hanya punya satu “Clue”,
Mandangin adalah sebuah pulau di selatan kabupaten Sampang, Madura, yang bisa
di akses melalui kapal penumpang dari pelabuhan “kecil” Tanglok, titik.
Maka Tangloklah satu-satunya
kata yang terbenam di benak saya untuk di tuju saat itu, tanpa memikirkan “tetek bengek” yang lain. Sesampainya di
pelabuhan Tanglok, seperti biasa, segera saya mencari info tentang kapal yang
berangkat ke pulau Mandangin. Mulai dari harga tiket, termasuk tiket sepeda
motor yang di bawa, hingga jam keberangkatan dan berapa lama waktu perjalanan
kami “google” secara manual dengan
metode interview petugas kapal.
Ternyata kapal baru berangkat
ketika air laut pasang, alias sekitar 2 sampai 3 jam lagi. Ketika itu, jam
menunjukkan pukul 1.30 siang dengan terik matahari yang menyengat sangat. Tak
ayal lagi, kami segera mencari tempat untuk berteduh dan menunggu di sekitaran
pelabuhan. Tak jauh dari dermaga kapal, tampak sebuah Musholla kecil dengan
halaman tertutupnya yang dapat menaungi kami. Disanalah kami bertemu dengan pak
Aly, orangnya kurus berkulit gelap khas orang Madura, berbaju hem kotak-kotak
biru putih dan ber peci hitam.
Di tengah obrolan kami dengan
pak Gendut, tiba-tiba pak Aly menyela dengan sebuah pertanyaan sederhana. “Di
Mandangin ada teman yang di tuju mas??” tanya pak Aly. Spontan saya menjawab
“Tidak ada pak!”. “Loh, kalau begitu ikut saya saja, bisa menginap di rumah
saya” sambung pak Aly. Tanpa ba-bi-bu, saya segera mengiyakan ajakan sang
bapak. Sejenak kemudian kami berkenalan, ternyata pak Aly sejak kecil hidup di
Pulau Mandangin, dia adalah anak tunggal dari seorang ibu bernama Haddad yang
asli Pulau Mandangin. Kali ini dia bermaksud untuk pulang ke rumah ibunya di
Mandangin untuk sekedar menengok sang Ibu yang sudah berumur dan sendirian
hidup di pulau tersebut, di samping juga untuk berlebaran Haji di rumah.
Di rumahnya yang sederhana,
bahkan terkesan tua dan tak terawat itu, kami lanjutkan obrolan kami malam
harinya. Pak Aly bercerita, ketika dia menanyakan ke kami tentang orang yang di
tuju dan kami jawab tidak ada. Tiba-tiba “DEG” kata pak Aly dalam hatinya.
Langsung bayangan pak Aly tertuju pada masa-masa muda sebelum menikah dulu.
Selidik punya selidik, ternyata belaupun seorang pengelana dan sudah banyak
tempat dan pulau yang di kunjunginya semasa lajang dulu. Dia teringat betapa
dahulu harus tidur di terminal atau stasiun ketika sedang bepergian, juga di
masjid jika sedang beruntung. Mengunjungi berbagai tempat yang dia tuju hanya
bermodal rasa “penasaran”. Tanpa uang yang memadai, pak Aly memberanikan diri
mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Cerita pertamanya, justru
perjalanannya paling jauh, menuju Sorong di Papua dengan Raja Ampatnya yang
melegenda. “Wow, itu impian saya pak Aly” saya bilang. Di mulai dari rasa
“penasaran”nya dengan kota Jakarta. Di Masjid Kemayoran Surabaya (sekarang
Masjid Takmiriyah), pak Aly hanya bermodal uang 100 ribu rupiah hendak pergi ke
Jakarta. Namun nasib mempertemukannya dengan pak Jafar kala itu. Sejurus
kemudian, terjadi obrolan antara mereka, pak Jafar sempat bertanya “Ada uang
berapa untuk pergi ke Jakarta?”. “Cuman seratus ribu pak” jawab pak Aly. “Kamu
siapkan uang sepuluh ribu saja, insyaallah kita sampai ke Jakarta” kata pak
Jafar. Tadinya pak Aly tidak percaya, namun kemudian dia menurut saja.
Ternyata pak Aly di ajak oleh
teman barunya menaiki gerbong kereta barang di salah satu stasiun kereta api di
Surabaya, dimintanya dia mengeluarkan uang sepuluh ribu tersebut. Pak Jafar
lima ribu dan pak Aly lima ribu. Pesan pak Jafar waktu itu adalah “Bilang ke
orang yang minta duit tiket kalau kamu hanya punya uang segitu”. Maka
terjadilah apa yang di katakan oleh pak Jafar, dan mereka sampai juga di
Jakarta keesokan paginya.
“Heran saya mas” kata pak Aly
pada saya. “Hanya dengan sepuluh ribu saya bisa sampai Jakarta” katanya lagi.
Saya hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum saja mendengarnya. Kemudian
cerita berlanjut. Sesampainya di Jakarta, pak Aly di ajak pak Jafar ke pelabuhan
Tanjung Priuk. Disitu mereka bertemu seorang China yang hendak merekrut pak
Jafar menjadi tenaga kerjanya, di PAPUA. Terjadi percakapan antara pak Jafar
dan orang China tersebut. Pak Aly mendeskripsikan betapa pak Jafar adalah orang
yang berkemampuan hebat di bidang kelistrikan, dia mampu menjelaskan tentang
yang menjadi pertanyaan orang China tadi dengan lancar dan jelas, hanya
bermodal pakaian selembar dengan celana dan sepatu sambil menenteng map yang
berisi, mungkin ijazah dan CV pak Jafar. Tiba-tiba pak Jafar mengenalkan pak
Aly pada bos China tersebut, pak Aly sempat bilang kalau bos China itu ternyata
orangnya baik, namanya bapak Sorini. Ditanyalah pak Aly oleh bos China tersebut
“Kamu bisa apa, mau ndak bekerja sama saya di Papua”. “Saya ndak bisa apa-apa
pak” kata pak Aly waktu itu. “Ndak apa-apa kalau mau ikut saja dengan pak Jafar
ke Papua” timpal bos China itu. Karena “penasaran” dengan tempat yang mau di
tuju, Sorong Papua, pak Aly segera mengiyakan ajakan pak Sorini, dengan sedikit
bujukan dari pak Jafar tentunya.
Pergilah kedua teman baru
tersebut ke Papua dengan kapal milik pak Sorini ke Sorong, Papua. Perjalanan
ditempuh selama 6 hari 6 malam. Di Sorong pak Aly mendapat bagian menjaga toko,
di temani istri pak Sorini. Dia bilang kalau istri pak Sorini orangnya baik
sekali dan penuh perhatian, dia hanya di gaji lima puluh ribu sehari serta
mendapat makan dan tidur gratis. Sedangkan pak Jafar di tempatkan di tempat
lain yang pak Aly tidak tahu, seminggu sekali pak Jafar menengok keadaan pak Aly.
Kira-kira selama tiga bulan lamanya pak Aly bekerja di toko pak Sorini di
Sorong, Papua. Diapun sempat mengunjungi kepulauan Raja Ampat. “Indah betul
Raja Ampat mas” kata pak Aly. “Waduh, pak Aly ndak usah bilang saya juga sudah
tahu, itu tempat impian saya untuk di kunjungi pak Aly” jawab saya spontan.
Kemudian saya menanyakan ke
pak Aly, apakah ada di pulau Mandangin sebuah cerita Rakyat atau legenda yang
mungkin dulu di tuturkan oleh orang tua-tua. “Ada” kata pak Aly. Diceritakan
dulu pada jaman Sumenep masih berupa kerajaan. Seorang pembesar wilayah
Sampang, bawahan kerajaan Sumenep, memiliki seorang istri yang berparas sangat
cantik bernama Ragapatmi. Tiba-tiba sang istri menderita penyakit kulit yang
susah untuk di sembuhkan, maka di usirlah sang istri oleh pembesar tersebut.
Ada seorang penjaga kuda kerajaan waktu itu, bernama Bangsacara. Beliau juga
dikenal sebagai seorang Mubaligh Islam di Kerajaan Sumenep yang bermukim di
Sampang. Bangsacara inilah yang kemudian menampung sang istri pembesar di
pengasingan. Di rawatnya si Ragapatmi hingga penyakit kulit tersebut hilang. Witing Trisna Jalaran Saka Kulina,
merekapun kemudian saling meadu kasih dan saling mencintai.
Sang pembesar Sampang
mengetahui perihal istrinya yang sudah sembuh dan berhasrat istrinya untuk
kembali. Di buatlah trik oleh pembesar tersbut dengan menitahkan si Bangsacara
untuk berburu di hutan di sebuah pulau di selatan wilayah Sampang, yang
kemudian bernama pulau Mandangin ini. Ternyata sesampainya di pulau tersebut,
Bangsacara dibunuh oleh pengawal pembesar yang mengikutinya untuk berburu.
Ragapatmi mendengar perihal kepergian Bangsacara ke pulau di selatan Sampang.
Segera dia menyusul ke pulau tersebut, ternyata dia hanya menemukan mayat
kekasih hatinya. Duka mendalam mengakibatkan Ragapatmi meregang nyawa di pulau
yang sama.
Tak berapa lama, ada seorang
saudagar dari Sumenep hendak pergi ke Surabaya dengan kapal dagangnya. Di
tengah perjalanan kapalnya rusak, dan berhenti di pulau Mandangin untuk
memperbaiki kapal tersebut. Di sana dia dapati dua sosok mayat lelaki dan
perempuan. Tanpa berfikir panjang diapun segera menguburkan kedua mayat
tersebut yang adalah Bangsacara dan Ragapatmi, sepasang kekasih yang cintanya
kandas oleh kekuasaan. Ketika itu juga saudagar bernama Gema tersebut bernadzar
“Kalau saya berhasil menjual batok kelapa ini dengan keuntungan yang banyak,
saya berjanji akan membangun dan merawat kuburan mereka ini”. Dan ternyata
kesuksesan tersebut menghampiri pak Gema saudagar dari Sumenep itu. Dan dia
segera menepati nadzarnya. Tanpa diduga, batok kelapa sisa berjualan di
Surabaya, dalam perjalanan ke Sumenep berubah menjadi emas semua. Dan menurut
cerita pak Aly, saudagar tersebut menjadi kaya raya hingga tujuh turunan. Pak
Aly sendiri pernah bertanya ke salah satu keturunan saudagar tersebut tentang
sudah berapa keturunan yang ada sekarang, dan dia menjawab sudah lebih dari tujuh
turunan. “WOW, saya juga mau jadi salah satu keurunannya” gumam saya.
Kini kuburan Bangsacara dan
Ragapatmi dipercaya berada di areal salah satu Masjid yang ada di Pulau
Mandangin. Sebuah epik Romeo dan Juliet versi orang Madura, menurut saya.
Tragis dan mengharukan, sebuah kisah cinta yang berakhir dengan kematian
semata. Namun kembali lagi, “Itu hanyalah legenda” tutur pak Aly.
Malam sudah semakin larut,
larut versi sebuah pulau sekitar jam 8. Saya berpamitan ke pak Aly hendak
mengelilingi desa dan mencari Masjid buat sholat Isya. Juga penasaran dengan
makam dua kekasih tersebut. Di tengah jalan saya mendapati sebuah masjid, yang kelihatannya
baru di bangun dan masih dalam tahap pembangunan. Bentuk masjid cukup modern
dengan pintu-pintu luar yang tinggi dan melancip di atas seperti masjid-masjid
yang ada di Timur Tengah. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke arah Dermaga
di sebelah barat pulau. Di dekat dermaga tersebut kami mendapati sebuah masjid
lagi bernama Masjid Al Isitiqomah, ini juga salah satu masjid besar yang ada di
Pulau Mandangin dari tiga masjid besar yang ada. Maklum, seratus persen
penduduk pulau Mandangin beragama Islam, dengan satu kelurahan saja terdapat
tiga masjid besar di dalamnya.
Tak menemukan makam yang
dimaksud, kami segera melaksanakan sholat Isya di masjid tersebut. Terdengar
suara keras jamaah masjid sedang bertakbir menyambut hari raya Qurban keesokan
harinya. Suara takbir dari loudspeaker tak berhenti hingga kami meninggalkan
masjid. Ketika lapar menyerang, kami menyempatkan diri memakan bakso di kedai
bakso sederhana dekat masjid. Disana saya menjumpai seorang anak muda bernama
Dedy, perwakilan anak muda yang dapat di ajak ngobrol dengan bahasa Indonesia
yang lumayan. Sebelumnya kami kesulitan menemukan orang yang mampu berbahasa
Indonesia dengan fasih, kebanyakan dari mereka adalah orang tua-tua. Tapi satu
hal yang saya dapati dari sini, penduduk Pulau Mandangin orangnya ramah-ramah.
Orang Madura Gili yang ramah dan penuh senyum. Mereka tidak segan untuk menyapa
orang asing seperti saya, walaupun terkadang dengan bahasa Madura yang tidak
saya fahami.
Dedy kami ajak ngobrol santai
dengan bakso di depan kami masing-masing. Malam itu suasana sangat cerah dengan
semilir angin laut yang “isis”.
Sesekali terasa kencang dan dingin, namun tidak merusak obrolan hangat kami di
kedai bakso terbuka itu. Dedy seorang lulusan SMK yang bercita-cita bekerja di
salah satu Mall di Surabaya. Dari dia saya tahu kalau adat penduduk sini,
terutama golongan mudanya, adalah wajib untuk menimba ilmu di pondok pesantren.
Baik itu di pondok pesantren yang ada di Madura maupun yang ada di Jawa.
Sebagaimana adat di pondok pesantren, disinipun mereka berkeliaran dengan
memakai sarung. Sunggguh pemandangan yang unik menurut saya, ya... mayoritas
laki-laki di pulau Mandangin selalu mengenakan sarung saat bepergian, baik
ketika berjalan kaki maupun dengan mengendarai sepeda motor.
Sedangkan untuk Dedy, dia
termasuk tipe anak muda yang bandel, katanya. Dia kabur setelah tiga bulan
belajar di salah satu pondok pesantren di Sampang, saat kursus komputerpun dia
hanya bertahan selama satu bulan, kemudian “kabur” lagi. “Terus apa yang kamu
lakukan selama ini” tanya saya. “Ya... gak ngapa-ngapain mas, santai saja di
sini” jawabnya ringan. “Wah, enak sekali hidupmu” saya langsung menyahut
spontan. Tapi mungkin itu hanya sementara saja, karena dalam waktu dekat dia
akan ke Surabaya untuk mencari kerja di “Mall” seperti mimpinya. Dia punya
teman yang bisa menampungnya di Surabaya untuk sementara.
Saya segera pamit ke Dedy dan
balik ke rumah pak Aly untuk istirahat. Karena waktu semakin “larut” malam,
sekitar jam 9 saat itu. Di perjalanan pulang sepeda motor saya sempat tertabrak
seseorang yang mengendarai motor laki-laki. Apesnya, tabrakan itu pas mengenai
kaki saya, untungnya waktu itu kaki sedang berselimut sepatu Eiger kesayangan
saya, sehingga tidak sampai patah-patah. Ya, karena suara tabrakan cukup keras
hingga mengagetkan orang-orang di sekitar. Sejurus kemudian kami berhenti dan
saling memandang, dirasa tidak ada luka serius saya segera melanjutkan
perjalanan dengan di bonceng Eko.
Sesampai di rumah pak Aly,
kami berniat istirahat. Sedangkan di musholla depan rumah masih tampak
aktifitas beberapa warga sekitar bertakbir ria menyambut hari raya Qurban. Usai
bertakbir, mereka mengajak kami untuk bersantap malam. Dan langsung tidur
selepasnya.
(to be cont...)
No comments:
Post a Comment