Thursday, October 24, 2013

   

Mandangin... Mandi Angin-angin part 4



Mandangin “Shaun the Sheep” Island

Pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Mandangin, hanya satu kata yang dapat terucap di bibir ini, “padat”. Sedari jauh sudah tampak bangunan rumah penduduk seperti bertumpuk-tumpuk, dari arah timur hingga barat pulau. Pesisir utara pulau terlihat penuh sesak oleh perumahan penduduk, pinggiran laut yang dulu berupa pasir putih, sekarang sudah di sulap penghuni pulau menjadi tembok-tembok plengsengan yang kokoh. Karena di atas tembok-tembok tersebut rumah penduduk berdiri. Mirip perumahan di pulau-pulau di laut Mediterania, hanya saja tidak ada tebing menjulang di sini, seperti di pulau Sicilia dan lainnya.

Senen sore tanggal 14 Oktober 2013, tepat sehari sebelum hari Raya Qurban. Kami sampai di pulau Mandangin, sebuah pulau seluas 1,6 Hektar yang berlokasi di selatan Madura, tepatnya di selatan Kabupaten Sampang. Adzan Maghrib terdengar membahana ketika kami sampai di pulau ini, ternyata kapal yang kami tumpangi tidak dapat bersandar langsung ditepi pulau, namun harus oper ke perahu yang lebih kecil untuk sampai di pinggiran pulau. Tiba-tiba terdengar suara keras para penghuni pulau yang sekapal dengan kami “Au... au au auuu....”. “Waduh kok kayak suku Arab Badui di Arab Saudi ya... suka teriak-teriak perempuannya” komentar saya spontan. Beberapa wanita lain hanya tersenyum saja melihat kami keheranan “Ya gini mas orang Madura Gili, kasar” kata salah seorang dari mereka.

Kami hanya bisa mengikuti jejak langkah pak Aly, seorang putra Mandangin yang rela kami tumpangi rumahnya. Sudah banyak rumah penduduk pulau ini yang rata-rata adalah orang Madura. Ya, Madura Gili mereka menyebutnya. Jalan-jalannya sempit, mengingatkan gang-gang kampung yang ada di kota Surabaya, atau kalau mau lebih keren, seperti gang yang ada di daerah Masjid Ampel, minus penjual souvenir haji dan kurmanya. Dalam sempitnya jalanan ini, masyarakatnya tidak segan untuk menaiki kendaraan berupa sepeda motor, yang kalau berpapasan hanya muat 2 sepeda motor saja. Beda dengan di Surabaya yang mewajibkan pengendara motornya untuk turun dan menuntun.

Hampir semua bangunan menggunakan batu bata putih yang di ambil dari pegunungan kapur, seperti yang pernah saya lihat di daerah Gresik dan Lamongan. Ukuran bangunan besar-besar dan semuanya permanen. Yang menarik dari rumah-rumah penduduk disini adalah semua di batasi tembok pada tepi jalan, sehingga menyisakan gang-gang sempit dengan kiri kanan berupa pagar tembok berwarna putih. Di sela-sela pagar tembok tersebut terdapat pintu masuk berbentuk persegi panjang berdiri dengan daun pintu kayu yang rata-rata berwarna hijau, atau “biru” bagi orang Madura. Setelah di telisik lebih mendalam, ternyata di dalam pagar tembok itu terdapat beberapa rumah warga yang masih saudara. Jadi seperti sebuah kompleks rumah satu keluarga dalam lingkungan tembok yang luas. Karena kalau kita mengintip ke dalam tembok tersebut, masih tampak luas halaman-halaman rumah dan jarak antar rumah yang ada di dalam.

Satu hal yang unik di pulau ini, saya melihat banyak kambing berkeliaran di mana-mana. Ketika saya bilang di mana-mana, artinya kambing-kambing tersebut memang berada di mana-mana. Mulai dari di pinggiran jalan, di depan masjid hingga di halaman rumah penduduk. Kambing di sini sama seperti kucing dan tikus di Surabaya, banyak dan di mana-mana. Mereka berkeliaran bebas, memakan apa saja yang mereka temui di jalanan, mereka tak canggung dengan derap langkah manusia yang mondar-mandir, juga dengan bisingnya suara motor yang seliweran di gang-gang sempit kampung. Kambing-kambing ini seperti sudah menjadi bagian dari masyarakat pulau. Tak heran hanya dua kemungkinan yang dapat kita temui di jalan-jalan pulau Mandangin. Manusia atau Kambing, tentunya dengan status kambing-kambing tersebut sebagai kepunyaan manusianya, bukan sebaliknya. Kucing dan tikus juga ada sih, tapi tak sebanyak populasi kambing disini. Kalau kita membandingkan populasi masyarakat pulau Mandangin, populasi kambing mungkin menduduki urutan kedua setelah populasi manusia. Pantas dulu pulau ini berjuluk Pulau Kambing, seperti masih terlihat di google earth saat ini. Nama pulau ini masih tercantum dengan nama Pulau Kambing atau saya boleh sebut; “Shaun the Sheep Island”.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana cara mereka mengenal kambing-kambingnya. Padahal kambing-kambing tersebut tak terikat di tali atau berada dalam kandang-kandang di halaman rumah pemiliknya. Ternyata semua kambing-kambing tersebut di beri tanda oleh sang pemilik. Ada yang di beri kalung tertentu, ada yang bagian tubuhnya di beri pewarna dengan warna tertentu, ada pula yang berkalung mirip dasi manusia, lucu-lucu.

Satu lagi yang sempat saya perhatikan, kambing di pulau Mandangin terlihat bersih. Hampir semua kambing di sini terlihat putih bersih. Tidak seperti kambing-kambing di Jawa yang terkadang terlihat kotor dan bau. Disini kambingnya bersih-bersih. Baru keesokan harinya, ketika kami melakukan Island Hopping, kami menemukan jawabannya. Ternyata kambing-kambing disini sering mandi, maksud saya di mandikan oleh juragannya. Saya sempat melihat seorang pemilik kambing sedang membasuh dan menyikat seekor anak kambing di pinggiran pantai selatan pulau. Baru tahu saya kalau kambing juga mandi. Setahu saya selama ini, kambing takut air. Sepertinya itu tidak berlaku pada kambing-kambing di pulau Mandangin. Terlihat kambing yang sedang di mandikan tersebut sangat menikmati. Dia hanya terlihat meng-embek saja, tanpa meronta-ronta. Bapak tersebut menjelaskan kalau kambing di pulau Mandangin di mandikan minimal 2 kali sebulan. Wow...

Hal unik lainnya adalah, banyaknya makam-makam warga di pulau. Tidak hanya di pemakaman umumnya saja, makam-makam ini juga dapat di jumpai di halaman belakang atau samping rumah warga pulau. Jadi tak heran ketika berkeliling kita akan menjumpai banyak makam di pinggir-pinggir gang pulau Mandangin. Anehnya, makam-makam tersebut tidak menimbulkan kesan angker seperti yang di kisahkan di filem-filem horor Indonesia. Makam-makam tersebut sudah menjadi pemandangan biasa di pulau Mandangin. Mereka adalah makam dari keluarga pemilik rumah, sepertinya lahan yang terbatas untuk pemakaman warga menjadi salah satu problem bagi penduduk pulau ini. Dengan populasi sebanyak 20.000 jiwa (berdasarkan DPT 2009), lahan kosong menjadi berkurang setiap tahunnya karena pertumbuhan rumah penduduk yang berbanding lurus dengan pertumbuhan lahan untuk makam.
(to be cont...)

No comments:

Post a Comment

Recent Comments