Mandangin “Shaun the Sheep” Island
Pertama kali menginjakkan kaki
di Pulau Mandangin, hanya satu kata yang dapat terucap di bibir ini, “padat”. Sedari jauh sudah tampak
bangunan rumah penduduk seperti bertumpuk-tumpuk, dari arah timur hingga
barat pulau. Pesisir utara pulau terlihat penuh sesak oleh
perumahan penduduk, pinggiran laut yang dulu berupa pasir putih, sekarang sudah
di sulap penghuni pulau menjadi tembok-tembok plengsengan yang kokoh. Karena di
atas tembok-tembok tersebut rumah penduduk berdiri. Mirip perumahan di
pulau-pulau di laut Mediterania, hanya saja tidak ada tebing menjulang di sini,
seperti di pulau Sicilia dan lainnya.
Senen sore tanggal 14 Oktober
2013, tepat sehari sebelum hari Raya Qurban. Kami sampai di pulau Mandangin,
sebuah pulau seluas 1,6 Hektar yang berlokasi di selatan Madura, tepatnya di
selatan Kabupaten Sampang. Adzan Maghrib terdengar membahana ketika kami sampai
di pulau ini, ternyata kapal yang kami tumpangi tidak dapat bersandar langsung
ditepi pulau, namun harus oper ke perahu yang lebih kecil untuk sampai di
pinggiran pulau. Tiba-tiba terdengar suara keras para penghuni pulau yang
sekapal dengan kami “Au... au au auuu....”. “Waduh kok kayak suku Arab Badui di
Arab Saudi ya... suka teriak-teriak perempuannya” komentar saya spontan.
Beberapa wanita lain hanya tersenyum saja melihat kami keheranan “Ya gini mas
orang Madura Gili, kasar” kata salah seorang dari mereka.
Kami hanya bisa mengikuti
jejak langkah pak Aly, seorang putra Mandangin yang rela kami tumpangi
rumahnya. Sudah banyak rumah penduduk pulau ini yang rata-rata adalah orang
Madura. Ya, Madura Gili mereka menyebutnya. Jalan-jalannya sempit, mengingatkan
gang-gang kampung yang ada di kota Surabaya, atau kalau mau lebih keren,
seperti gang yang ada di daerah Masjid Ampel, minus penjual souvenir haji dan
kurmanya. Dalam sempitnya jalanan ini, masyarakatnya tidak segan untuk menaiki
kendaraan berupa sepeda motor, yang kalau berpapasan hanya muat 2 sepeda motor
saja. Beda dengan di Surabaya yang mewajibkan pengendara motornya untuk
turun dan menuntun.
Hampir semua bangunan
menggunakan batu bata putih yang di ambil dari pegunungan kapur, seperti yang
pernah saya lihat di daerah Gresik dan Lamongan. Ukuran bangunan besar-besar
dan semuanya permanen. Yang menarik dari rumah-rumah penduduk disini adalah
semua di batasi tembok pada tepi jalan, sehingga menyisakan gang-gang sempit
dengan kiri kanan berupa pagar tembok berwarna putih. Di sela-sela pagar tembok
tersebut terdapat pintu masuk berbentuk persegi panjang berdiri dengan daun
pintu kayu yang rata-rata berwarna hijau, atau “biru” bagi orang Madura.
Setelah di telisik lebih mendalam, ternyata di dalam pagar tembok itu terdapat
beberapa rumah warga yang masih saudara. Jadi seperti sebuah kompleks rumah
satu keluarga dalam lingkungan tembok yang luas. Karena kalau kita mengintip ke
dalam tembok tersebut, masih tampak luas halaman-halaman rumah dan jarak antar
rumah yang ada di dalam.
Satu hal yang unik di pulau
ini, saya melihat banyak kambing berkeliaran di mana-mana. Ketika saya bilang
di mana-mana, artinya kambing-kambing tersebut memang berada di mana-mana.
Mulai dari di pinggiran jalan, di depan masjid hingga di halaman rumah
penduduk. Kambing di sini sama seperti kucing dan tikus di Surabaya, banyak dan
di mana-mana. Mereka berkeliaran bebas, memakan apa saja yang mereka temui di
jalanan, mereka tak canggung dengan derap langkah manusia yang mondar-mandir,
juga dengan bisingnya suara motor yang seliweran di gang-gang sempit kampung.
Kambing-kambing ini seperti sudah menjadi bagian dari masyarakat pulau. Tak
heran hanya dua kemungkinan yang dapat kita temui di jalan-jalan pulau
Mandangin. Manusia atau Kambing, tentunya dengan status kambing-kambing tersebut
sebagai kepunyaan manusianya, bukan sebaliknya. Kucing dan tikus juga ada sih,
tapi tak sebanyak populasi kambing disini. Kalau kita membandingkan populasi
masyarakat pulau Mandangin, populasi kambing mungkin menduduki urutan kedua
setelah populasi manusia. Pantas dulu pulau ini berjuluk Pulau Kambing, seperti
masih terlihat di google earth saat ini. Nama pulau ini masih tercantum dengan
nama Pulau Kambing atau saya boleh sebut; “Shaun the Sheep Island”.
Yang menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana cara mereka mengenal kambing-kambingnya. Padahal
kambing-kambing tersebut tak terikat di tali atau berada dalam kandang-kandang
di halaman rumah pemiliknya. Ternyata semua kambing-kambing tersebut di beri
tanda oleh sang pemilik. Ada yang di beri kalung tertentu, ada yang bagian
tubuhnya di beri pewarna dengan warna tertentu, ada pula yang berkalung mirip
dasi manusia, lucu-lucu.
Satu lagi yang sempat saya
perhatikan, kambing di pulau Mandangin terlihat bersih. Hampir semua kambing di
sini terlihat putih bersih. Tidak seperti kambing-kambing di Jawa yang
terkadang terlihat kotor dan bau. Disini kambingnya bersih-bersih. Baru
keesokan harinya, ketika kami melakukan Island
Hopping, kami menemukan jawabannya. Ternyata kambing-kambing disini sering
mandi, maksud saya di mandikan oleh juragannya. Saya sempat melihat seorang
pemilik kambing sedang membasuh dan menyikat seekor anak kambing di pinggiran
pantai selatan pulau. Baru tahu saya kalau kambing juga mandi. Setahu saya
selama ini, kambing takut air. Sepertinya itu tidak berlaku pada
kambing-kambing di pulau Mandangin. Terlihat kambing yang sedang di mandikan
tersebut sangat menikmati. Dia hanya terlihat meng-embek saja, tanpa
meronta-ronta. Bapak tersebut menjelaskan kalau kambing di pulau Mandangin di
mandikan minimal 2 kali sebulan. Wow...
Hal unik lainnya adalah,
banyaknya makam-makam warga di pulau. Tidak hanya di pemakaman umumnya saja,
makam-makam ini juga dapat di jumpai di halaman belakang atau samping rumah
warga pulau. Jadi tak heran ketika berkeliling kita akan menjumpai banyak makam
di pinggir-pinggir gang pulau Mandangin. Anehnya, makam-makam tersebut tidak
menimbulkan kesan angker seperti yang di kisahkan di filem-filem horor Indonesia.
Makam-makam tersebut sudah menjadi pemandangan biasa di pulau Mandangin. Mereka
adalah makam dari keluarga pemilik rumah, sepertinya lahan yang terbatas untuk
pemakaman warga menjadi salah satu problem bagi penduduk pulau ini. Dengan
populasi sebanyak 20.000 jiwa (berdasarkan DPT 2009), lahan kosong menjadi
berkurang setiap tahunnya karena pertumbuhan rumah penduduk yang berbanding
lurus dengan pertumbuhan lahan untuk makam.
(to be cont...)
No comments:
Post a Comment