Kemolekan Pulau Mandangin dan Masyarakatnya
Seusai sholat Maghrib di
Musholla rumah pak Aly, saya masih menunggu kedatangan Eko yang sedang
mengambil motor Mio di dermaga. Kami sempatkan mengobrol
dengan yang punya rumah, pak Aly memperkenalkan kami dengan Ibunya yang bernama
Ibu Haddad. Beliau ternyata tidak bisa berbahasa Indonesia, ya, Maduranese
only. Hal ini umum adanya, orang-orang tua asli Mandangin tidak kenal bahasa
Indonesia, Bahasa Persatuan di Negeri Indonesia. Sehingga kami hanya tersenyum
saja ketika di ajak ngobrol mereka yang murah senyum. Atau, ketika
mereka menyapa kami di tengah jalan, kata pertama yang muncul di benak kami
adalah pertanyaan “Berasal dari mana mas?” kamipun pasti langsung menjawab
“Dari Surabaya pak” disertai senyum ramah. Dengan hanya mengangguk-angguk
sesudahnya ketika mereka melanjutkan percakapan dengan bahasa Madura, bahasa
yang asing bagi kami. Yang membuat kami terkadang merasa seperti di luar
negeri, tentu kami yang menjadi bulenya.
Tidak banyak yang bisa
dilakukan di pulau ini ketika malam tiba, untungnya waktu itu malam Lebaran
Haji, sehingga banyak pemuda-pemudi pulau Mandangin pulang kampung dari
kegiatan Mondoknya. Mereka banyak yang berkeliaran di jalan-jalan, pemudanya
memakai hem lengan panjang bersarung warna-warni, sedangkan pemudinya
berkerudung anggun. Khas suasana pondok pesantren. Saya tidak bisa bayangkan
betapa sepinya pulau ini tanpa kehadiran mereka. Mungkin hanya menyisakan
orang-orang tua disini, yang tidak mengerti bahasa Indonesia.
Keesokan harinya, kami
bergegas menuju sebuah titik di ujung timur pulau untuk hunting Sunrise. Tempat
itu bernama “Chandin”, sebuah batu karang besar yang seolah-olah terpisah dari
daratan utama dan membentuk pulau sendiri dengan rerimbunan di atasnya dan
beberapa pohon khas tanpa dedaunan, seperti Tanah Lot di Bali. Tadinya kami
kira “Candi” sehingga saya bersemangat untuk mengeksplore batu karang tersebut
berharap menemukan sebuah situs kuno candi peninggalan peradaban masa silam,
namun sia-sia belaka. Karena tak ada apapun berbau sejarah di tempat itu
lantaran salah dengar.
Hari itu Sunrise tidak sebagus
yang kami harapkan, matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya di balik
rimbunnya awan di ufuk timur. Eko sedari tadi sibuk dengan pekerjaan
memotretnya. Sedangkan saya, asyik tiduran di atas sleeping bag menikmati awan
yang terlihat cerah disertai semilir hembusan angin laut, hingga sesaat
tertidur beneran. Tiba-tiba suara takbir yang sedari tadi menggema seantero
pulau terhenti, yang menandakan sholat Id segera di mulai. Kami segera
meninggalkan Chandin menuju masjid terdekat untuk mengikuti sholat Id.
Beberapa tempat berupa
musholla menjadi kandidat tempat sholat Id kami, namun kami memutuskan untuk
mencari masjid saja. Guna merasakan sensasi sholat Id berjamaah dengan ribuan
penduduk lainnya. Akhirnya Masjid At Taqwa yang terletak di tengah pulau
menjadi tempat berlabuh kami melaksanakan sholat Id. Untungnya ada seorang
warga menyempatkan diri meminjamkan sajadahnya untuk saya sholat. Ya, saya dan
sebagian warga sholat di jalanan depan masjid karena bagian dalam masjid sudah
penuh manusia pulau yang mengikuti sholat Id berjamaah.
Tadinya saya berencana untuk
melihat prosesi penyembelihan qurban di masjid tersebut, namun kemudian
berubah. “Ah pasti ya gitu-gitu juga menyembelih hewan qurban, pake pisau tajam
dan sret... darah mengucur, sama seperti yang di Jawa” gumam saya. Tidak mungkin
ada perbedaan cara menyembelih qurban disini, dengan memakai senapan mesin
misalnya. Akhirnya kami putuskan untuk kembali kerumah pak Aly. Disana beliau
sudah menunggu di ruangan tempat kami tertidur semalam bersama temannya.
Sebuah ritual adat unik kami
alami saat itu juga. Setiap lebaran Haji di pagi hari, masing-masing keluarga
akan membuat sesajen dalam wadah nampan bundar besar berisi roti-rotian, botol
minuman ringan, beberapa buah (kebanyakan pisang), nasi dan sate beberapa
tusuk. Kadang-kadang diselipkan dupa terbakar di sisinya. Kemudian
sesajen-sesajen di bawa ke seseorang yang bertugas mengirimkan doa, yang
kali ini adalah pak Aly. Satu persatu kami mengirim doa buat almarhum keluarga
yang di wakili sesajen tersebut. Dan sesajenpun terus berdatangan dari pihak
keluarga yang lain. Tentunya di selingi obrolan kami dengan pak Aly ketika ada
waktu senggang.
Waktu menunjukkan hampir pukul
09.00, ketika tiba-tiba terdengar bunyi musik dangdut keras dari arah gang
depan rumah. Kami langsung berhamburan keluar untuk menyaksikan sebuah atraksi
budaya bernama “Gendrang”. Ini adalah adat penduduk pulau Mandangin setiap
Idul Adha tiba. Dimana terdapat arak-arakan manusia banyak sekali berjalan
mengelilingi kampung sambil berkaraoke ria (yang kebanyakan adalah lagu
dangdut) dengan peralatan berupa kendang, seruling dan sebuah speaker Toa besar
di atas sepeda onthel. Mereka berjalan mengelilingi kampung, ada banyak pemuda
mengiringi, anak-anak kecilpun tak ketinggalan, juga sebagian wanita tua pulau yang
hanya menyaksikan dari depan rumah mereka. Hingga gang-gang sempit penuh
sesak manusia mengiringi arak-arakan Gendrang. Sebuah perayaan “Hari Raya” ala
pulau Mandangin.
Usai menikmati iring-iringan
Gendrang, kami segera beranjak untuk memulai aktifitas Island Hopping yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Perjalanan di
mulai dari area batu karang Chandin. Disana sudah terlihat air mulai pasang,
yang menandakan perfect timing buat
menikmati pantai dan berenang sepuasnya. Puas berfoto ria di batu Chandin, kami
beranjak menyusuri pantai selatan pulau Mandangin. Di perjalanan kami menemui
banyak pohon gersang tanpa daun, pohon-pohon tersebut membuat suasana pulau
semakin eksotis, dengan cabang-cabangnya yang terlihat seperti pohon kering di
depan rumah-rumah hantu. Tak lupa kami menjadikan spot di beberapa tempat
dengan pohon-pohon tersebut untuk berfoto. Menurut Eko, itu adalah pohon
Minastirith, sebuah pohon di filem Lord of Dering (LOTR) yang kering tanpa daun
berwarna putih dan berlokasi di depan gerbang Istana di filem tersebut.
Minastirith berarti “Tree of Kings” atau Pohon para Raja.
Lurus kami berjalan menyisir
pantai berpasir putih bersih selatan pulau, dengan pasir halusnya, sehalus tepung terigu di dapur. Airnya
berwarna biru tosca, dengan kilau pantulan cahaya matahari yang begitu
cerahnya, sempat menyihir kami untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan berfoto
ria. Ombaknya pun tak sebesar di pantai-pantai selatan pulau Jawa, hanya
deburan kecil berkejaran kesana kemari bertabur buih bercampur pasir halus. Tak
sabar rasanya segera melepas baju dan berenang kedalamnya.
Obyek menarik pertama di
pantai tersebut adalah, seorang bapak bertopi bundar berkaos singlet sedang
memandikan anak kambingnya, moment yang menggelikan ketika si anak kambing
hanya meng-embek tanpa daya di mandikan bapak tadi. Peralatan mandipun terlihat
lengkap, tampak sebuah ember berisi air sabun dan sikat untuk menyikat
bulu-bulu anak kambing. Selesai disikat dengan sabun, anak kambingpun di
ceburkan ke pinggir laut guna membasuhnya dari busa sabun, terlihat putih dan
bersih bulu-bulu anak kambingnya.
Kemudian terlihat beberapa
perahu kano kecil berwarna-warni yang sedang di jemur di pinggir pantai.
Menambah keindahan suasana pantai. Warna-warni laut, putihnya pasir,
dan perahu-perahu kecil berjajar, serasa seperti di gambar kartu pos - kartu
pos wisata pulau yang sering kita jumpai di tempat - tempat wisata di luar
negeri.
Terkadang warna laut berubah
menjadi hijau bening di sebagian tempat yang lain, di selang-selingi perahu
nelayan berbagai ukuran dan warna yang tertambat di pinggir laut mengapung
kesana kemari. Saya sudah tak sabar bersentuhan dengan air laut bercahaya itu.
Segera selepas berfoto ria di pinggir pantai, kami segera mencari perfect spot untuk berenang dan
mendirikan tenda, sebenarnya tenda saat itu tidak ada gunanya, hanya menambah
warna suasana saja, seolah-olah kami sedang berkemping ria di sebuah pulau
terpencil di Indonesia. Tak lupa saya membeber
sleeping bag saya untuk sunbath nanti.
Blurr... terdengar keras suara
air ketika tubuh saya tercebur kedalamnya. Dingin dan hangat air laut yang
hanya setinggi pinggang. Dengan google
biru saya menikmati keindahan bawah air yang hanya berupa pasir putih dan
ikan-ikan kecil. Serasa berenang sudah jauh, namun kedalaman air laut tak
beranjak juga. Hingga kira-kira 500 meter lebih saya berenang ke tengah laut,
namun tetap setinggi pinggang, terkadang lutut. Agak ketengah saya menemukan
seekor bintang laut seukuran telapak tangan saya, tadinya berwarna putih, namun
setelah saya angkat ternyata warna putih tersebut berasal dari pasir yang
menempel di permukaan atas binatang tersebut. Mungkin untuk berkamuflase dari
serangan predatornya. Dan warna bintang lautpun berubah menjadi corak batik
campuran coklat dan putih.
Sedangkan Eko masih sibuk
dengan kamera poketnya mengabadikan suasana pantai laut selatan Mandangin. Tak
lama kemudian dia menyusul. Ketika itu kami hanya berdua, ditengah air laut
yang dangkal begitu luasnya, hanya ada kami berdua yang menikmati segarnya air
laut. Tak tampak turis lainnya melakukan aktifitas yang sama di sini,
hanya beberapa anak pulau yang sekedar berjalan di pinggiran pantai.
Benar-benar sepi turis pulau
ini. Sejenak saya berfikir, sayang kalau potensi wisata sebagus ini tak dapat
di jual ke turis-turis asing yang dahaga akan keindahan alam. Terutama
keindahan pantai seperti yang ada di Mandangin Island. Karena dengan industri
pariwisatalah, masyarakat pulau dapat menambah penghasilannya dari kantong-kantong
para turis, entah sebagai tour operatornya, tour guide, pemilik
penginapan atau penjual souvenir khas pulau. Sayang seribu sayang, jika
keindahan tersebut tak mampu menghasilkan uang bagi masyarakat yang tinggal di
dalamnya.
Sejam lebih saya menikmati
birunya air laut, hanya berenang dan berenang. Tak seberapa lama, kami kembali
ke bibir pantai. Di situ tampak sebuah perahu kecil mirip kano yang tak dapat
kami sia-siakan menjadi obyek foto, dengan masing-masing dari kami di atas
tentunya, bergantian.
Usai sudah kegiatan berenang di pantai selatan Mandangin, kini saatnya berjemur sejenak kemudian
bersiap-siap melanjutkan perjalanan mengitari pulau sesuai rencana. Di sana
sini tampak pohon Minastirith berjajar, saya bayangkan betapa rimbunnya hijau
daun di pulau ini ketika musim hujan tiba. Mungkin karena musim kemarau, semua
daun di pohon-pohon tersebut meranggas. Musim kemarau seperti Summer-nya orang Indonesia, panas dan
kering.
Tampak beberapa kali pekuburan
warga yang menjadi tidak asing bagi kami. Kali ini sepertinya pemakaman umum,
yang terletak di pesisir pantai selatan pulau. Sebuah pemandangan aneh,
pemakaman dengan latar belakang pantai yang indah. Menjadi hilang kesan angker dan ngeri kuburan - kuburan tersebut. Terus kami berjalan melewati
pohon-pohon Minastirith dan pemakaman warga hingga sampai di sebuah pohon yang
masih terlihat hijau di ujung jalan. “Yes... akhirnya kita sampai juga di ujung
barat pulau” ujar saya. Namun ternyata, itu hanya kelokan yang menjorok ke laut
dimana di balik kelokan tersebut masih membentang pantai menuju ke
barat pulau. Oh My God... ternyata kami baru mencapai bagian tengah pulau.
Urung kami melanjutkan
perjalanan mengitari pulau, karena sudah letih dan lapar, sedangkan perjalanan
serasa lebih jauh dari perkiraan. Akhirnya kami berjalan menembus bagian tengah
pulau menuju ke utara, dimana pemukiman penduduk berada. Sejenak melepas lelah
di sebuah kedai kecil pinggir lapangan, kami menikmati es serutan mangga muda,
segerrr...
Perjalanan kami lanjutkan
kembali ke rumah pak Aly, tentunya kali ini berjalan kaki. Sambil menunggu
malam tiba, kami hanya beristirahat di ruangan kecil beralas tikar dengan 2
buah bantal khas seperti kamar-kamar di pondok pesantren dulu. Sore harinya,
kami sempatkan melihat Sunset di ujung barat pulau, ketika saya asik membaca
buku sang Travel Writer dengan pemandangan sunset, Eko sedang menikmati
kegiatan memotretnya dengan anak-anak kecil pulau yang begitu riang menjadi
modelnya. Malam hari hanya kami habiskan mengobrol ria dengan pak Aly dan
beristirahat karena sudah lelah seharian ber-Island Hopping.
Pagi yang cerah, saatnya
persiapan pulang. Walaupun masih sempat mengejar sunrise di batu Chandin,
meski telat, kami kembali melanjutkan obrolan hangat dengan Pak Aly tentang
berbagai petualangannya semasa lajang dulu sembari menyantap suguhan sarapan
pagi dari sang Ibu. Dan ketika jam menunjuk pukul 09.15 pagi, kami berpamitan
dengan kedua Ibu anak tersebut sambil saling mendoakan satu sama lain. Dan
kamipun meninggalkan pulau tepat pukul 10.00 pagi dengan kapal penumpang menuju
pelabuhan Tanglok di Sampang.
[...fin...]
No comments:
Post a Comment