Thursday, October 24, 2013

   

Mandangin... Mandi Angin-angin part 5 end



Kemolekan Pulau Mandangin dan Masyarakatnya

Seusai sholat Maghrib di Musholla rumah pak Aly, saya masih menunggu kedatangan Eko yang sedang mengambil motor Mio di dermaga. Kami sempatkan mengobrol dengan yang punya rumah, pak Aly memperkenalkan kami dengan Ibunya yang bernama Ibu Haddad. Beliau ternyata tidak bisa berbahasa Indonesia, ya, Maduranese only. Hal ini umum adanya, orang-orang tua asli Mandangin tidak kenal bahasa Indonesia, Bahasa Persatuan di Negeri Indonesia. Sehingga kami hanya tersenyum saja ketika di ajak ngobrol mereka yang murah senyum. Atau, ketika mereka menyapa kami di tengah jalan, kata pertama yang muncul di benak kami adalah pertanyaan “Berasal dari mana mas?” kamipun pasti langsung menjawab “Dari Surabaya pak” disertai senyum ramah. Dengan hanya mengangguk-angguk sesudahnya ketika mereka melanjutkan percakapan dengan bahasa Madura, bahasa yang asing bagi kami. Yang membuat kami terkadang merasa seperti di luar negeri, tentu kami yang menjadi bulenya.

Tidak banyak yang bisa dilakukan di pulau ini ketika malam tiba, untungnya waktu itu malam Lebaran Haji, sehingga banyak pemuda-pemudi pulau Mandangin pulang kampung dari kegiatan Mondoknya. Mereka banyak yang berkeliaran di jalan-jalan, pemudanya memakai hem lengan panjang bersarung warna-warni, sedangkan pemudinya berkerudung anggun. Khas suasana pondok pesantren. Saya tidak bisa bayangkan betapa sepinya pulau ini tanpa kehadiran mereka. Mungkin hanya menyisakan orang-orang tua disini, yang tidak mengerti bahasa Indonesia.

Keesokan harinya, kami bergegas menuju sebuah titik di ujung timur pulau untuk hunting Sunrise. Tempat itu bernama “Chandin”, sebuah batu karang besar yang seolah-olah terpisah dari daratan utama dan membentuk pulau sendiri dengan rerimbunan di atasnya dan beberapa pohon khas tanpa dedaunan, seperti Tanah Lot di Bali. Tadinya kami kira “Candi” sehingga saya bersemangat untuk mengeksplore batu karang tersebut berharap menemukan sebuah situs kuno candi peninggalan peradaban masa silam, namun sia-sia belaka. Karena tak ada apapun berbau sejarah di tempat itu lantaran salah dengar.

Hari itu Sunrise tidak sebagus yang kami harapkan, matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya di balik rimbunnya awan di ufuk timur. Eko sedari tadi sibuk dengan pekerjaan memotretnya. Sedangkan saya, asyik tiduran di atas sleeping bag menikmati awan yang terlihat cerah disertai semilir hembusan angin laut, hingga sesaat tertidur beneran. Tiba-tiba suara takbir yang sedari tadi menggema seantero pulau terhenti, yang menandakan sholat Id segera di mulai. Kami segera meninggalkan Chandin menuju masjid terdekat untuk mengikuti sholat Id.

Beberapa tempat berupa musholla menjadi kandidat tempat sholat Id kami, namun kami memutuskan untuk mencari masjid saja. Guna merasakan sensasi sholat Id berjamaah dengan ribuan penduduk lainnya. Akhirnya Masjid At Taqwa yang terletak di tengah pulau menjadi tempat berlabuh kami melaksanakan sholat Id. Untungnya ada seorang warga menyempatkan diri meminjamkan sajadahnya untuk saya sholat. Ya, saya dan sebagian warga sholat di jalanan depan masjid karena bagian dalam masjid sudah penuh manusia pulau yang mengikuti sholat Id berjamaah.

Tadinya saya berencana untuk melihat prosesi penyembelihan qurban di masjid tersebut, namun kemudian berubah. “Ah pasti ya gitu-gitu juga menyembelih hewan qurban, pake pisau tajam dan sret... darah mengucur, sama seperti yang di Jawa” gumam saya. Tidak mungkin ada perbedaan cara menyembelih qurban disini, dengan memakai senapan mesin misalnya. Akhirnya kami putuskan untuk kembali kerumah pak Aly. Disana beliau sudah menunggu di ruangan tempat kami tertidur semalam bersama temannya.

Sebuah ritual adat unik kami alami saat itu juga. Setiap lebaran Haji di pagi hari, masing-masing keluarga akan membuat sesajen dalam wadah nampan bundar besar berisi roti-rotian, botol minuman ringan, beberapa buah (kebanyakan pisang), nasi dan sate beberapa tusuk. Kadang-kadang diselipkan dupa terbakar di sisinya. Kemudian sesajen-sesajen di bawa ke seseorang yang bertugas mengirimkan doa, yang kali ini adalah pak Aly. Satu persatu kami mengirim doa buat almarhum keluarga yang di wakili sesajen tersebut. Dan sesajenpun terus berdatangan dari pihak keluarga yang lain. Tentunya di selingi obrolan kami dengan pak Aly ketika ada waktu senggang.

Waktu menunjukkan hampir pukul 09.00, ketika tiba-tiba terdengar bunyi musik dangdut keras dari arah gang depan rumah. Kami langsung berhamburan keluar untuk menyaksikan sebuah atraksi budaya bernama “Gendrang”. Ini adalah adat penduduk pulau Mandangin setiap Idul Adha tiba. Dimana terdapat arak-arakan manusia banyak sekali berjalan mengelilingi kampung sambil berkaraoke ria (yang kebanyakan adalah lagu dangdut) dengan peralatan berupa kendang, seruling dan sebuah speaker Toa besar di atas sepeda onthel. Mereka berjalan mengelilingi kampung, ada banyak pemuda mengiringi, anak-anak kecilpun tak ketinggalan, juga sebagian wanita tua pulau yang hanya menyaksikan dari depan rumah mereka. Hingga gang-gang sempit penuh sesak manusia mengiringi arak-arakan Gendrang. Sebuah perayaan “Hari Raya” ala pulau Mandangin.

Usai menikmati iring-iringan Gendrang, kami segera beranjak untuk memulai aktifitas Island Hopping yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Perjalanan di mulai dari area batu karang Chandin. Disana sudah terlihat air mulai pasang, yang menandakan perfect timing buat menikmati pantai dan berenang sepuasnya. Puas berfoto ria di batu Chandin, kami beranjak menyusuri pantai selatan pulau Mandangin. Di perjalanan kami menemui banyak pohon gersang tanpa daun, pohon-pohon tersebut membuat suasana pulau semakin eksotis, dengan cabang-cabangnya yang terlihat seperti pohon kering di depan rumah-rumah hantu. Tak lupa kami menjadikan spot di beberapa tempat dengan pohon-pohon tersebut untuk berfoto. Menurut Eko, itu adalah pohon Minastirith, sebuah pohon di filem Lord of Dering (LOTR) yang kering tanpa daun berwarna putih dan berlokasi di depan gerbang Istana di filem tersebut. Minastirith berarti “Tree of Kings” atau Pohon para Raja.

Lurus kami berjalan menyisir pantai berpasir putih bersih selatan pulau, dengan pasir halusnya, sehalus tepung terigu di dapur. Airnya berwarna biru tosca, dengan kilau pantulan cahaya matahari yang begitu cerahnya, sempat menyihir kami untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan berfoto ria. Ombaknya pun tak sebesar di pantai-pantai selatan pulau Jawa, hanya deburan kecil berkejaran kesana kemari bertabur buih bercampur pasir halus. Tak sabar rasanya segera melepas baju dan berenang kedalamnya.

Obyek menarik pertama di pantai tersebut adalah, seorang bapak bertopi bundar berkaos singlet sedang memandikan anak kambingnya, moment yang menggelikan ketika si anak kambing hanya meng-embek tanpa daya di mandikan bapak tadi. Peralatan mandipun terlihat lengkap, tampak sebuah ember berisi air sabun dan sikat untuk menyikat bulu-bulu anak kambing. Selesai disikat dengan sabun, anak kambingpun di ceburkan ke pinggir laut guna membasuhnya dari busa sabun, terlihat putih dan bersih bulu-bulu anak kambingnya.

Kemudian terlihat beberapa perahu kano kecil berwarna-warni yang sedang di jemur di pinggir pantai. Menambah keindahan suasana pantai. Warna-warni laut, putihnya pasir, dan perahu-perahu kecil berjajar, serasa seperti di gambar kartu pos - kartu pos wisata pulau yang sering kita jumpai di tempat - tempat wisata di luar negeri.

Terkadang warna laut berubah menjadi hijau bening di sebagian tempat yang lain, di selang-selingi perahu nelayan berbagai ukuran dan warna yang tertambat di pinggir laut mengapung kesana kemari. Saya sudah tak sabar bersentuhan dengan air laut bercahaya itu. Segera selepas berfoto ria di pinggir pantai, kami segera mencari perfect spot untuk berenang dan mendirikan tenda, sebenarnya tenda saat itu tidak ada gunanya, hanya menambah warna suasana saja, seolah-olah kami sedang berkemping ria di sebuah pulau terpencil di Indonesia. Tak lupa saya membeber sleeping bag saya untuk sunbath nanti.

Blurr... terdengar keras suara air ketika tubuh saya tercebur kedalamnya. Dingin dan hangat air laut yang hanya setinggi pinggang. Dengan google biru saya menikmati keindahan bawah air yang hanya berupa pasir putih dan ikan-ikan kecil. Serasa berenang sudah jauh, namun kedalaman air laut tak beranjak juga. Hingga kira-kira 500 meter lebih saya berenang ke tengah laut, namun tetap setinggi pinggang, terkadang lutut. Agak ketengah saya menemukan seekor bintang laut seukuran telapak tangan saya, tadinya berwarna putih, namun setelah saya angkat ternyata warna putih tersebut berasal dari pasir yang menempel di permukaan atas binatang tersebut. Mungkin untuk berkamuflase dari serangan predatornya. Dan warna bintang lautpun berubah menjadi corak batik campuran coklat dan putih.

Sedangkan Eko masih sibuk dengan kamera poketnya mengabadikan suasana pantai laut selatan Mandangin. Tak lama kemudian dia menyusul. Ketika itu kami hanya berdua, ditengah air laut yang dangkal begitu luasnya, hanya ada kami berdua yang menikmati segarnya air laut. Tak tampak turis lainnya melakukan aktifitas yang sama di sini, hanya beberapa anak pulau yang sekedar berjalan di pinggiran pantai.

Benar-benar sepi turis pulau ini. Sejenak saya berfikir, sayang kalau potensi wisata sebagus ini tak dapat di jual ke turis-turis asing yang dahaga akan keindahan alam. Terutama keindahan pantai seperti yang ada di Mandangin Island. Karena dengan industri pariwisatalah, masyarakat pulau dapat menambah penghasilannya dari kantong-kantong para turis, entah sebagai tour operatornya, tour guide, pemilik penginapan atau penjual souvenir khas pulau. Sayang seribu sayang, jika keindahan tersebut tak mampu menghasilkan uang bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Sejam lebih saya menikmati birunya air laut, hanya berenang dan berenang. Tak seberapa lama, kami kembali ke bibir pantai. Di situ tampak sebuah perahu kecil mirip kano yang tak dapat kami sia-siakan menjadi obyek foto, dengan masing-masing dari kami di atas tentunya, bergantian.

Usai sudah kegiatan berenang di pantai selatan Mandangin, kini saatnya berjemur sejenak kemudian bersiap-siap melanjutkan perjalanan mengitari pulau sesuai rencana. Di sana sini tampak pohon Minastirith berjajar, saya bayangkan betapa rimbunnya hijau daun di pulau ini ketika musim hujan tiba. Mungkin karena musim kemarau, semua daun di pohon-pohon tersebut meranggas. Musim kemarau seperti Summer-nya orang Indonesia, panas dan kering.

Tampak beberapa kali pekuburan warga yang menjadi tidak asing bagi kami. Kali ini sepertinya pemakaman umum, yang terletak di pesisir pantai selatan pulau. Sebuah pemandangan aneh, pemakaman dengan latar belakang pantai yang indah. Menjadi hilang kesan angker dan ngeri kuburan - kuburan tersebut. Terus kami berjalan melewati pohon-pohon Minastirith dan pemakaman warga hingga sampai di sebuah pohon yang masih terlihat hijau di ujung jalan. “Yes... akhirnya kita sampai juga di ujung barat pulau” ujar saya. Namun ternyata, itu hanya kelokan yang menjorok ke laut dimana di balik kelokan tersebut masih membentang pantai menuju ke barat pulau. Oh My God... ternyata kami baru mencapai bagian tengah pulau.

Urung kami melanjutkan perjalanan mengitari pulau, karena sudah letih dan lapar, sedangkan perjalanan serasa lebih jauh dari perkiraan. Akhirnya kami berjalan menembus bagian tengah pulau menuju ke utara, dimana pemukiman penduduk berada. Sejenak melepas lelah di sebuah kedai kecil pinggir lapangan, kami menikmati es serutan mangga muda, segerrr...

Perjalanan kami lanjutkan kembali ke rumah pak Aly, tentunya kali ini berjalan kaki. Sambil menunggu malam tiba, kami hanya beristirahat di ruangan kecil beralas tikar dengan 2 buah bantal khas seperti kamar-kamar di pondok pesantren dulu. Sore harinya, kami sempatkan melihat Sunset di ujung barat pulau, ketika saya asik membaca buku sang Travel Writer dengan pemandangan sunset, Eko sedang menikmati kegiatan memotretnya dengan anak-anak kecil pulau yang begitu riang menjadi modelnya. Malam hari hanya kami habiskan mengobrol ria dengan pak Aly dan beristirahat karena sudah lelah seharian ber-Island Hopping.

Pagi yang cerah, saatnya persiapan pulang. Walaupun masih sempat mengejar sunrise di batu Chandin, meski telat, kami kembali melanjutkan obrolan hangat dengan Pak Aly tentang berbagai petualangannya semasa lajang dulu sembari menyantap suguhan sarapan pagi dari sang Ibu. Dan ketika jam menunjuk pukul 09.15 pagi, kami berpamitan dengan kedua Ibu anak tersebut sambil saling mendoakan satu sama lain. Dan kamipun meninggalkan pulau tepat pukul 10.00 pagi dengan kapal penumpang menuju pelabuhan Tanglok di Sampang.
[...fin...]

No comments:

Post a Comment

Recent Comments