Sunday, October 27, 2013

   

Perjalanan Singkat di Tasikmalaya



Geliat Pemuda Kota Tasikmalaya

Kota Tasikmalaya, sebuah kota kecil berlokasi di Jawa Barat yang diapit oleh kabupaten Garut di barat dan Ciamis di sebelah timur. Wilayah perbukitan menjadikan kota tersebut cukup sejuk. Jalanan juga lengang, tanpa ada kemacetan yang berarti, hanya mobil-mobil angkot yang banyak seliweran di jalanan kota Tasikmalaya.

Hari itu adalah hari besar buat sahabat SMA saya, dia menikah di hari itu yang kebetulan pernikahannya dilangsungkan di daerah Tasikmalaya, tepatnya di Balai Desa Indihiang. Mempelai istri memang berasal dari Tasikmalaya, itulah kenapa dilangsungkan di sana. Sebagai sahabat, saya di mintanya untuk ikut “iring-iring” ke sana. Tentu permintaan itu tak dapat saya tolak, sekalian juga bisa mengenal kota Tasikmalaya di Jawa Barat. Kebetulan memang belum pernah menginjakkan kaki di sana.

Setelah perjalanan yang sangat panjang ( +18 jam karena bus berjalan cukup lambat dan berhenti berulang-ulang di berbagai tempat) dari Jombang menuju Tasikmalaya, saya segera mengikuti berbagai prosesi pernikahan yang diselenggarakan secara Islam ala Sunda. Mulai dari akad nikah di Masjid hingga resepsi di Balai Desa Indihiang. Ketika menyantap makan di acara resepsi itulah terbesit di pikiran saya untuk memanfaatkan waktu luang sebelum kembali ke Jombang untuk menyambangi kota Tasikmalaya. Saya tahu, bahwa saya hanya punya waktu sekitar 3 jam saja. Namun saya yakin, cukuplah untuk sekedar berjalan-jalan di sekitaran alun-alun kota. Yang membuat sedikit ragu-ragu adalah berapa lama perjalanan dari Indihiang ke alun-alun kota tersebut, lantaran saya buta sama sekali geografi wilayah ini.

Berbekal informasi seadanya dari seorang hansip hajatan teman saya, saya berangkat dengan angkot 05 menuju kota Tasikmalaya. Di jalan saya hanya bisa menikmati pemandangan sekitar. Tampak perbukitan berjajar di sebelah timur jauh, kelihatan asri karena rimbun hutan menutupi punggung perbukitan. Layaknya permadani persia berwarna hijau gelap. Jalanan menuju kota ini terlihat masih bagus, beraspal dan cukup mulus. Tampak berbagai aktivitas manusia Tasikmalaya di kiri kanan jalan yang terlihat dari angkot. Ada yang sibuk berbelanja di pasar, wanita-wanita yang sekedar berjalan dengan menenteng tas, juga para penjaga toko yang sedang menunggu langganan mereka dengan sabar. Sepintas tidak berbeda dengan aktifitas manusia di kota-kota lain di Jawa.

Tiba-tiba sopir angkot menghentikan laju kendaraannya di sebuah pertigaan, dia bilang ke saya kalau mau ke alun-alun kota harus jalan kaki sedikit sambil menunjuk ke arah jalan besar di depan angkot, lantaran dia hendak berbelok kiri saat itu. Tentunya dengan bahasa Sunda yang sama sekali tidak saya mengerti. Hanya kata alun-alun yang tertangkap di indera pendengaran saya dan menyampaikannya ke otak yang mengatakan bahwa saya harus segera turun dari angkot.

Dengan ongkos tiga ribu rupiah saya berhasil sampai di tujuan, waktu tempuh kurang dari setengah jam. Saya melangkahkan kaki menuju arah yang di tunjuk sopir angkot tadi, tanpa mengetahui apa yang ada di depan sana. Tampak di kiri jalan sebuah gereja bertajuk “Gereja Gerakan Pentakosta EBEEN HAEZER”, entah apa itu artinya dua kata terakhir. Mungkin sebuah nama yang mereka temukan di Bible mereka, entah. Langkah saya semakin jauh dari pertigaan tadi, tampak pula sebuah kompleks bangunan yang rimbun dengan pepohonan besar di halamannya, “Mungkin ini kantor walikota Tasikmalaya” pikir saya. Di depan pagar besi tampak seseorang yang menggelar dagangannya dengan rapi, kebanyakan dari barang yang di jual adalah kain-kain bermotif batik untuk pengikat kepala alias “udeng” khas Sunda. Sepintas saya ingin membeli salah satu udeng tersebut untuk buah tangan, namun, dompet tidak mau memberikan uangnya lantaran sudah sangat menipis.

Lurus saya berjalan, kemudian menyeberang ke kanan jalan dimana terdapat banyak mobil dan sepeda motor parkir di pinggiran jalan. Saya sempat mengamati kompleks bangunan yang rindang itu, tampak seram sepertinya kalau malam tiba. Di ujung pagar besi seberang jalan itulah alun-alun kota Tasikmalaya berada. Ternyata alun-alun itu tidak seperti dugaan saya, tampak kecil dan tidak seramai alun-alun kota yang pernah saya kunjungi di Jawa Timur semisal Kediri atau Mojokerto. Yah, ternyata kota Tasikmalaya lebih mirip kota mini nan sederhana. Namun penataan kota cukup indah dan sedap di pandang mata. Lantaran tidak banyak kendaraan motor yang berseliweran di jalanan tengah kota. Beberapa pohon besar juga menghiasi titik-titik sudut kota, menambah kesan sejuk.

Saya terus melangkahkan kaki dengan maksud mengelilingi alun-alun mini tersebut, berharap ada obyek-obyek menarik yang dapat di jumpai di sini. Di pinggiran jalan mudah di jumpai para pedagang yang menjajakan makanan-makanan ringan khas Sunda seperti Cireng, Siomay dan lainnya. Juga berbagai minuman mulai dari es kelapa muda, es sari kedelai hingga soft drink di jual bebas disini. Di salah satu sudut luar alun-alun, tampak berjajar motor para remaja yang sedang asyik hang out dan mengobrol ria, entah apa yang mereka obrolkan saya tidak tahu, karena obrolan tersebut berbahasa Sunda.

Tiba-tiba tampak segerombolan anak muda yang berkumpul di areal dalam alun-alun, sepertinya mereka adalah para pelajar SMA. Jadi teringat sewaktu muda dulu, banyak aktifitas positif yang bisa dilakukan sebelum lulus SMA. Kali ini saya sedang melihat sebuah adegan teater siswa-siswi SMA. Tak menyia-nyiakan momen tersebut, segera saya meloncat pagar dan jepret sana jepret sini. Tanpa memperdulikan sebagian dari penonton yang sedang memperhatikan saya. Mungkin mereka mengira saya seorang turis kesasar. Sandiwara yang di mainkan oleh anak-anak muda tersebut terlihat apik, hanya saja, tetap saya tidak mengerti karena lagi-lagi berbahasa SUNDA.

Puas mengabadikan moment, saya mendatangi salah seorang yang sedang asyik duduk di tembok alun-alun. Azam namanya, kami berkenalan dan mulai ngobrol tentang kegiatan para muda-mudi tersebut. Dia berasal dari SMA 9 kota Tasikmalaya, dia dan teman-temannya memang aktif dalam kegiatan teater di sekolahnya. Kegiatan yang sedang kami tonton tersebut ternyata sebuah ujian atau masa orientasi bagi para anggota baru teater. Ternyata tidak semuanya berasal dari SMA 9, ada juga dari SMA-SMA yang lain yang ikut nimbrung disini. Acara seperti teater outdoor ini rutin di selenggarakan oleh mereka, kumpulan dari teater-teater SMA di Tasikmalaya. Kadang sebulan sekali, dua kali atau berkali-kali sesuai moment maupun even yang ada. Yang jelas pasti tetap diadakan.

Sungguh kreatif anak-anak muda jaman sekarang, pikir saya. Azam bercerita tentang isi cerita yang sedang kami tonton itu. Suatu ketika ada seorang lelaki kaya raya yang memiliki seorang istri, tiba-tiba sang istri berkeinginan untuk jalan-jalan ke Eropa, Paris tepatnya. Ditemani oleh seorang, entah pembantu entah kawannya, yang jelas mereka berdua bergelagat sok Borjuis dan centil. Sang lelaki kaya inipun tidak memperdulikan rencana si istri, hingga tiba-tiba di suatu jalanan dia berpapasan dengan seorang wanita dengan membawa keresek berisi barang belanja, mereka saling pandang dan akhirnya terjadi tabrakan antara tubuh keduanya hingga keresek tersebut terjatuh. Seperti adegan iklan parfum jaman dulu “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda...”. Menggelikan dan lucu ketika adegan itu berlangsung.

Sesaat kemudian mereka berdua saling berkenalan dan saling tertarik satu sama lain. Tak di sangka ternyata si wanita tersebut adalah istri dari seorang tukang becak. Ketika mereka saling bertemu itulah beberapa teman dari si wanita memergoki. Dan di ceritakannya pertemuan tersebut kepada suami si wanita yang bernama “Oneng” tadi. Si suami marah besar lantaran cemburu hingga membuat si Oneng frustasi dan akhirnya bunuh diri. Sesaat kemudian, sang lelaki kaya segera mencari pujaan hati barunya, tapi yang didapat adalah sesosok wanita yang di cintainya sudah tak bernyawa, iapun akhirnya bunuh diri karena tak kuat dengan apa yang dilihatnya.

Tiba-tiba datang si Istri orang kaya tersebut dari perjalanannya di Eropa, di carinya sang suami hingga ketemu hanya mayatnya saja. Diapun menangis tidak karuan, di dekat si mayat suami di jumpai pula seorang wanita yang sudah mati, datanglah si tukang becak. Melihat istrinya sudah tak bernyawa dia langsung menumpahkan kemarahan pada apapun yang dilihatnya. Termasuk pada istri dan teman si kaya tadi hingga di bunuhnya kedua orang tersebut dengan pisau. Melihat banyak mayat di sekitarnya, si tukang becakpun akhirnya bunuh diri, end of story.

Kagum bercampur geli saya melihat adegan demi adegan berbahasa Sunda tersebut. Tak di nyana, teman-teman semuda ini begitu kreatif dalam beraktifitas. Azam juga bilang kalau nanti akan dipilih siapa-siapa penampil pria dan wanita terbaik dari berbagai penampilan teater tersebut. Sayangnya, dikarenakan miskomunikasi antara panitia, sehingga undangan tidak tersebar secara luas dan hanya 2 hari pula mereka mempersiapkan acara ini. Begitu juga dengan para pemainnya, mereka hanya punya waktu 2 hari untuk menghafal dan berlatih skenario yang sedari tadi saya saksikan. “Wow... cuman 2 hari, hebat banget” kata saya.

Cukup saya berasyik ria dengan teman-teman pelajar SMA tersebut, segera saya melanjutkan perjalanan. Tujuan kali ini, tentunya Masjid Agung yang seharusnya berdekatan dengan alun-alun kota. Sekalian menunaikan sholat dhuhur. Salah satu destinasi wajib ketika menyambangi sebuah kota bagi saya adalah Masjid Agungnya, karena masing-masing kota memiliki Masjid Agung yang khas dan pastinya berada di tengah-tengah kota tersebut. Perjalanan saya tempuh sekitar kurang lebih 500 meter dari alun-alun kota, karena posisi masjid tidak tepat berada di seberang jalan alun-alun seperti yang biasa di jumpai di kota-kota lain.

Jalanan lebar menuju ke Masjid cukup lengang, hanya angkot yang ramai berseliweran. Saya hanya berjalan mengikuti petunjuk si Azam saja. Hingga di sebuah perempatan, masjid dengan kubah berwarna emas tersebut sudah mulai tampak, hanya saja lokasinya berada di seberang jalan, yang mengharuskan saya untuk menyeberang jalan tersebut. Tidak seperti masjid-masjid lain di Indonesia yang bergaya Timur Tengah, masjid Agung KotaTasikmalaya ini menurut saya bergaya bangunan kolonial, namun dengan variasi di sana-sini tentunya. Kesan kolonial tersebut tampak jelas dari dinding luar masjid yang hanya berupa tembok putih tinggi dengan lubang-lubang tegak berjajar dari depan ke belakang. Bebearapa kubah yang berada di atap masjidpun tidak berbentuk kubah gelembung seperti pada umumnya, namun berbentuk piramid persegi delapan. Begitu juga dengan menaranya, lokasi 4 menara masjid tidaklah di luar bangunan masjid, tetapi menyembul di empat penjuru atap masjid. Unik dan khas penampakan masjid tersebut.

Halaman masjid cukup luas mengitari sekeliling bangunan masjid, pelataran depan di tumbuhi pohon-pohon kurma berjajar, seolah-olah menimbulkan kesan timur tengah. Keindahan masjid Agung kota Tasikmalaya tidak berhenti di luar saja, ketika memasuki areal sholat masjid, tampak begitu megah. Atap plafon dari kayu jati berwarna coklat tua menghiasai langit-langit masjid, berjajar dan membentuk sebuah piramid dengan kubah persegi delapan di tengah-tengah. Menara yang terlihat menyembul tadi, ternyata masih tembus hingga ke dalam. Ke empat kaki menara tersebut terlihat begitu gagahnya menyangga atap bangunan masjid dengan kulit keramik berwarna coklat. Memang, warna coklat begitu mendominasi interior masjid. Tak lupa sebuah lampu gantung raksasa berbentuk bintang persegi delapan bertumpuk-tumpuk menghiasi bagian tengah masjid.

Di kiri kanan mimbar terpampang sebuah kaligrafi besar bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad, begitu juga di sekeliling area mimbar yang membentuk sebuah persegi panjang berdiri tersebut dengan bagian tengah berlubang, sebagaimana di masjid-masjid lain, terdapat tulisan kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an.

Segera saya menunaikan sholat Dhuhur, dan bergegas untuk kembali ke Indihiang, saya sempatkan sebentar untuk memotret penampakan masjid dari arah depan. Perjalanan saya lalui dengan menggunakan angkot yang sama menuju Indihiang dimana kawinan teman saya di langsungkan. Ternyata waktu yang saya habiskan di kota Tasikmalaya tak lebih dari 2 jam. Artinya masih ada sekitar 1 jam sebelum keberangkatan pulang, saya putuskan untuk mencari minimarket terdekat guna membeli bekal air perjalanan panjang, syukurlah saya menemukan kedai es Kelapa Muda di pinggir jalan. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, saya membeli segelas es favorit saya itu. Ternyata segerrr... saya order satu bungkus lagi untuk di bawa di perjalanan panjang kelak, semoga perjalanan pulang tak sepanjang perjalanan berangkatnya.

[...fin...]

No comments:

Post a Comment

Recent Comments