Geliat
Pemuda Kota Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya, sebuah kota
kecil berlokasi di Jawa Barat yang diapit oleh kabupaten Garut di barat dan
Ciamis di sebelah timur. Wilayah perbukitan menjadikan kota tersebut cukup
sejuk. Jalanan juga lengang, tanpa ada kemacetan yang berarti, hanya
mobil-mobil angkot yang banyak seliweran di jalanan kota Tasikmalaya.
Hari itu adalah hari besar
buat sahabat SMA saya, dia menikah di hari itu yang kebetulan pernikahannya
dilangsungkan di daerah Tasikmalaya, tepatnya di Balai Desa Indihiang. Mempelai
istri memang berasal dari Tasikmalaya, itulah kenapa dilangsungkan di sana.
Sebagai sahabat, saya di mintanya untuk ikut “iring-iring” ke sana. Tentu permintaan itu tak dapat saya tolak,
sekalian juga bisa mengenal kota Tasikmalaya di Jawa Barat. Kebetulan memang
belum pernah menginjakkan kaki di sana.
Setelah perjalanan yang sangat
panjang ( +18 jam karena bus berjalan cukup lambat dan berhenti
berulang-ulang di berbagai tempat) dari Jombang menuju Tasikmalaya, saya segera
mengikuti berbagai prosesi pernikahan yang diselenggarakan secara Islam ala
Sunda. Mulai dari akad nikah di Masjid hingga resepsi di Balai Desa Indihiang. Ketika
menyantap makan di acara resepsi itulah terbesit di pikiran saya untuk
memanfaatkan waktu luang sebelum kembali ke Jombang untuk menyambangi kota
Tasikmalaya. Saya tahu, bahwa saya hanya punya waktu sekitar 3 jam saja. Namun
saya yakin, cukuplah untuk sekedar berjalan-jalan di sekitaran alun-alun kota.
Yang membuat sedikit ragu-ragu adalah berapa lama perjalanan dari Indihiang ke
alun-alun kota tersebut, lantaran saya buta sama sekali geografi wilayah ini.
Berbekal informasi seadanya
dari seorang hansip hajatan teman saya, saya berangkat dengan angkot 05 menuju
kota Tasikmalaya. Di jalan saya hanya bisa menikmati pemandangan sekitar.
Tampak perbukitan berjajar di sebelah timur jauh, kelihatan asri karena rimbun
hutan menutupi punggung perbukitan. Layaknya permadani persia berwarna hijau
gelap. Jalanan menuju kota ini terlihat masih bagus, beraspal dan cukup mulus.
Tampak berbagai aktivitas manusia Tasikmalaya di kiri kanan jalan yang terlihat
dari angkot. Ada yang sibuk berbelanja di pasar, wanita-wanita yang sekedar
berjalan dengan menenteng tas, juga para penjaga toko yang sedang menunggu
langganan mereka dengan sabar. Sepintas tidak berbeda dengan aktifitas manusia
di kota-kota lain di Jawa.
Tiba-tiba sopir angkot
menghentikan laju kendaraannya di sebuah pertigaan, dia bilang ke saya kalau
mau ke alun-alun kota harus jalan kaki sedikit sambil menunjuk ke arah jalan
besar di depan angkot, lantaran dia hendak berbelok kiri saat itu. Tentunya
dengan bahasa Sunda yang sama sekali tidak saya mengerti. Hanya kata alun-alun
yang tertangkap di indera pendengaran saya dan menyampaikannya ke otak yang
mengatakan bahwa saya harus segera turun dari angkot.
Dengan ongkos tiga ribu rupiah
saya berhasil sampai di tujuan, waktu tempuh kurang dari setengah jam.
Saya melangkahkan kaki menuju arah yang di tunjuk sopir angkot tadi, tanpa
mengetahui apa yang ada di depan sana. Tampak di kiri jalan sebuah gereja
bertajuk “Gereja Gerakan Pentakosta EBEEN HAEZER”, entah apa itu artinya dua
kata terakhir. Mungkin sebuah nama yang mereka temukan di Bible mereka, entah.
Langkah saya semakin jauh dari pertigaan tadi, tampak pula sebuah kompleks
bangunan yang rimbun dengan pepohonan besar di halamannya, “Mungkin ini kantor
walikota Tasikmalaya” pikir saya. Di depan pagar besi tampak seseorang yang
menggelar dagangannya dengan rapi, kebanyakan dari barang yang di jual adalah
kain-kain bermotif batik untuk pengikat kepala alias “udeng” khas Sunda. Sepintas saya ingin membeli salah satu udeng
tersebut untuk buah tangan, namun, dompet tidak mau memberikan uangnya lantaran
sudah sangat menipis.
Lurus saya berjalan, kemudian
menyeberang ke kanan jalan dimana terdapat banyak mobil dan sepeda motor parkir
di pinggiran jalan. Saya sempat mengamati kompleks bangunan yang rindang itu,
tampak seram sepertinya kalau malam tiba. Di ujung pagar besi seberang jalan
itulah alun-alun kota Tasikmalaya berada. Ternyata alun-alun itu tidak seperti
dugaan saya, tampak kecil dan tidak seramai alun-alun kota yang pernah saya
kunjungi di Jawa Timur semisal Kediri atau Mojokerto. Yah, ternyata kota
Tasikmalaya lebih mirip kota mini nan sederhana. Namun penataan kota cukup
indah dan sedap di pandang mata. Lantaran tidak banyak kendaraan motor yang
berseliweran di jalanan tengah kota. Beberapa pohon besar juga menghiasi titik-titik
sudut kota, menambah kesan sejuk.
Saya terus melangkahkan kaki
dengan maksud mengelilingi alun-alun mini tersebut, berharap ada obyek-obyek
menarik yang dapat di jumpai di sini. Di pinggiran jalan mudah di jumpai para
pedagang yang menjajakan makanan-makanan ringan khas Sunda seperti Cireng,
Siomay dan lainnya. Juga berbagai minuman mulai dari es kelapa muda, es sari
kedelai hingga soft drink di jual bebas disini. Di salah satu sudut luar
alun-alun, tampak berjajar motor para remaja yang sedang asyik hang out dan
mengobrol ria, entah apa yang mereka obrolkan saya tidak tahu, karena obrolan
tersebut berbahasa Sunda.
Tiba-tiba tampak segerombolan
anak muda yang berkumpul di areal dalam alun-alun, sepertinya mereka adalah
para pelajar SMA. Jadi teringat sewaktu muda dulu, banyak aktifitas positif
yang bisa dilakukan sebelum lulus SMA. Kali ini saya sedang melihat sebuah
adegan teater siswa-siswi SMA. Tak menyia-nyiakan momen tersebut, segera saya
meloncat pagar dan jepret sana jepret sini. Tanpa memperdulikan sebagian dari
penonton yang sedang memperhatikan saya. Mungkin mereka mengira saya seorang
turis kesasar. Sandiwara yang di mainkan oleh anak-anak muda tersebut terlihat
apik, hanya saja, tetap saya tidak mengerti karena lagi-lagi berbahasa SUNDA.
Puas mengabadikan moment, saya
mendatangi salah seorang yang sedang asyik duduk di tembok alun-alun. Azam
namanya, kami berkenalan dan mulai ngobrol tentang kegiatan para muda-mudi
tersebut. Dia berasal dari SMA 9 kota Tasikmalaya, dia dan teman-temannya
memang aktif dalam kegiatan teater di sekolahnya. Kegiatan yang sedang kami tonton
tersebut ternyata sebuah ujian atau masa orientasi bagi para anggota baru
teater. Ternyata tidak semuanya berasal dari SMA 9, ada juga dari SMA-SMA yang
lain yang ikut nimbrung disini. Acara seperti teater outdoor ini rutin di
selenggarakan oleh mereka, kumpulan dari teater-teater SMA di Tasikmalaya.
Kadang sebulan sekali, dua kali atau berkali-kali sesuai moment maupun even
yang ada. Yang jelas pasti tetap diadakan.
Sungguh kreatif anak-anak muda
jaman sekarang, pikir saya. Azam bercerita tentang isi cerita yang sedang kami
tonton itu. Suatu ketika ada seorang lelaki kaya raya yang memiliki seorang
istri, tiba-tiba sang istri berkeinginan untuk jalan-jalan ke Eropa, Paris
tepatnya. Ditemani oleh seorang, entah pembantu entah kawannya, yang jelas mereka
berdua bergelagat sok Borjuis dan centil. Sang lelaki kaya inipun tidak
memperdulikan rencana si istri, hingga tiba-tiba di suatu jalanan dia
berpapasan dengan seorang wanita dengan membawa keresek berisi barang belanja,
mereka saling pandang dan akhirnya terjadi tabrakan antara tubuh keduanya
hingga keresek tersebut terjatuh. Seperti adegan iklan parfum jaman dulu “Kesan
pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda...”. Menggelikan dan lucu
ketika adegan itu berlangsung.
Sesaat kemudian mereka berdua
saling berkenalan dan saling tertarik satu sama lain. Tak di sangka ternyata si
wanita tersebut adalah istri dari seorang tukang becak. Ketika mereka saling
bertemu itulah beberapa teman dari si wanita memergoki. Dan di ceritakannya
pertemuan tersebut kepada suami si wanita yang bernama “Oneng” tadi. Si suami
marah besar lantaran cemburu hingga membuat si Oneng frustasi dan akhirnya
bunuh diri. Sesaat kemudian, sang lelaki kaya segera mencari pujaan hati
barunya, tapi yang didapat adalah sesosok wanita yang di cintainya sudah tak
bernyawa, iapun akhirnya bunuh diri karena tak kuat dengan apa yang dilihatnya.
Tiba-tiba datang si Istri
orang kaya tersebut dari perjalanannya di Eropa, di carinya sang suami hingga
ketemu hanya mayatnya saja. Diapun menangis tidak karuan, di dekat si mayat
suami di jumpai pula seorang wanita yang sudah mati, datanglah si tukang becak.
Melihat istrinya sudah tak bernyawa dia langsung menumpahkan kemarahan pada
apapun yang dilihatnya. Termasuk pada istri dan teman si kaya tadi hingga di
bunuhnya kedua orang tersebut dengan pisau. Melihat banyak mayat di sekitarnya,
si tukang becakpun akhirnya bunuh diri, end of story.
Kagum bercampur geli saya
melihat adegan demi adegan berbahasa Sunda tersebut. Tak di nyana, teman-teman
semuda ini begitu kreatif dalam beraktifitas. Azam juga bilang kalau nanti akan
dipilih siapa-siapa penampil pria dan wanita terbaik dari berbagai penampilan
teater tersebut. Sayangnya, dikarenakan miskomunikasi antara panitia, sehingga
undangan tidak tersebar secara luas dan hanya 2 hari pula mereka mempersiapkan
acara ini. Begitu juga dengan para pemainnya, mereka hanya punya waktu 2 hari
untuk menghafal dan berlatih skenario yang sedari tadi saya saksikan. “Wow...
cuman 2 hari, hebat banget” kata saya.
Cukup saya berasyik ria dengan
teman-teman pelajar SMA tersebut, segera saya melanjutkan perjalanan. Tujuan
kali ini, tentunya Masjid Agung yang seharusnya berdekatan dengan alun-alun
kota. Sekalian menunaikan sholat dhuhur. Salah satu destinasi wajib ketika
menyambangi sebuah kota bagi saya adalah Masjid Agungnya, karena masing-masing
kota memiliki Masjid Agung yang khas dan pastinya berada di tengah-tengah kota
tersebut. Perjalanan saya tempuh sekitar kurang lebih 500 meter dari alun-alun
kota, karena posisi masjid tidak tepat berada di seberang jalan alun-alun
seperti yang biasa di jumpai di kota-kota lain.
Jalanan lebar menuju ke Masjid
cukup lengang, hanya angkot yang ramai berseliweran. Saya hanya berjalan
mengikuti petunjuk si Azam saja. Hingga di sebuah perempatan, masjid dengan
kubah berwarna emas tersebut sudah mulai tampak, hanya saja lokasinya berada di
seberang jalan, yang mengharuskan saya untuk menyeberang jalan tersebut. Tidak
seperti masjid-masjid lain di Indonesia yang bergaya Timur Tengah, masjid Agung
KotaTasikmalaya ini menurut saya bergaya bangunan kolonial, namun dengan
variasi di sana-sini tentunya. Kesan kolonial tersebut tampak jelas dari
dinding luar masjid yang hanya berupa tembok putih tinggi dengan lubang-lubang
tegak berjajar dari depan ke belakang. Bebearapa kubah yang berada di atap
masjidpun tidak berbentuk kubah gelembung seperti pada umumnya, namun berbentuk
piramid persegi delapan. Begitu juga dengan menaranya, lokasi 4 menara masjid
tidaklah di luar bangunan masjid, tetapi menyembul di empat penjuru atap
masjid. Unik dan khas penampakan masjid tersebut.
Halaman masjid cukup luas
mengitari sekeliling bangunan masjid, pelataran depan di tumbuhi pohon-pohon
kurma berjajar, seolah-olah menimbulkan kesan timur tengah. Keindahan masjid
Agung kota Tasikmalaya tidak berhenti di luar saja, ketika memasuki areal
sholat masjid, tampak begitu megah. Atap plafon dari kayu jati berwarna coklat
tua menghiasai langit-langit masjid, berjajar dan membentuk sebuah piramid
dengan kubah persegi delapan di tengah-tengah. Menara yang terlihat menyembul
tadi, ternyata masih tembus hingga ke dalam. Ke empat kaki menara tersebut
terlihat begitu gagahnya menyangga atap bangunan masjid dengan kulit keramik berwarna coklat. Memang, warna coklat begitu mendominasi interior
masjid. Tak lupa sebuah lampu gantung raksasa berbentuk bintang persegi delapan
bertumpuk-tumpuk menghiasi bagian tengah masjid.
Di kiri kanan mimbar
terpampang sebuah kaligrafi besar bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad, begitu
juga di sekeliling area mimbar yang membentuk sebuah persegi panjang berdiri
tersebut dengan bagian tengah berlubang, sebagaimana di masjid-masjid lain,
terdapat tulisan kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an.
Segera saya menunaikan sholat
Dhuhur, dan bergegas untuk kembali ke Indihiang, saya sempatkan sebentar untuk
memotret penampakan masjid dari arah depan. Perjalanan saya lalui dengan
menggunakan angkot yang sama menuju Indihiang dimana kawinan teman saya di
langsungkan. Ternyata waktu yang saya habiskan di kota Tasikmalaya tak lebih
dari 2 jam. Artinya masih ada sekitar 1 jam sebelum keberangkatan pulang, saya
putuskan untuk mencari minimarket terdekat guna membeli bekal air perjalanan
panjang, syukurlah saya menemukan kedai es Kelapa Muda di pinggir jalan. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan, saya membeli segelas es favorit saya itu. Ternyata
segerrr... saya order satu bungkus lagi untuk di bawa di perjalanan panjang
kelak, semoga perjalanan pulang tak sepanjang perjalanan berangkatnya.
[...fin...]
No comments:
Post a Comment