Monday, November 4, 2013

   

Mandangin Fun Camping



Mandangin Island Fun Camping

Keramahan penduduk Pulau Mandangin adalah modal awal bagi terciptanya sebuah destinasi layak kunjung di pulau kecil selatan Kabupaten Sampang ini, disamping keindahan pantai yang ada tentunya. Penduduk di sini adalah orang-orang Madura, dengan bahasa Madura yang khas, yang bagi sebagian besar orang Jawa merupakan bahasa asing. Dengan keramahan inilah saya rasa Mandangin dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata yang wajib di kunjungi para traveler dari berbagai belahan bumi. Begitu pula para traveler lokal yang sepertinya sangat haus akan tempat-tempat terpencil yang belum “terjamah”. Karena di tempat-tempat itulah mereka dapat merasakan sensasi tersendiri. Jika berkunjung ke destinasi wisata yang sudah terkenal, maka yang di dapat hanya itu-itu saja. Tapi untuk destinasi terpencil, cerita dan pengalaman unik pasti akan di dapat para traveler, mulai dari bentang alam yang indah, budaya asli masyarakat sekitar hingga makanan yang terkadang terasa aneh di lidah.

Seperti makanan rujak khas orang Madura yang sempat saya cicipi di Pulau Mandangin. Di sini rujaknya terasa asin namun tetap nikmat. Jangan salah, rasa asin itu bukanlah berasal dari air laut sekitar pulau. Tapi mungkin dari olahan petis yang terbuat dari ikan. Ya, rujak disini berbahan dasar 2 petis yang berbeda. Satu petis udang seperti pada umumnya, satu lagi petis ikan yang terlihat seperti gulali berwarna kecoklatan. Perbedaan lain rujak disini dari rujak pada umumnya adalah penggunaan lontong yang, bagi saya, terlalu banyak. Lontongnyapun tak terbungkus daun pisang, tapi dalam kantong plastik bening besar-besar. Ketika saya bertanya kenapa tanpa daun pisang, ternyata keterbatasan daun pisang menjadi alasan utamanya di samping harganya yang mahal. Di sini sama sekali tidak tampak pohon pisang. Sehingga daun pisang harus di impor dari Sampang di pulau Madura.

Kelezatan lain yang saya temukan adalah ketika kami di suguhi makanan berupa ikan bakar oleh tuan rumah. Saya sendiri tidak tahu itu dari jenis ikan apa. Yang saya tahu adalah ikan tersebut memiliki sisik berwarna keperakan dan bermulut lebar seperti penduduk Bikini Bottom. Walau tanpa bumbu apapun, hidangan ikan bakar tetap terasa lezat. Daging ikannya begitu lembut ketika di kunyah. Tak ketinggalan rasa gurih yang mendominasi. Di tambah sambal kecap yang membikin lidah semakin bergoyang.

Ini adalah perjalanan saya kali kedua di pulau Mandangin. Walaupun destinasi sama, namun pengalaman yang di dapat benar-benar berbeda. Saya merasa lebih dekat lagi dengan pulau eksotis ini. Merasa lebih mengenal masyarakatnya, makanannya, hingga alamnya yang masih elok di sebelah selatan pulau. Saya dan teman-teman berjumlah 6 orang menyambangi pulau “Kambing” ini pada awal November 2013. Kebetulan waktu itu libur panjang. Sedari awal kami sudah mempersiapkan sebuah liburan semi petualangan. Kenapa “semi”, karena kami hanya sehari bermalam di tenda.

Berawal dari kedatangan kami berempat sore itu. Sedangkan Eko dan Dita sudah duluan datang di siang harinya. Lantaran mereka wajib pulang di hari kedua. Namun akhirnya hanya Eko yang pulang. Perut yang sudah terasa lapar membuat kami berjalan sedikit cepat ke persinggahan di kampung timur pulau. Tuan rumah adalah saudari pak Aly, orang yang menampung saya pada trip pertama. Jarak antara Dermaga pulau di Barat ke rumah saudari pak Aly di Timur lumayan jauh. Tapi rasa lapar membuatnya bukan masalah bagi kami. Menyusuri gang-gang sempit khas pulau Mandangin, beberapa kali berpapasan dengan segerombolan kambing, kami berjalan gontai tak karuan. Diselingi canda khas antara saya, Dadan dan Bebek, kami berjalan di lorong-lorong yang terkadang terlihat gelap itu. Tas Backpack yang terasa berat membuat kami harus berusaha ekstra untuk mencapai kediaman tuan rumah di timur pulau. Beberapa kali pula kami menemui makam-makam warga yang berlokasi di pinggiran gang sempit.

Ketika itu saya terpaksa menggunakan insting dan memori bawah sadar, karena memang tidak begitu ingat jalanan menuju lokasi rumah pak Aly. Hanya serpihan memori di otak yang menuntun kami bertiga menyusuri lorong-lorong sempit pulau. Sedangkan Indah sudah duluan di bonceng Eko dari dermaga dengan beberapa tas besar kami. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman ibunda pak Aly.

Ternyata di sana sudah menunggu, selain tiga orang teman kami, juga beberapa hidangan pisang goreng serta teh dan kopi. Segera, tanpa berfikir panjang kami melahap hidangan tersebut. Tak lama menyusul pula hidangan makan malam dari tuan rumah kami. Serasa di surga, perut yang sedari tadi menangis meronta-ronta, kini dapat tersenyum lega, tertawa lepas bahkan.

Usai mengisi perut, segera kami berpamitan pada tuan rumah, karena kami hendak ke selatan pulau untuk bermalam dengan mendirikan tenda. Kali ini perjalanan lebih seram lagi. Selepas melewati lorong-lorong sempit perumahan penduduk, kami di sambut gelapnya malam dengan pepohonan tanpa daun khas filem hantu. Topografi menuju selatan pulau sedikit berbukit, hanya bintang-bintang di langit yang menunjukkan arah kemana kami harus pergi. Setelah menuruni bukit, kami di sambut jalanan setapak, di mana di kiri kanan jalan tampak pekuburan warga yang saling terpencar berserak tak beraturan. Agak jauh di depan sudah terdengar deburan ombak laut yang sudah mulai pasang. Hanya lampu yang kami bawa sebagai satu-satunya sumber penerangan, selain itu hanya kegelapan yang ada.

Kami semua teringat filem-filem horor tentang sekumpulan pemuda yang mengunjungi sebuah pulau berhantu. Pertama-tama pastilah scene tentang anak muda yang ketawa-ketiwi baru tiba di sebuah pulau. Kemudian malamnya mulai terjadi hal-hal yang aneh. Mulai dari menghilangnya salah satu teman yang sedang mencari kayu bakar atau sedang pipis. Kemudian satu persatu kawanan tersebut menghilang, yang akhirnya ketemu mayatnya saja di pedalaman pulau. Hingga kejadian-kejadian seram lainnya yang hanya menyisakan salah satu atau dua orang yang masih hidup dan kabur dari pulau hantu itu. Untungnya dari semua scene tersebut, hanya scene pertama yang menjadi kenyataan. Itulah tema obrolan kami di perjalanan yang di selimuti kegelapan malam.

Tak lama waktu yang kami butuhkan untuk mencari spot dan membangun tenda, walaupun hanya bintang dan semilir angin yang menemani, tak membuat kami merasa asing di pulau asing ini. Api unggun dan bakar sate seafood adalah kegiatan utama kami malam itu. Sungguh pengalaman yang mengasyikkan, seperti benar-benar sedang berkemah di pulau tak bertuan. Karena hanya ada kami dan deburan ombak di pantai. Walaupun perut sudah terisi penuh oleh hidangan tadi sore, tak menghentikan kami untuk melahap sate kerang dan cumi-cumi bakar yang sudah kami siapkan sedari awal. Walaupun hanya berbumbu kecap manis. Bukanlah rasa yang terpenting, namun sensasi yang ada yang dapat membangkitkan gairah kami untuk bertualang seperti ini. Malam masih panjang, dan kegiatan malam itu kami tutup dengan berfoto ria serta minum kopi dan sleepwell tea yang saya bawa, biar nanti sleepnya benar-benar well.

Pagi menjelang saat langit mulai berwarna biru gelap, kami terbangun dan tanpa sadar segera menuju ke pantai untuk menyambangi Sunrise. Benar juga, kali ini sunrise begitu mewah, saya yang sedari tadi berjalan ke tengah lautan yang sedang surut, tiba-tiba di suguhi pemandangan matahari terbit yang benar-benar indah. Nun jauh di ujung laut tampak seberkas cahaya yang lama-kelamaan membentuk bulatan sempurna berwarna oranye menyala. Dari hanya setitik cahaya tepat di atas horizon, matahari dengan begitu cepatnya menyembul ke atas dan segera meninggalkan lautan yang sedari tadi membenamkannya. Warna langit di sekitarnyapun seakan tak mau kalah dengan keindahaan sang empu cahaya dan warna, mentari pagi.

Pagi itu kami di sambangi banyak anak pulau yang kira-kira seumuran bocah SD antara kelas 3 hingga kelas 6, salah seorang di antaranya adalah perempuan. Mereka terlihat begitu penasaran dengan apa yang kami lakukan dan apa yang kami punya. Tak heran, mungkin di antara bocah-bocah ini, ada beberapa yang belum pernah meninggalkan pulau Mandangin. Kami bercanda satu sama lain, dan seperti biasa, berfoto ria dengan para Islander Kids (anak pulau) ini. Hingga pasang tiba, segera saya dengan yang lainnya menuju ke laut untuk bermain air, di temani anak-anak pulau Mandangin.

Laut yang tadinya berupa pasir dan remah-remah koral tanpa air, kini dipenuhi air asin berwarna hijau bening. Semakin lama semakin tinggi permukaan air di pantai selatan pulau ini. Bukanlah waktu yang tepat bagi saya saat itu untuk termenung dan memikirkan segala permasalahan hidup. Tapi berenang dan membenamkan diri di lautlah yang memenuhi otak saya. Beramai-ramai kami berenang di laut yang hanya setinggi pinggang itu. Warna laut yang hijau kebiruan membius semua orang di pantai untuk segera menceburkan diri. Kilatan dan pantulan cahaya matahari hanya menambah keindahan laut selatan pulau Mandangin.

Saya yang tadi menemukan spot agak jauh dari bibir pantai dan melihat sisa-sisa karang hidup di laut, segera menuju kesana lagi untuk menikmatinya dengan lebih seksama. Namun karena merasa sendirian dan dipenuhi ketakutan-ketakutan tak beralasan, segera saya kembali ke tepian bersama teman-teman yang lain. Namun Eko telah pergi menjauh dengan anak-anak pulau menuju spot yang saya ingin jelajahi tadi dengan menggunakan perahu kecil. Saya dan Dita segera menyusul ke spot yang sama. Disana air terlihat jauh lebih jernih di banding yang di dekat bibir pantai. Ikan-ikanpun jauh lebih banyak dan bervariasi. Hingga dahaga akan pemandangan bawah air terpuaskan. Kami bergiliran menggunakan 2 google yang kami bawa, antara saya, Eko dan Dita dengan anak-anak pulau yang membawa kami ke spot ini.

Kali ini benar-benar pengalaman yang tak terlupakan, jernihnya air, sisa-sisa koral yang masih bertahan dan ikan-ikan warna-warni benar-benar membuat perasaan saya melayang tak karuan. Ombak yang banyak menghantam kamipun seperti bukan musuh sama sekali. Malah membuat sensasi di otak bertambah menyenangkan. Mataharipun tak ketinggalan, seolah tak mau kalah dalam membuat suasana semakin indah. Pantulan cahayanya menciptakan kilatan-kilatan di dalam air yang berlarian kesana-kemari. Membuat suasana underwater semakin meriah. Ini adalah moment yang sangat menakjubkan.

Puas rasanya menikmati pantai selatan pulau Mandangin. Tapi satu hal yang sedikit mengganggu, disini banyak di temui ubur-ubur kecil seukuran bola pimpong melayang kesana-kemari. Di tengahnya terdapat warna keunguan melingkar dengan tentakel-tentakelnya yang menjulur panjang. Saya dan beberapa teman sempat tersengat. Rasa sengatan tersebut layaknya tertusuk benda tajam seperti jarum di beberapa titik. Saya malah tersengat 2 kali, di tangan dan di area perut. Panas dan nyeri segera menyelimuti area sengatan. Namun tak lama rasa sakit sengatan tersebut segera hilang tanpa meninggalkan bekas, tidak lebih dari 15 menit. Hanya sengatan di tangan Indah yang meninggalkan bekas melingkar berwarna ungu.

Terik mentari sudah mulai menyengat, kami bersiap-siap untuk membongkar tenda dan membersihkan area camping dari sampah semalam. Saatnya untuk kembali di rumah singgah dan menikmati hidangan makan siang. Sebelum kesana, kami sempatkan untuk menyusuri pantai ke arah timur menuju sebuah batu karang besar bernama Chandin. Tak lupa kami berfoto ria di beberapa spot pantai dan batu Chandin, minus Eko tentunya, karena dia sudah meninggalkan pulau dari jam 10.00 tadi.

Malam kedua kami habiskan di rumah singgah, sorenya kami berjalan-jalan menyusuri kampung di pulau Mandangin, makan rujak dan beramah tamah dengan sebagian penduduk. Saya sempat bertemu dengan Dedi, seorang anak Mandangin yang pernah bertemu di trip sebelumnya. Kami menghabiskan petang di dermaga pulau. Dan keesokan harinya segera pulang menuju Surabaya dengan kapal penumpang yang berangkat jam 06.00 pagi. Perjalanan kali ini benar-benar luar biasa, banyak hal baru yang saya dapati yang menurut saya “worth telling” atau layak untuk di ceritakan. Semoga Pulau Mandangin ke depan dapat menjadi sebuah destinasi wisata wajib di daftar destinasi para traveler dunia.

[...fin...]

No comments:

Post a Comment

Recent Comments