Mandangin
Island Fun Camping
Keramahan penduduk Pulau
Mandangin adalah modal awal bagi terciptanya sebuah destinasi layak kunjung di
pulau kecil selatan Kabupaten Sampang ini, disamping keindahan pantai yang ada
tentunya. Penduduk di sini adalah orang-orang Madura, dengan bahasa Madura yang
khas, yang bagi sebagian besar orang Jawa merupakan bahasa asing. Dengan
keramahan inilah saya rasa Mandangin dapat dikembangkan menjadi destinasi
wisata yang wajib di kunjungi para traveler dari berbagai belahan bumi. Begitu
pula para traveler lokal yang sepertinya sangat haus akan tempat-tempat
terpencil yang belum “terjamah”. Karena di tempat-tempat itulah mereka dapat
merasakan sensasi tersendiri. Jika berkunjung ke destinasi wisata yang sudah
terkenal, maka yang di dapat hanya itu-itu saja. Tapi untuk destinasi
terpencil, cerita dan pengalaman unik pasti akan di dapat para traveler, mulai
dari bentang alam yang indah, budaya asli masyarakat sekitar hingga makanan
yang terkadang terasa aneh di lidah.
Seperti makanan rujak khas
orang Madura yang sempat saya cicipi di Pulau Mandangin. Di sini rujaknya
terasa asin namun tetap nikmat. Jangan salah, rasa asin itu bukanlah berasal
dari air laut sekitar pulau. Tapi mungkin dari olahan petis yang terbuat dari
ikan. Ya, rujak disini berbahan dasar 2 petis yang berbeda. Satu petis udang
seperti pada umumnya, satu lagi petis ikan yang terlihat seperti gulali
berwarna kecoklatan. Perbedaan lain rujak disini dari rujak pada umumnya adalah
penggunaan lontong yang, bagi saya, terlalu banyak. Lontongnyapun tak
terbungkus daun pisang, tapi dalam kantong plastik bening besar-besar. Ketika
saya bertanya kenapa tanpa daun pisang, ternyata keterbatasan daun pisang menjadi
alasan utamanya di samping harganya yang mahal. Di sini sama sekali tidak
tampak pohon pisang. Sehingga daun pisang harus di impor dari Sampang di pulau
Madura.
Kelezatan lain yang saya
temukan adalah ketika kami di suguhi makanan berupa ikan bakar oleh tuan rumah.
Saya sendiri tidak tahu itu dari jenis ikan apa. Yang saya tahu adalah ikan
tersebut memiliki sisik berwarna keperakan dan bermulut lebar seperti penduduk
Bikini Bottom. Walau tanpa bumbu apapun, hidangan ikan bakar tetap terasa
lezat. Daging ikannya begitu lembut ketika di kunyah. Tak ketinggalan rasa
gurih yang mendominasi. Di tambah sambal kecap yang membikin lidah semakin
bergoyang.
Ini adalah perjalanan saya
kali kedua di pulau Mandangin. Walaupun destinasi sama, namun pengalaman yang
di dapat benar-benar berbeda. Saya merasa lebih dekat lagi dengan pulau eksotis
ini. Merasa lebih mengenal masyarakatnya, makanannya, hingga alamnya yang masih
elok di sebelah selatan pulau. Saya dan teman-teman berjumlah 6 orang
menyambangi pulau “Kambing” ini pada awal November 2013. Kebetulan waktu itu
libur panjang. Sedari awal kami sudah mempersiapkan sebuah liburan semi
petualangan. Kenapa “semi”, karena kami hanya sehari bermalam di tenda.
Berawal dari kedatangan kami
berempat sore itu. Sedangkan Eko dan Dita sudah duluan datang di siang harinya.
Lantaran mereka wajib pulang di hari kedua. Namun akhirnya hanya Eko yang pulang.
Perut yang sudah terasa lapar membuat kami berjalan sedikit cepat ke
persinggahan di kampung timur pulau. Tuan rumah adalah saudari pak Aly, orang
yang menampung saya pada trip pertama. Jarak antara Dermaga pulau di Barat ke
rumah saudari pak Aly di Timur lumayan jauh. Tapi rasa lapar membuatnya bukan
masalah bagi kami. Menyusuri gang-gang sempit khas pulau Mandangin, beberapa
kali berpapasan dengan segerombolan kambing, kami berjalan gontai tak karuan.
Diselingi canda khas antara saya, Dadan dan Bebek, kami berjalan di
lorong-lorong yang terkadang terlihat gelap itu. Tas Backpack yang terasa berat
membuat kami harus berusaha ekstra untuk mencapai kediaman tuan rumah di timur
pulau. Beberapa kali pula kami menemui makam-makam warga yang berlokasi di
pinggiran gang sempit.
Ketika itu saya terpaksa
menggunakan insting dan memori bawah sadar, karena memang tidak begitu ingat
jalanan menuju lokasi rumah pak Aly. Hanya serpihan memori di otak yang menuntun
kami bertiga menyusuri lorong-lorong sempit pulau. Sedangkan Indah sudah duluan
di bonceng Eko dari dermaga dengan beberapa tas besar kami. Hampir setengah jam
berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman ibunda pak Aly.
Ternyata di sana sudah
menunggu, selain tiga orang teman kami, juga beberapa hidangan pisang goreng
serta teh dan kopi. Segera, tanpa berfikir panjang kami melahap hidangan
tersebut. Tak lama menyusul pula hidangan makan malam dari tuan rumah kami.
Serasa di surga, perut yang sedari tadi menangis meronta-ronta, kini dapat
tersenyum lega, tertawa lepas bahkan.
Usai mengisi perut, segera
kami berpamitan pada tuan rumah, karena kami hendak ke selatan pulau untuk
bermalam dengan mendirikan tenda. Kali ini perjalanan lebih seram lagi. Selepas
melewati lorong-lorong sempit perumahan penduduk, kami di sambut gelapnya malam
dengan pepohonan tanpa daun khas filem hantu. Topografi menuju selatan pulau
sedikit berbukit, hanya bintang-bintang di langit yang menunjukkan arah kemana
kami harus pergi. Setelah menuruni bukit, kami di sambut jalanan setapak, di
mana di kiri kanan jalan tampak pekuburan warga yang saling terpencar berserak
tak beraturan. Agak jauh di depan sudah terdengar deburan ombak laut yang sudah
mulai pasang. Hanya lampu yang kami bawa sebagai satu-satunya sumber
penerangan, selain itu hanya kegelapan yang ada.
Kami semua teringat
filem-filem horor tentang sekumpulan pemuda yang mengunjungi sebuah pulau
berhantu. Pertama-tama pastilah scene tentang anak muda yang ketawa-ketiwi baru
tiba di sebuah pulau. Kemudian malamnya mulai terjadi hal-hal yang aneh. Mulai
dari menghilangnya salah satu teman yang sedang mencari kayu bakar atau sedang
pipis. Kemudian satu persatu kawanan tersebut menghilang, yang akhirnya ketemu
mayatnya saja di pedalaman pulau. Hingga kejadian-kejadian seram lainnya yang
hanya menyisakan salah satu atau dua orang yang masih hidup dan kabur dari
pulau hantu itu. Untungnya dari semua scene tersebut, hanya scene pertama yang
menjadi kenyataan. Itulah tema obrolan kami di perjalanan yang di selimuti
kegelapan malam.
Tak lama waktu yang kami
butuhkan untuk mencari spot dan membangun tenda, walaupun hanya bintang dan
semilir angin yang menemani, tak membuat kami merasa asing di pulau asing ini.
Api unggun dan bakar sate seafood adalah kegiatan utama kami malam itu. Sungguh
pengalaman yang mengasyikkan, seperti benar-benar sedang berkemah di pulau tak
bertuan. Karena hanya ada kami dan deburan ombak di pantai. Walaupun perut
sudah terisi penuh oleh hidangan tadi sore, tak menghentikan kami untuk melahap
sate kerang dan cumi-cumi bakar yang sudah kami siapkan sedari awal. Walaupun
hanya berbumbu kecap manis. Bukanlah rasa yang terpenting, namun sensasi yang
ada yang dapat membangkitkan gairah kami untuk bertualang seperti ini. Malam
masih panjang, dan kegiatan malam itu kami tutup dengan berfoto ria serta minum
kopi dan sleepwell tea yang saya bawa, biar nanti sleepnya benar-benar well.
Pagi menjelang saat langit
mulai berwarna biru gelap, kami terbangun dan tanpa sadar segera menuju ke
pantai untuk menyambangi Sunrise. Benar juga, kali ini sunrise begitu mewah,
saya yang sedari tadi berjalan ke tengah lautan yang sedang surut, tiba-tiba di
suguhi pemandangan matahari terbit yang benar-benar indah. Nun jauh di ujung
laut tampak seberkas cahaya yang lama-kelamaan membentuk bulatan sempurna
berwarna oranye menyala. Dari hanya setitik cahaya tepat di atas horizon,
matahari dengan begitu cepatnya menyembul ke atas dan segera meninggalkan
lautan yang sedari tadi membenamkannya. Warna langit di sekitarnyapun seakan
tak mau kalah dengan keindahaan sang empu cahaya dan warna, mentari pagi.
Pagi itu kami di sambangi
banyak anak pulau yang kira-kira seumuran bocah SD antara kelas 3 hingga kelas
6, salah seorang di antaranya adalah perempuan. Mereka terlihat begitu
penasaran dengan apa yang kami lakukan dan apa yang kami punya. Tak heran,
mungkin di antara bocah-bocah ini, ada beberapa yang belum pernah meninggalkan
pulau Mandangin. Kami bercanda satu sama lain, dan seperti biasa, berfoto ria dengan
para Islander Kids (anak pulau) ini. Hingga pasang tiba, segera saya dengan
yang lainnya menuju ke laut untuk bermain air, di temani anak-anak pulau
Mandangin.
Laut yang tadinya berupa pasir
dan remah-remah koral tanpa air, kini dipenuhi air asin berwarna hijau bening.
Semakin lama semakin tinggi permukaan air di pantai selatan pulau ini. Bukanlah
waktu yang tepat bagi saya saat itu untuk termenung dan memikirkan segala
permasalahan hidup. Tapi berenang dan membenamkan diri di lautlah yang memenuhi
otak saya. Beramai-ramai kami berenang di laut yang hanya setinggi pinggang
itu. Warna laut yang hijau kebiruan membius semua orang di pantai untuk segera
menceburkan diri. Kilatan dan pantulan cahaya matahari hanya menambah keindahan
laut selatan pulau Mandangin.
Saya yang tadi menemukan spot
agak jauh dari bibir pantai dan melihat sisa-sisa karang hidup di laut, segera
menuju kesana lagi untuk menikmatinya dengan lebih seksama. Namun karena merasa
sendirian dan dipenuhi ketakutan-ketakutan tak beralasan, segera saya kembali
ke tepian bersama teman-teman yang lain. Namun Eko telah pergi menjauh dengan
anak-anak pulau menuju spot yang saya ingin jelajahi tadi dengan menggunakan
perahu kecil. Saya dan Dita segera menyusul ke spot yang sama. Disana air
terlihat jauh lebih jernih di banding yang di dekat bibir pantai. Ikan-ikanpun
jauh lebih banyak dan bervariasi. Hingga dahaga akan pemandangan bawah air
terpuaskan. Kami bergiliran menggunakan 2 google yang kami bawa, antara saya,
Eko dan Dita dengan anak-anak pulau yang membawa kami ke spot ini.
Kali ini benar-benar
pengalaman yang tak terlupakan, jernihnya air, sisa-sisa koral yang masih
bertahan dan ikan-ikan warna-warni benar-benar membuat perasaan saya melayang
tak karuan. Ombak yang banyak menghantam kamipun seperti bukan musuh sama
sekali. Malah membuat sensasi di otak bertambah menyenangkan. Mataharipun tak
ketinggalan, seolah tak mau kalah dalam membuat suasana semakin indah. Pantulan
cahayanya menciptakan kilatan-kilatan di dalam air yang berlarian kesana-kemari.
Membuat suasana underwater semakin meriah. Ini adalah moment yang sangat
menakjubkan.
Puas rasanya menikmati pantai
selatan pulau Mandangin. Tapi satu hal yang sedikit mengganggu, disini banyak
di temui ubur-ubur kecil seukuran bola pimpong melayang kesana-kemari. Di
tengahnya terdapat warna keunguan melingkar dengan tentakel-tentakelnya yang
menjulur panjang. Saya dan beberapa teman sempat tersengat. Rasa sengatan
tersebut layaknya tertusuk benda tajam seperti jarum di beberapa titik. Saya malah
tersengat 2 kali, di tangan dan di area perut. Panas dan nyeri segera
menyelimuti area sengatan. Namun tak lama rasa sakit sengatan tersebut segera
hilang tanpa meninggalkan bekas, tidak lebih dari 15 menit. Hanya sengatan di
tangan Indah yang meninggalkan bekas melingkar berwarna ungu.
Terik mentari sudah mulai
menyengat, kami bersiap-siap untuk membongkar tenda dan membersihkan area
camping dari sampah semalam. Saatnya untuk kembali di rumah singgah dan
menikmati hidangan makan siang. Sebelum kesana, kami sempatkan untuk menyusuri
pantai ke arah timur menuju sebuah batu karang besar bernama Chandin. Tak lupa
kami berfoto ria di beberapa spot pantai dan batu Chandin, minus Eko tentunya,
karena dia sudah meninggalkan pulau dari jam 10.00 tadi.
Malam kedua kami habiskan di
rumah singgah, sorenya kami berjalan-jalan menyusuri kampung di pulau
Mandangin, makan rujak dan beramah tamah dengan sebagian penduduk. Saya sempat
bertemu dengan Dedi, seorang anak Mandangin yang pernah bertemu di trip
sebelumnya. Kami menghabiskan petang di dermaga pulau. Dan keesokan harinya
segera pulang menuju Surabaya dengan kapal penumpang yang berangkat jam 06.00
pagi. Perjalanan kali ini benar-benar luar biasa, banyak hal baru yang saya
dapati yang menurut saya “worth telling”
atau layak untuk di ceritakan. Semoga Pulau Mandangin ke depan dapat menjadi
sebuah destinasi wisata wajib di daftar destinasi para traveler dunia.
[...fin...]
No comments:
Post a Comment