Monday, February 17, 2014

   

Penanggungan, a Sacred Mountain...



Petualangan Menuju Gunung Suci

Gunung Penanggungan, berabad lamanya telah dianggap sebagai Gunung Suci pecahan dari Gunung Meru. Dalam mitologi Jawa Kuno, Para Dewata memindahkan Gunung Meru ke tanah Jawa dari tempat asalnya di India. Dalam perjalanan, Gunung Meru mengalami goncangan sehingga pecah dan runtuh sebagian di mana runtuhan tersebut menjelma menjadi gunung yang relatif kecil bernama Penanggungan, sedangkan Gunung Meru sendiri kini berada di daerah Lumajang yang sekarang di sebut sebagai Gunung Semeru. Oleh masayarakat Siwa Budha pada masa pra-Islam, Gunung Penanggungan dianggap suci, sebagai salah satu tempat bersemayam para Dewa. Tak heran jika dapat di temukan puluhan bahkan ratusan situs pemujaan kuno di wilayah gunung tersebut.  

Kali ini saya dan teman-teman Travelistar Penjelajah hendak mengunjungi Gunung Penanggungan yang berada di daerah Trawas Mojokerto. Awalnya berniat sekedar bermandi ria di  Jolotundo, sebuah situs kuno berupa Petirtaan dari masa Raja Airlangga. Namun akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung Penanggungan. Dari Situs Jolotundo pendakian di mulai, jalan setapak terlihat jelas menjadi acuan kami untuk menuju puncak Penanggungan yang memiliki ketinggian + 2000 mdpl. Namun tak dinyana, ada sebuah percabangan setapak yang membuat kami tersesat beberapa ratus meter jauhnya. Lantaran sudah tak dapat di cari lagi jalannya, kami memutuskan untuk kembali ke percabangan tadi dan menuju ke arah yang lainnya. Tapi keadaan tersebut terbayar dengan pemandangan luar biasa, kami menjumpai 2 ekor elang yang cukup besar melayang-layang tepat di atas tempat kami berdiri.

Perjalanan di lanjutkan menyusuri jalanan setapak yang kini semakin jelas. Tidak seperti ketika mendaki Gunung Semeru yang trek perjalanannya cukup landai namun panjang, kali ini trek yang kami tempuh cukup menanjak. Menurut info yang kami dapat, dalam perjalanan nanti kami akan menjumpai 5 situs kuno berupa reruntuhan candi. Hutan di Gunung Penananggungan tidak selebat hutan-hutan di pegunungan lainnya. Disini pepohonan tinggi tidak begitu banyak dengan jarak antar pohon sekitar beberapa meter. Namun tanaman perdu dan rerumputan tinggi mendominasi pemandangan. Sudah 2 jam kira-kira kami mendaki, namun tak nampak tanda adanya sebuah situs kuno. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah situs berupa tumpukan batu andesit yang sudah tidak berbentuk lagi. Menurut info situs tersebut disebut Candi Bayi.

Dari situs tersebut jalanan berbelok arah ke kiri hingga kami menemukan sebuah formasi batuan yang membentuk sebuah aliran air yang disebut Batu Talang. Dari situ kebingungan mulai menyergap. Kemanakah hendak kami melanjutkan perjalanan, sedangkan arah jalanan setapak tadi terus menuju Batu Talang tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk menyusuri formasi batuan tersebut ke atas. Suasana sudah mulai gelap lantaran sudah sangat sore kala itu. Kami memanjat menyusuri Batu Talang dengan resiko tersapu air kalau hujan datang. Saya sempat menduga, jika hujan lebat datang, maka Batu Talang akan menjadi sebuah sungai dengan aliran air yang cukup deras sehingga cukup berbahaya bagi siapapun yang menyusurinya. Suasana gelap mulai menyergap, dan kami sudah mendaki Batu Talang cukup jauh ke atas. Berbagai adegan berbahayapun kami lakoni, seperti melompat antar batu, berpinjak pada batu yang licin hingga memanjat tebing batu yang cukup tinggi dengan hanya bermodalkan lampu senter korek api.

Hujanpun mulai datang dari gerimis hingga yang paling lebat. Namun sebelumnya kami sudah memutuskan untuk kembali ke bawah lantaran tak ada lagi jalan yang dapat kami lalui alias buntu. Ketika hujan mulai lebat, kami segera menyiapkan jas hujan untuk berteduh dengan posisi jongkok. Dalam suasana gelap gulita tersebut, kami berada di suatu tempat yang sangat mengerikan. Berada di tengah sungai batu yang curam dan hutan lebat di kiri kanan dengan hanya bermodalkan lampu senter korek api. Seorang teman berkelakar dalam suasana serba sulit tersebut “Opo se sing tok golek i rek, ngene iki ta?” (apa sih yang kalian cari teman-teman, yang seperti ini?). Kemudian ada yang menimpali “Yo iki sing larang, gak onok tunggale” (ya ini pengalaman yang mahal, gak ada yang bisa ngalahin). Saya sendiri merasakan suasana yang sangat horor. Hujanpun reda, kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke bawah.

Tak lama berselang hujan kembali turun, kali ini lebih lebat dari sebelumnya. Kami kembali berteduh di bawah naungan jas hujan, tapi posisi kami lebih berbahaya dari sebelumnya. Karena tepat di depan saya, sebuah tanjakan turun sudah bersiap untuk menyergap jika sewaktu waktu aliran air deras datang dari atas. Batuan yang sedari tadi terlihat tenang kini menjadi bergelora dengan derasnya aliran air hingga beberapa spot berubah menjadi air terjun yang ganas. Saya merasakan aliran air di kaki semakin lama semakin meninggi. Rasa panik tiba-tiba datang, saya mengusulkan untuk terus melanjutkan perjalanan turun walaupun hujan lebat masih berlangsung. Kali ini benar-benar mengerikan, tanjakan di bawah kami sudah tak dapat kami lalui lagi karena sudah menjadi air terjun yang deras. Sedangkan jalan yang kami lalui tadi berada di bawah beberapa air terjun dadakan tersebut. Kami memutuskan untuk berbelok arah ke kiri, menembus rerumputan yang tinggi dan tebal. Kami paksa untuk membuat jalan sendiri di rerimbunan tersebut demi menghindari aliran air yang semakin deras. Tujuan kami hanya satu, menggapai lokasi candi pertama, karena di sekitar situ ada sebuah lokasi yang cukup datar untuk di jadikan spot Camping.

Cukup lama kami menyusuri rerimbunan di tengah gelapnya malam, teman saya paling depan dapat jatah tugas membuat jalan setapak dengan menginjak-injakkan kakinya di rerimbunan tersebut. Kami hanya mengikuti dari belakang sambil mendengarkan riuhnya aliran air hujan di Batu Talang. Akhirnya ketemulah kami dengan jalan setapak yang kami lalui tadi. Pencarian spot Campingpun di mulai, dari situ hati mulai lega. Segera kami mendirikan tenda di tengah terpaan hujan dan suasana gelap gulita. Sebuah pengalaman seru dan mengerikan baru saja kami lalui, hujan sudah reda digantikan oleh kabut pegunungan dan semilir angin malam yang dingin menusuk tulang. Kami menghabiskan malam dengan mengobrol ria sambil mendengarkan musik mp3 dari hp. Sebagian yang lain bertugas memasak makan malam.

Hingga waktunya tidur tiba, tak seberapa lama terdengar suara orang ngobrol dari kejauhan. Semakin lama suara tersebut semakin jelas terdengar telinga, hingga salah seorang teman bergegas untuk keluar tenda dan menyapa mereka. Ternyata mereka rombongan berlima dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Mereka berniat untuk naik ke Puncak Penanggungan juga. Seorang teman kami segera memberikan arahan ke mereka guna menghindari Batu Talang, dan memberikan petunjuk ke arah mana kemungkinan jalan menuju puncak tersebut. Sedangkan saya hanya mendengarkan obrolan mereka dari dalam tenda, hingga rombongan tersebut beranjak pergi melanjutkan perjalanannya.

Menurut info seorang teman, mereka tidak membawa tenda. Karena mereka berharap menemukan sebuah gua di atas sana untuk berteduh dan bermalam. “Ternyata ada yang lebih meremehkan Gunung Penanggungan” kata seorang teman yang lain. Kamipun melanjutkan tidur. Sebagian kami sudah mendengkur ria, sebagian yang lain masih asyik mengobrol. Sedangkan saya sendiri berusaha untuk terlelap hanya dengan selembar kain sarung menempel di tubuh saya.

Kira-kira pukul 04.00, terdengar suara rombongan tadi berpamitan pulang, ternyata mereka sudah menyerah dan kalah oleh gempuran cuaca buruk di Gunung Penanggungan. Saya hanya terbangun sesaat dan terlelap kembali. Ketika pagi benar-benar tiba, kami satu-persatu mulai terbangun lantaran sinar matahari yang tembus ke dalam tenda. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan diri untuk memasak sarapan pagi. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan bawaan seadanya. Sedangkan tenda kami biarkan terpasang tertinggal bersama beberapa barang di dalamnya.

Sudah pukul 10.00 lebih, kabut pegunungan belum menyingkir juga. Kami menyusuri jalanan setapak yang baru kami temukan semalam. Semakin lama jalur yang kami lalui semakin tidak jelas, seolah-olah jalur ini sangat jarang dilalui para pendaki. Rerumputan hijau sudah mulai menutupi jalur tersebut. Hingga sebuah kelokan yang benar-benar di tumbuhi rerimbunan, seolah jalur tersebut terhenti di rerimbunan tersebut. Terdapat pula jalan bercabang ke atas langsung mendaki bukit. Seorang teman segera bersigap untuk menelusuri jalanan mana yang benar untuk kami tempuh. Ternyata jalan dengan rerimbunan tersebut yang menurut dia benar, karena menemukan jalur terusan di depan sana. Kami segera mengikuti jejaknya.

Tak berapa lama kami menemukan jalan bercabang lagi, satu lurus, satu turun ke bawah dan satu naik ke atas. Seperti sebuah perempatan, sebagaimana yang di lakukannya tadi, teman kami segera menyusuri satu persatu hingga memutuskan jalan yang luruslah jalur yang benar, kalau yang turun kebawah serasa tidak mungkin. Tapi setelah sekian lama kami meneruskan perjalanan, jalur tersebut juga menjadi semakin tidak jelas. Rasa ragu menghinggapi kami semua, tanpa pikir panjang kami segera kembali ke perempatan tadi dan mengambil belokan yang ke ke atas.

Jalur setelah candi pertama ternyata jauh lebih menanjak, sepanjang perjalanan yang berkelok-kelok, kami terus berjalan ke atas menaiki bukit. Hingga kira-kira setengah jam lamanya kami menemukan situs candi yang kedua, kali ini bentuknya tidak sama seperti yang pertama. Candi tersebut lebih menyerupai undak-undakan yang menempel di sisi bukit dengan posisi miring mengikuti kemiringan sisi bukit tanpa ada relief atau hiasan di dinding candi yang tersisa. Tetapi memiliki bentuk yang lebih menarik. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak dan berfoto ria, di depan candi tersebut terdapat pelataran berselimut rumput hijau yang datar dan cukup luas. Kami juga menemukan sebuah pohon buah murbei dengan buahnya yang kemerah-merahan, tanpa pikir panjang kami berebut untuk mendapatkan buah-buah berukuran kecil tersebut. Rasanya masam dan segar di lidah.

Segera kami beranjak untuk melanjutkan perjalanan, jalur yang hendak kami lalui ternyata berada di atas candi. Kami kembali menyusuri jalanan menanjak, hingga beberapa menit lamanya segera kami menemukan situs candi yang ketiga dengan papan nama yang putih polos tanpa tulisan. Bentuk candi ketiga mirip dengan yang baru saja kami temui, namun memiliki bentuk lebih utuh dengan beberapa ornamen menempel di dinding candi, seperti hiasan berbentuk segitiga terbalik pada kedua sisi pintu tangga candi. Di depan candi juga ada sebuah tumpukan batu yang mirip seperti altar pemujaan. Di sisi kiri kanan candi juga ada sebuah reruntuhan tak beraturan berbentuk persegi.

Hujan kembali mengguuyur dengan lebatnya, kami memutuskan untuk memasak sisa persediaan di tengah guyuran hujan dengan ditutupi lembaran jas hujan. Sebuah kenikmatan tiada tara, dapat menikmati sajian berupa nasi dan mie instant goreng di tengah guyuran hujan dan berlokasi di depan candi kuno di atas gunung. Karena belum tentu esok dapat menikmati sajian dan pengalaman yang sama. Hingga kami selesai menyantap makanan, hujan tak kunjung berhenti dan waktu sudah hampir sore.

Sempat terjadi perdebatan antara kami berlima apakah akan melanjutkan perjalanan, ataukah berhenti sampai di candi ke tiga dan kembali pulang. Karena alasan cuaca yang sangat tidak mendukung dan waktu yang sudah mulai sore, ditambah persediaan yang memang di khususkan untuk satu malam alias hampir habis, kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap untuk pulang turun gunung.

Jalur yang sama kami tempuh kira-kira setengah jam lamanya, hingga kami tiba di tenda. Jalur balik kali ini basah dan lebih licin karena guyuran hujan tak henti-henti. Bahkan ketika kami sampai di tendapun hujan semakin lebat. Tak butuh waktu lama kami memasuki tenda satu persatu. Tiga orang pendaki lain sudah mendirikan tenda disisi tenda kami. Kami sempat ngobrol sebentar lalu melanjutkan agenda masak memasak kami. Sekitar pukul 15.00 kami berkemas untuk kembali pulang.

Sesampainya di area Candi Petirtaan Jolotundo, kami segera beristirahat di salah satu pondokan milik sebuah warung. Saya dan 2 teman lainnya memutuskan untuk mandi di kolam Petirtaan Jolotundo guna membasuh keringat dan basah tubuh karena hujan selama perjalanan. Kamipun beranjak pulang setelah semua barang di kemas rapi.

Sebuah pengalaman seru mendaki gunung suci Penanggungan, tanpa diduga gunung dengan ketinggian yang relatif pendek itu mampu mengalahkan nyali kami untuk menaiki puncaknya. Jalanan terjal dan menanjak disertai cuaca yang tak mendukung, kami gagal mendaki puncak Penanggungan. Mungkin kali ini kami gagal, tapi tekad untuk ke Puncak Penanggungan akan tetap tersimpan hingga moment yang tepat datang untuk kembali menantang si Gunung Kecil nan Suci, Penanggungan.

[...fin...]

No comments:

Post a Comment

Recent Comments