Petualangan Menuju Gunung Suci
Gunung Penanggungan, berabad lamanya
telah dianggap sebagai Gunung Suci pecahan dari Gunung Meru. Dalam mitologi
Jawa Kuno, Para Dewata memindahkan Gunung Meru ke tanah Jawa dari tempat
asalnya di India. Dalam perjalanan, Gunung Meru mengalami goncangan sehingga
pecah dan runtuh sebagian di mana runtuhan tersebut menjelma menjadi gunung
yang relatif kecil bernama Penanggungan, sedangkan Gunung Meru sendiri kini
berada di daerah Lumajang yang sekarang di sebut sebagai Gunung Semeru. Oleh
masayarakat Siwa Budha pada masa pra-Islam, Gunung Penanggungan dianggap suci,
sebagai salah satu tempat bersemayam para Dewa. Tak heran jika dapat di temukan
puluhan bahkan ratusan situs pemujaan kuno di wilayah gunung tersebut.
Kali ini saya dan teman-teman
Travelistar Penjelajah hendak mengunjungi Gunung Penanggungan yang berada di
daerah Trawas Mojokerto. Awalnya berniat sekedar bermandi ria di Jolotundo, sebuah situs kuno berupa Petirtaan
dari masa Raja Airlangga. Namun akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung
Penanggungan. Dari Situs Jolotundo pendakian di mulai, jalan setapak terlihat
jelas menjadi acuan kami untuk menuju puncak Penanggungan yang memiliki
ketinggian + 2000 mdpl. Namun tak dinyana, ada sebuah percabangan
setapak yang membuat kami tersesat beberapa ratus meter jauhnya. Lantaran sudah
tak dapat di cari lagi jalannya, kami memutuskan untuk kembali ke percabangan
tadi dan menuju ke arah yang lainnya. Tapi keadaan tersebut terbayar dengan
pemandangan luar biasa, kami menjumpai 2 ekor elang yang cukup besar
melayang-layang tepat di atas tempat kami berdiri.
Perjalanan di lanjutkan menyusuri
jalanan setapak yang kini semakin jelas. Tidak seperti ketika mendaki Gunung
Semeru yang trek perjalanannya cukup landai namun panjang, kali ini trek yang
kami tempuh cukup menanjak. Menurut info yang kami dapat, dalam perjalanan
nanti kami akan menjumpai 5 situs kuno berupa reruntuhan candi. Hutan di Gunung
Penananggungan tidak selebat hutan-hutan di pegunungan lainnya. Disini pepohonan
tinggi tidak begitu banyak dengan jarak antar pohon sekitar beberapa meter.
Namun tanaman perdu dan rerumputan tinggi mendominasi pemandangan. Sudah 2 jam
kira-kira kami mendaki, namun tak nampak tanda adanya sebuah situs kuno. Hingga
akhirnya kami menemukan sebuah situs berupa tumpukan batu andesit yang sudah
tidak berbentuk lagi. Menurut info situs tersebut disebut Candi Bayi.
Dari situs tersebut jalanan berbelok
arah ke kiri hingga kami menemukan sebuah formasi batuan yang membentuk sebuah
aliran air yang disebut Batu Talang. Dari situ kebingungan mulai menyergap. Kemanakah
hendak kami melanjutkan perjalanan, sedangkan arah jalanan setapak tadi terus
menuju Batu Talang tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk menyusuri formasi
batuan tersebut ke atas. Suasana sudah mulai gelap lantaran sudah sangat sore
kala itu. Kami memanjat menyusuri Batu Talang dengan resiko tersapu air kalau
hujan datang. Saya sempat menduga, jika hujan lebat datang, maka Batu Talang
akan menjadi sebuah sungai dengan aliran air yang cukup deras sehingga cukup
berbahaya bagi siapapun yang menyusurinya. Suasana gelap mulai menyergap, dan
kami sudah mendaki Batu Talang cukup jauh ke atas. Berbagai adegan berbahayapun
kami lakoni, seperti melompat antar batu, berpinjak pada batu yang licin hingga
memanjat tebing batu yang cukup tinggi dengan hanya bermodalkan lampu senter
korek api.
Hujanpun mulai datang dari gerimis
hingga yang paling lebat. Namun sebelumnya kami sudah memutuskan untuk kembali
ke bawah lantaran tak ada lagi jalan yang dapat kami lalui alias buntu. Ketika
hujan mulai lebat, kami segera menyiapkan jas hujan untuk berteduh dengan
posisi jongkok. Dalam suasana gelap gulita tersebut, kami berada di suatu
tempat yang sangat mengerikan. Berada di tengah sungai batu yang curam dan
hutan lebat di kiri kanan dengan hanya bermodalkan lampu senter korek api.
Seorang teman berkelakar dalam suasana serba sulit tersebut “Opo se sing tok
golek i rek, ngene iki ta?” (apa sih yang kalian cari teman-teman, yang seperti
ini?). Kemudian ada yang menimpali “Yo iki sing larang, gak onok tunggale” (ya
ini pengalaman yang mahal, gak ada yang bisa ngalahin). Saya sendiri merasakan
suasana yang sangat horor. Hujanpun reda, kami bergegas untuk melanjutkan
perjalanan ke bawah.
Tak lama berselang hujan kembali turun,
kali ini lebih lebat dari sebelumnya. Kami kembali berteduh di bawah naungan
jas hujan, tapi posisi kami lebih berbahaya dari sebelumnya. Karena tepat di
depan saya, sebuah tanjakan turun sudah bersiap untuk menyergap jika sewaktu waktu
aliran air deras datang dari atas. Batuan yang sedari tadi terlihat tenang kini
menjadi bergelora dengan derasnya aliran air hingga beberapa spot berubah
menjadi air terjun yang ganas. Saya merasakan aliran air di kaki semakin lama
semakin meninggi. Rasa panik tiba-tiba datang, saya mengusulkan untuk terus
melanjutkan perjalanan turun walaupun hujan lebat masih berlangsung. Kali ini
benar-benar mengerikan, tanjakan di bawah kami sudah tak dapat kami lalui lagi
karena sudah menjadi air terjun yang deras. Sedangkan jalan yang kami lalui
tadi berada di bawah beberapa air terjun dadakan tersebut. Kami memutuskan
untuk berbelok arah ke kiri, menembus rerumputan yang tinggi dan tebal. Kami
paksa untuk membuat jalan sendiri di rerimbunan tersebut demi menghindari
aliran air yang semakin deras. Tujuan kami hanya satu, menggapai lokasi candi
pertama, karena di sekitar situ ada sebuah lokasi yang cukup datar untuk di
jadikan spot Camping.
Cukup lama kami menyusuri rerimbunan di
tengah gelapnya malam, teman saya paling depan dapat jatah tugas membuat jalan
setapak dengan menginjak-injakkan kakinya di rerimbunan tersebut. Kami hanya
mengikuti dari belakang sambil mendengarkan riuhnya aliran air hujan di Batu
Talang. Akhirnya ketemulah kami dengan jalan setapak yang kami lalui tadi. Pencarian
spot Campingpun di mulai, dari situ hati mulai lega. Segera kami mendirikan
tenda di tengah terpaan hujan dan suasana gelap gulita. Sebuah pengalaman seru
dan mengerikan baru saja kami lalui, hujan sudah reda digantikan oleh kabut pegunungan
dan semilir angin malam yang dingin menusuk tulang. Kami menghabiskan malam
dengan mengobrol ria sambil mendengarkan musik mp3 dari hp. Sebagian yang lain
bertugas memasak makan malam.
Hingga waktunya tidur tiba, tak seberapa
lama terdengar suara orang ngobrol dari kejauhan. Semakin lama suara tersebut
semakin jelas terdengar telinga, hingga salah seorang teman bergegas untuk
keluar tenda dan menyapa mereka. Ternyata mereka rombongan berlima dari
berbagai daerah di Jawa Tengah. Mereka berniat untuk naik ke Puncak
Penanggungan juga. Seorang teman kami segera memberikan arahan ke mereka guna
menghindari Batu Talang, dan memberikan petunjuk ke arah mana kemungkinan jalan
menuju puncak tersebut. Sedangkan saya hanya mendengarkan obrolan mereka dari dalam
tenda, hingga rombongan tersebut beranjak pergi melanjutkan perjalanannya.
Menurut info seorang teman, mereka tidak
membawa tenda. Karena mereka berharap menemukan sebuah gua di atas sana untuk
berteduh dan bermalam. “Ternyata ada yang lebih meremehkan Gunung Penanggungan”
kata seorang teman yang lain. Kamipun melanjutkan tidur. Sebagian kami sudah
mendengkur ria, sebagian yang lain masih asyik mengobrol. Sedangkan saya
sendiri berusaha untuk terlelap hanya dengan selembar kain sarung menempel di
tubuh saya.
Kira-kira pukul 04.00, terdengar suara
rombongan tadi berpamitan pulang, ternyata mereka sudah menyerah dan kalah oleh
gempuran cuaca buruk di Gunung Penanggungan. Saya hanya terbangun sesaat dan
terlelap kembali. Ketika pagi benar-benar tiba, kami satu-persatu mulai
terbangun lantaran sinar matahari yang tembus ke dalam tenda. Sebelum
melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan diri untuk memasak sarapan pagi. Kami
putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan bawaan seadanya. Sedangkan tenda
kami biarkan terpasang tertinggal bersama beberapa barang di dalamnya.
Sudah pukul 10.00 lebih, kabut
pegunungan belum menyingkir juga. Kami menyusuri jalanan setapak yang baru kami
temukan semalam. Semakin lama jalur yang kami lalui semakin tidak jelas, seolah-olah
jalur ini sangat jarang dilalui para pendaki. Rerumputan hijau sudah mulai
menutupi jalur tersebut. Hingga sebuah kelokan yang benar-benar di tumbuhi
rerimbunan, seolah jalur tersebut terhenti di rerimbunan tersebut. Terdapat
pula jalan bercabang ke atas langsung mendaki bukit. Seorang teman segera
bersigap untuk menelusuri jalanan mana yang benar untuk kami tempuh. Ternyata
jalan dengan rerimbunan tersebut yang menurut dia benar, karena menemukan jalur
terusan di depan sana. Kami segera mengikuti jejaknya.
Tak berapa lama kami menemukan jalan
bercabang lagi, satu lurus, satu turun ke bawah dan satu naik ke atas. Seperti
sebuah perempatan, sebagaimana yang di lakukannya tadi, teman kami segera
menyusuri satu persatu hingga memutuskan jalan yang luruslah jalur yang benar,
kalau yang turun kebawah serasa tidak mungkin. Tapi setelah sekian lama kami
meneruskan perjalanan, jalur tersebut juga menjadi semakin tidak jelas. Rasa
ragu menghinggapi kami semua, tanpa pikir panjang kami segera kembali ke
perempatan tadi dan mengambil belokan yang ke ke atas.
Jalur setelah candi pertama ternyata
jauh lebih menanjak, sepanjang perjalanan yang berkelok-kelok, kami terus
berjalan ke atas menaiki bukit. Hingga kira-kira setengah jam lamanya kami
menemukan situs candi yang kedua, kali ini bentuknya tidak sama seperti yang
pertama. Candi tersebut lebih menyerupai undak-undakan yang menempel di sisi
bukit dengan posisi miring mengikuti kemiringan sisi bukit tanpa ada relief
atau hiasan di dinding candi yang tersisa. Tetapi memiliki bentuk yang lebih
menarik. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak dan berfoto ria, di depan
candi tersebut terdapat pelataran berselimut rumput hijau yang datar dan cukup
luas. Kami juga menemukan sebuah pohon buah murbei dengan buahnya yang kemerah-merahan,
tanpa pikir panjang kami berebut untuk mendapatkan buah-buah berukuran kecil
tersebut. Rasanya masam dan segar di lidah.
Segera kami beranjak untuk melanjutkan
perjalanan, jalur yang hendak kami lalui ternyata berada di atas candi. Kami
kembali menyusuri jalanan menanjak, hingga beberapa menit lamanya segera kami
menemukan situs candi yang ketiga dengan papan nama yang putih polos tanpa
tulisan. Bentuk candi ketiga mirip dengan yang baru saja kami temui, namun memiliki
bentuk lebih utuh dengan beberapa ornamen menempel di dinding candi, seperti
hiasan berbentuk segitiga terbalik pada kedua sisi pintu tangga candi. Di depan
candi juga ada sebuah tumpukan batu yang mirip seperti altar pemujaan. Di sisi
kiri kanan candi juga ada sebuah reruntuhan tak beraturan berbentuk persegi.
Hujan kembali mengguuyur dengan
lebatnya, kami memutuskan untuk memasak sisa persediaan di tengah guyuran hujan
dengan ditutupi lembaran jas hujan. Sebuah kenikmatan tiada tara, dapat
menikmati sajian berupa nasi dan mie instant goreng di tengah guyuran hujan dan
berlokasi di depan candi kuno di atas gunung. Karena belum tentu esok dapat
menikmati sajian dan pengalaman yang sama. Hingga kami selesai menyantap
makanan, hujan tak kunjung berhenti dan waktu sudah hampir sore.
Sempat terjadi perdebatan antara kami
berlima apakah akan melanjutkan perjalanan, ataukah berhenti sampai di candi ke
tiga dan kembali pulang. Karena alasan cuaca yang sangat tidak mendukung dan
waktu yang sudah mulai sore, ditambah persediaan yang memang di khususkan untuk
satu malam alias hampir habis, kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan
bersiap untuk pulang turun gunung.
Jalur yang sama kami tempuh kira-kira
setengah jam lamanya, hingga kami tiba di tenda. Jalur balik kali ini basah dan
lebih licin karena guyuran hujan tak henti-henti. Bahkan ketika kami sampai di
tendapun hujan semakin lebat. Tak butuh waktu lama kami memasuki tenda satu
persatu. Tiga orang pendaki lain sudah mendirikan tenda disisi tenda kami. Kami
sempat ngobrol sebentar lalu melanjutkan agenda masak memasak kami. Sekitar
pukul 15.00 kami berkemas untuk kembali pulang.
Sesampainya di area Candi Petirtaan
Jolotundo, kami segera beristirahat di salah satu pondokan milik sebuah warung.
Saya dan 2 teman lainnya memutuskan untuk mandi di kolam Petirtaan Jolotundo
guna membasuh keringat dan basah tubuh karena hujan selama perjalanan. Kamipun
beranjak pulang setelah semua barang di kemas rapi.
Sebuah pengalaman seru mendaki gunung
suci Penanggungan, tanpa diduga gunung dengan ketinggian yang relatif pendek
itu mampu mengalahkan nyali kami untuk menaiki puncaknya. Jalanan terjal dan
menanjak disertai cuaca yang tak mendukung, kami gagal mendaki puncak
Penanggungan. Mungkin kali ini kami gagal, tapi tekad untuk ke Puncak
Penanggungan akan tetap tersimpan hingga moment yang tepat datang untuk kembali
menantang si Gunung Kecil nan Suci, Penanggungan.
[...fin...]
No comments:
Post a Comment