Sunday, May 25, 2014

   

"From Ijen With Love"



"From Ijen With Love"

Menikmati Indonesia itu tidak perlu muluk-muluk harus keliling dari Sabang sampai Merauke. Cukup anda jalan-jalan di daerah anda sendiri, pasti dalam beberapa bulan anda belum tentu mampu untuk mengunjungi semuanya. Begitu juga untuk mencintai negeri indah ini, tidak perlu keluar negeri dulu kemudian kembali dan melakukan perbandingan apa yang negara lain punya dan apa yang Indonesia punya. Percayalah! Indonesia punya semuanya, dan semua yang Indonesia punya berkarakter eksotis dan fantastis.

 Eksotis baik yang bersifat alam maupun budaya. Fantastis karena banyak yang Indonesia punya Negara lain tidak. Atau kepunyaan Indonesialah yang ter-wah dari kepunyaan negara-negara lain, seperti danau kawah terbesar di dunia yaitu Danau Toba di Sumatera Utara, pulau atol terbesar di dunia yaitu pulau  Selayar di Sulawesi Selatan, monument keagamaan terbesar di dunia yaitu Candi Borobudur, dan yang ter- lainnya.

Oh iya, kita juga punya salju tropis abadi yang ada di Papua yaitu di Cartenz Piramid pegunungan Jayawijaya yang hanya ada di tiga tempat di dunia, juga satwa Komodo, spesies kadal terbesar di dunia yang hanya ada di kepulauan Komodo NTT. Juga tak lupa danau kawah aktif terbesar di dunia yang di sebut Kawah Ijen atau bahasa inggrisnya mungkin “the Lonely Crater” .

Dari Kawah Ijen inilah cerita kami para anggota Travelistar Penjelajah di mulai. Kalau boleh saya kasih judul (biar keren -red) mungkin “From Ijen With Love”. Love di sini bukanlah love mendaki gunung ijen dengan seorang kekasih, bukan. Tapi love disini adalah untuk mengasah rasa cinta kita kepada negeri Indonesia, negeri kebanggaan 275 juta rakyatnya (yang tidak bangga mending keluar negeri aja ya… -red).

Ide perjalanan kali ini datang dari salah satu anggota tim bernama Dadan (bukan nama sebenarnya -red), walaupun sebelumnya rencana trip bertujuan mendaki punggung Welirang dengan waktu keberangkatan tanggal 10 Mei 2014. Entah mendapat wangsit darimana, si Dadan tiba-tiba secara sepihak merubah destinasi menjadi mendaki gunung Ijen. Tapi tak apalah, lantaran saya belum pernah melihat sosok Kawah Ijen yang mendunia, saya manut. Hanya saja, mendekati hari-H teman-teman tim mendadak lesu tanpa semangat dengan alasan Ijen sedang berstatus “awas”. Tapi saya sangat meragukan hal itu menjadi alasan utama mereka membatalkan trip.

Setelah melakukan investigasi mendalam, barulah ketahuan kalau alasan utama adalah keuangan, klasik banget. Untungnya kali ini saya ada kelebihan yang bisa menutupi kekurangan tersebut, setelah berhasrat untuk tetap berangkat sendiri, akhirnya saya berhasil membujuk mereka untuk tetap berangkat.

Di perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 5 jam itu, kami berlima Saya, Dadan, Kondom, Bebek dan Jono (bukan nama sebenarnya semua -red) melaju kencang mengendarai mobil sewaan All New Avanza. Setibanya di lereng gunung Ijen, kami segera bersiap-siap, namun petugas penjaga gunung melarang kami langsung mendaki lantaran status Ijen yang masih tak menentu. Saya yang sedari tadi menahan nafsu untuk BAB segera menuju ke toilet terdekat dengan antrian cukup panjang. Saya lupa kalau air dan hawa di sini amat dingin, sehingga membutuhkan konsentrasi prima untuk bisa mengeluarkan isi perut (bagian paling tidak penting -red).

Kamipun memutuskan untuk mencari sarapan di warung terdekat sebelum jam keberangkatan di buka. Jadilah menu nasi goreng dengan telur ceplok menjadi santapan kami. Nikmat walaupun makanan kami segera menjadi dingin sebelum masuk mulut. Tak apalah yang penting perut terisi.

Tepat pukul 04.00, kami dan rombongan turis lainnya segera memulai acara pendakian gunung Ijen. Banyak dari mereka berwajah bule dan manusia Asia Tenggara yang berbahasa macam-macam. Di tengah jalan kami menjumpai muda-mudi dari Bangkok Thailand, saya dan kondom berusaha menyapa mereka dengan bahasa Thailand kami seadanya “Sawadee Khap!” kata saya, cewek-cewek Thailandpun menjawab ”Sawadee Ha!”. Setelah itu terhenti sejenak, karena hanya itu yang dapat kami ingat dari filem-filem mereka. Saya kemudian mencoba berbasa-basi dengan mereka berbahasa inggris dengan cara sok tau tentang apapun yang menarik dari Negara mereka. Namun sepertinya tidak berhasil, lantaran respond mereka yang pendek-pendek dan seakan tak ingin melanjutkan percakapan, atau mungkin Bahasa Inggris mereka yang kurang lancar (ingat tulisan perjalanan saya di Bangkok berjudul “Bangkok I’m in Lost part 2 –Macam-macam Sopir Taksi di Bangkok" -red).

Ya sudahlah, positif thinking saja. Mungkin alasan terakhirlah yang benar. Kami melanjutkan perjalanan di pagi buta di temani bintang-bintang terang di angkasa. Memang dalam satu jam pertama, jalanan seakan menanjak tiada henti. Kamipun menjadi manusia-manusia terakhir dari rombongan lainnya. Hingga mentari pagi mulai unjuk gigi, kami hanya mampu menggapai pos timbang, tempat dimana banyak penambang belerang lokal menimbang hasil pikulannya pagi itu.

Kami putuskan untuk istirahat sejenak. Kondom berinisiatif melakukan kegiatan yang sama yang saya lakukan di toilet pos keberangkatan tadi. Namun kali ini dia harus berhadapan dengan toilet alam. Kabar terakhir si Kondom menemukan sebuah lubang yang berfungsi sebagai toilet di suatu tempat dekat pos timbang, menurutnya lubang tersebut cukup nyaman untuk menabung isi perut, karena kedalaman lubang tersebut tidak terdeteksi dan tak tampak hasil menabung orang lain (bagian tidak penting kedua -red).

Kami melajutkan perjalanan lagi dengan jeprat-jepret di berbagai sisi pendakian, ada yang dengan background pemandangan gunung Raung, background perbukitan di sisi gunung Ijen hingga background batuan berwarna putih yang seolah berada di daerah bersalju. Hingga akhirnya kami dapat melihat deretan pinggiran kawah Ijen dari kejauhan. Perjalanan mendaki kami tempuh sekitar 1,5 jam lamanya. Kondisi pendakian setelah pos timbang lumayan datar, tidak menanjak seperti sebelumnya, membuat semangat kami untuk menuju kawah Ijen berkobar kembali. Ketika itu mentari sudah menyinari sebagian besar kawasan danau kawah aktif terbesar di dunia tersebut.

Sayangnya, kami tak sempat melihat salah satu keajaiban alam berupa api biru di kawah Ijen ini. Konon kabarnya, api biru ini hanya terdapat di dua tempat di dunia, saya lupa di negara mana yang satunya berada. Melintasi pinggiran kawah Ijen, serasa terbayar sudah hasil jerih payah pendakian sejauh 3 kilometer. Banyak turis lainnya yang sudah terlebih dahulu mencapai tempat tersebut. Tak lupa kamu berpose ria sambil bergantian memegang kamera untuk memotret.

Usai bernarsis ria dengan background kawah Ijen, kami menjumpai gadis-gadis Bangkok yang kami temui tadi di awal pendakian. Teman kami Jono berhasrat untuk mengajak ngobrol atau kenalan dengan salah satu dari mereka. Namun dia sempat maju mundur untuk bertindak, hingga akhirnya semua nyali terkumpul dan segera menyapa dengan kencangnya “Hei!”. Tapi seolah tak paham maksud si Jono, sang gadis Bangkok tak merespon sama sekali dan terus asyik dengan kameranya. Jonopun mengalihkan pandangannya seolah sedang memanggil temannya dari kejauhan, hal ini dilakukannya untuk menahan malu tak dapat respon dari gadis Bangkok. Sedangkan saya dan teman-teman yang lain hanya tertawa geli melihat kejadian konyol itu.

Sayapun tak patah arang, demi menunjukkan kepada Jono bagaimana berkenalan dengan seorang gadis Bangkok yang baik dan benar. Saya segera mendekati dan menawarkan diri untuk memotret dia dengan background kawah Ijen, namun dasar ceweknya yang koplak, dia menolak tawaran manis saya dengan tegasnya sambil melambaikan tangan tanda tak setuju, jancik beud!. Entah dia koplak atau takut saya tak tahu.

Segera kami putuskan untuk turun mendekati danau kawah Ijen yang berwarna biru muda, cantik nian pemandangannya kala itu. Luasan danau berwarna biru muda itu sekitar 5.466 hektar dengan kedalaman mencapai 200 meter, maka sangat layak gelar Danau Kawah Aktif Terbesar di Dunia di sematkan pada kawah Ijen. Pesonanya memang luar biasa, hingga ketenarannya menembus batas-batas negara. Terbukti dengan ramainya turis asing yang berkunjung, bahkan lebih ramai di banding turis lokal Indonesia ketika itu.

Dalam perjalanan turun menuju kawah, saya mendapati beberapa penambang belerang yang sedang memikul belerang di pundaknya sedang menaiki tangga. Bobot dari pikulan tersebut bisa mencapai antara 80 hingga 100 kg, luar biasa. Belum lagi mereka harus mendaki dari kawah kepinggiran kawah yang cukup jauh dan menanjak hingga akhirnya mereka berjalan menuruni gunung Ijen hingga ke lereng gunung di pos keberangkatan. Tentunya mereka akan berhenti sejenak untuk menimbang hasil pikulannya di pos timbang tadi. Kegiatan ini mereka lakukan mulai pagi buta setiap hari, dengan frekuensi antara sekali hingga 2 kali tiap paginya.

Tampak seorang bapak yang cukup tua memikul beban berat keranjang bambu berisi belerang di pundaknya. Serasa sangat berat hingga dia harus menaiki tangga batu satu persatu cukup lama. Saya yang sudah tak sabar untuk turun kebawah harus menyaksikan kejadian yang memilukan itu. Kasihan saya melihat bapak tua yang bersusah payah tersebut. Sayapun berhasil mengabadikan kejadian itu lewat beberapa foto secara sembunyi-sembunyi, takut ketahuan si bapak. Dihati saya pengen berfoto dengan bapak tadi dan kemudian menyerahkan beberapa ribu rupiah sebagai upahnya.

Kami melanjutkan untuk menuruni anak tangga terbuat dari batu menuju tambang belerang kawah Ijen. Setelah cukup dekat kami tidak diperbolehkan untuk mendekat hingga ke tambang belerang tersebut oleh beberapa orang penambang. Mereka bilang kalau terlalu dekat akan sangat berbahaya, lantaran asap belerang yang pekat yang dapat menyebabkan sesak nafas. Dalam perjalanan turun itu kami sempatkan beberapa kali berfoto ria dengan latar belakang pemandangan kawah yang menakjubkan itu.

Di spot terakhir, saya berkenalan dengan beberapa turis dari Malaysia. Kali ini turis-turis tersebut tak berlaku sombong seperti turis Bangkok tadi. Mereka cukup ramah untuk di ajak ngobrol pakai bahasa Inggris. Jonopun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto ria dengan kedua gadis cina asal Malaysia tersebut.

Sejenak kami menikmati indahnya ciptaan Tuhan di Negeri tercinta ini. Tak ada yang lain selain terucap rasa syukur kepada  Tuhan akan keindahan alam yang terhampar di depan mata. Memang harus bangga menjadi orang Indonesia. Pengalaman saya yang mengecap pendidikan di negeri tetangga (Malaysia), tak satupun tempat wisata yang mereka banggakan dapat mengungguli keindahan yang kita punya. Yang ada iklan wisata mereka yang selalu dapat mengungguli iklan-iklan kita.

Beberapa waktu kemudian, kami putuskan untuk kembali dan berencana istirahat sebentar di pos keberangkatan. Perjalanan turun gunung serasa sangat mudah di bandingkan ketika mendakinya. Di pos timbang saya menyaksikan para penambang sedang menimbang hasil tambangnya. Beberapa spot kami manfaatkan untuk berfoto ria, seperti spot dengan latar belakang gunung Raung.

Saya menjumpai sepasang lelaki dan perempuan keturunan China berasal dari Lumajang sedang menuruni gunung, kami sempatkan berkenalan dan mengobrol dengan mereka. Mereka sangat ramah, hingga setiap penambang di sapa oleh si cewek tersebut, bahasa merekapun halus dan sopan. Hal ini sangat kontras dengan citra orang-orang China perkotaan yang terkesan eksklusif, kalau boleh di bilang sepasang kekasih tersebut adalah orang-orang keturunan China yang sangat Njawani, salut buat mereka.

Diperjalanan turun pula saya mendapati bapak tua yang bersusah payah tadi memikul hasil tambangnya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, saya dan Kondom segera mengambil tindakan untuk berfoto dengannya bergantian. Selepas menyalurkan nafsu tadi, saya segera mengulurkan selembar uang 20 ribu buat si bapak sebagai imbalan mau berfoto dengan kami. Puas rasanya keinginan pas di kawah tadi sudah tercapai.

Tak terasa kami sudah sampai di pos keberangkatan, terdengar kabar bahwa si Jono sudah terlelap di mobil. Adalah kewajibannya untuk istirahat setelah memegang kemudi selama 5 jam dari Surabaya tadi malam. Dan dia pula yang akan memegang kemudi kembali ke Surabaya nanti. Dadan dan Bebek sudah berada di sebuah pondokan besar berwarna hijau di kejauhan. Di situlah tujuan saya untuk beristirahat dan tidur sejenak. Seperti petualangan kami sebelum-sebelumnya, tak lengkap rasanya kalau tanpa memasak mie goreng untuk sarapan pagi.

Usai aktifitas pagi, kami menuju ke mobil dan segera berangkat pulang. Sebuah pengalaman berharga menikmati Kawah Ijen di Kabupaten Banyuwangi-Bondowoso. Karena dari perjalanan itulah kami menemukan cinta kami yang sebenarnya terhadap negeri ini, negeri dengan sejuta pesonanya. Kami bertekad untuk menjelajahi setiap sudut negeri ini untuk kami tularkan dan kami bagi kisahnya kepada penduduk Indonesia dan dunia. Sebuah perjalanan yang teramat istimewa “From Ijen With Love”.

No comments:

Post a Comment

Recent Comments