"From Ijen With Love"
Menikmati Indonesia itu tidak
perlu muluk-muluk harus keliling dari Sabang sampai Merauke. Cukup anda
jalan-jalan di daerah anda sendiri, pasti dalam beberapa bulan anda belum tentu
mampu untuk mengunjungi semuanya. Begitu juga untuk mencintai negeri indah ini,
tidak perlu keluar negeri dulu kemudian kembali dan melakukan perbandingan apa
yang negara lain punya dan apa yang Indonesia punya. Percayalah! Indonesia
punya semuanya, dan semua yang Indonesia punya berkarakter eksotis dan
fantastis.
Eksotis baik yang bersifat alam maupun budaya.
Fantastis karena banyak yang Indonesia punya Negara lain tidak. Atau kepunyaan
Indonesialah yang ter-wah dari kepunyaan negara-negara lain, seperti danau
kawah terbesar di dunia yaitu Danau Toba di Sumatera Utara, pulau atol terbesar
di dunia yaitu pulau Selayar di Sulawesi
Selatan, monument keagamaan terbesar di dunia yaitu Candi Borobudur, dan yang
ter- lainnya.
Oh iya, kita juga punya salju tropis
abadi yang ada di Papua yaitu di Cartenz Piramid pegunungan Jayawijaya yang
hanya ada di tiga tempat di dunia, juga satwa Komodo, spesies kadal terbesar di
dunia yang hanya ada di kepulauan Komodo NTT. Juga tak lupa danau kawah aktif
terbesar di dunia yang di sebut Kawah Ijen atau bahasa inggrisnya mungkin “the Lonely Crater” .
Dari Kawah Ijen inilah cerita
kami para anggota Travelistar Penjelajah di mulai. Kalau boleh saya kasih judul
(biar keren -red) mungkin “From Ijen With Love”. Love di sini
bukanlah love mendaki gunung ijen dengan seorang kekasih, bukan. Tapi love
disini adalah untuk mengasah rasa cinta kita kepada negeri Indonesia, negeri
kebanggaan 275 juta rakyatnya (yang tidak bangga mending keluar negeri aja ya…
-red).
Ide perjalanan kali ini datang
dari salah satu anggota tim bernama Dadan (bukan nama sebenarnya -red), walaupun
sebelumnya rencana trip bertujuan mendaki punggung Welirang dengan waktu keberangkatan
tanggal 10 Mei 2014. Entah mendapat wangsit darimana, si Dadan tiba-tiba secara
sepihak merubah destinasi menjadi mendaki gunung Ijen. Tapi tak apalah,
lantaran saya belum pernah melihat sosok Kawah Ijen yang mendunia, saya manut.
Hanya saja, mendekati hari-H teman-teman tim mendadak lesu tanpa semangat
dengan alasan Ijen sedang berstatus “awas”. Tapi saya sangat meragukan hal itu
menjadi alasan utama mereka membatalkan trip.
Setelah melakukan investigasi
mendalam, barulah ketahuan kalau alasan utama adalah keuangan, klasik banget. Untungnya
kali ini saya ada kelebihan yang bisa menutupi kekurangan tersebut, setelah
berhasrat untuk tetap berangkat sendiri, akhirnya saya berhasil membujuk mereka
untuk tetap berangkat.
Di perjalanan yang menghabiskan
waktu sekitar 5 jam itu, kami berlima Saya, Dadan, Kondom, Bebek dan Jono
(bukan nama sebenarnya semua -red) melaju kencang mengendarai mobil sewaan All
New Avanza. Setibanya di lereng gunung Ijen, kami segera bersiap-siap, namun
petugas penjaga gunung melarang kami langsung mendaki lantaran status Ijen yang
masih tak menentu. Saya yang sedari tadi menahan nafsu untuk BAB segera menuju
ke toilet terdekat dengan antrian cukup panjang. Saya lupa kalau air dan hawa
di sini amat dingin, sehingga membutuhkan konsentrasi prima untuk bisa
mengeluarkan isi perut (bagian paling tidak penting -red).
Kamipun memutuskan untuk
mencari sarapan di warung terdekat sebelum jam keberangkatan di buka. Jadilah
menu nasi goreng dengan telur ceplok menjadi santapan kami. Nikmat walaupun
makanan kami segera menjadi dingin sebelum masuk mulut. Tak apalah yang penting
perut terisi.
Tepat pukul 04.00, kami dan rombongan turis lainnya segera memulai acara pendakian gunung Ijen. Banyak dari mereka berwajah bule dan manusia Asia Tenggara yang berbahasa macam-macam. Di tengah jalan kami menjumpai muda-mudi dari Bangkok Thailand, saya dan kondom berusaha menyapa mereka dengan bahasa Thailand kami seadanya “Sawadee Khap!” kata saya, cewek-cewek Thailandpun menjawab ”Sawadee Ha!”. Setelah itu terhenti sejenak, karena hanya itu yang dapat kami ingat dari filem-filem mereka. Saya kemudian mencoba berbasa-basi dengan mereka berbahasa inggris dengan cara sok tau tentang apapun yang menarik dari Negara mereka. Namun sepertinya tidak berhasil, lantaran respond mereka yang pendek-pendek dan seakan tak ingin melanjutkan percakapan, atau mungkin Bahasa Inggris mereka yang kurang lancar (ingat tulisan perjalanan saya di Bangkok berjudul “Bangkok I’m in Lost part 2 –Macam-macam Sopir Taksi di Bangkok" -red).
Ya sudahlah, positif thinking saja. Mungkin alasan
terakhirlah yang benar. Kami melanjutkan perjalanan di pagi buta di temani
bintang-bintang terang di angkasa. Memang dalam satu jam pertama, jalanan
seakan menanjak tiada henti. Kamipun menjadi manusia-manusia terakhir dari
rombongan lainnya. Hingga mentari pagi mulai unjuk gigi, kami hanya mampu
menggapai pos timbang, tempat dimana banyak penambang belerang lokal menimbang
hasil pikulannya pagi itu.
Kami putuskan untuk istirahat
sejenak. Kondom berinisiatif melakukan kegiatan yang sama yang saya lakukan di
toilet pos keberangkatan tadi. Namun kali ini dia harus berhadapan dengan
toilet alam. Kabar terakhir si Kondom menemukan sebuah lubang yang berfungsi
sebagai toilet di suatu tempat dekat pos timbang, menurutnya lubang tersebut
cukup nyaman untuk menabung isi perut, karena kedalaman lubang tersebut tidak
terdeteksi dan tak tampak hasil menabung orang lain (bagian tidak penting kedua
-red).
Kami melajutkan perjalanan
lagi dengan jeprat-jepret di berbagai sisi pendakian, ada yang dengan
background pemandangan gunung Raung, background perbukitan di sisi gunung Ijen
hingga background batuan berwarna putih yang seolah berada di daerah bersalju. Hingga
akhirnya kami dapat melihat deretan pinggiran kawah Ijen dari kejauhan.
Perjalanan mendaki kami tempuh sekitar 1,5 jam lamanya. Kondisi pendakian
setelah pos timbang lumayan datar, tidak menanjak seperti sebelumnya, membuat
semangat kami untuk menuju kawah Ijen berkobar kembali. Ketika itu mentari
sudah menyinari sebagian besar kawasan danau kawah aktif terbesar di dunia
tersebut.
Sayangnya, kami tak sempat
melihat salah satu keajaiban alam berupa api biru di kawah Ijen ini. Konon
kabarnya, api biru ini hanya terdapat di dua tempat di dunia, saya lupa di
negara mana yang satunya berada. Melintasi pinggiran kawah Ijen, serasa
terbayar sudah hasil jerih payah pendakian sejauh 3 kilometer. Banyak turis
lainnya yang sudah terlebih dahulu mencapai tempat tersebut. Tak lupa kamu
berpose ria sambil bergantian memegang kamera untuk memotret.
Usai bernarsis ria dengan background
kawah Ijen, kami menjumpai gadis-gadis Bangkok yang kami temui tadi di awal
pendakian. Teman kami Jono berhasrat untuk mengajak ngobrol atau kenalan dengan
salah satu dari mereka. Namun dia sempat maju mundur untuk bertindak, hingga
akhirnya semua nyali terkumpul dan segera menyapa dengan kencangnya “Hei!”.
Tapi seolah tak paham maksud si Jono, sang gadis Bangkok tak merespon sama
sekali dan terus asyik dengan kameranya. Jonopun mengalihkan pandangannya seolah
sedang memanggil temannya dari kejauhan, hal ini dilakukannya untuk menahan
malu tak dapat respon dari gadis Bangkok. Sedangkan saya dan teman-teman yang
lain hanya tertawa geli melihat kejadian konyol itu.
Sayapun tak patah arang, demi
menunjukkan kepada Jono bagaimana berkenalan dengan seorang gadis Bangkok yang
baik dan benar. Saya segera mendekati dan menawarkan diri untuk memotret dia
dengan background kawah Ijen, namun dasar ceweknya yang koplak, dia menolak
tawaran manis saya dengan tegasnya sambil melambaikan tangan tanda tak setuju, jancik
beud!. Entah dia koplak atau takut saya tak tahu.
Segera kami putuskan untuk
turun mendekati danau kawah Ijen yang berwarna biru muda, cantik nian
pemandangannya kala itu. Luasan danau berwarna biru muda itu sekitar 5.466
hektar dengan kedalaman mencapai 200 meter, maka sangat layak gelar Danau Kawah
Aktif Terbesar di Dunia di sematkan pada kawah Ijen. Pesonanya memang luar
biasa, hingga ketenarannya menembus batas-batas negara. Terbukti dengan ramainya
turis asing yang berkunjung, bahkan lebih ramai di banding turis lokal Indonesia
ketika itu.
Dalam perjalanan turun menuju
kawah, saya mendapati beberapa penambang belerang yang sedang memikul belerang
di pundaknya sedang menaiki tangga. Bobot dari pikulan tersebut bisa mencapai
antara 80 hingga 100 kg, luar biasa. Belum lagi mereka harus mendaki dari kawah
kepinggiran kawah yang cukup jauh dan menanjak hingga akhirnya mereka berjalan
menuruni gunung Ijen hingga ke lereng gunung di pos keberangkatan. Tentunya
mereka akan berhenti sejenak untuk menimbang hasil pikulannya di pos timbang
tadi. Kegiatan ini mereka lakukan mulai pagi buta setiap hari, dengan frekuensi
antara sekali hingga 2 kali tiap paginya.
Tampak seorang bapak yang
cukup tua memikul beban berat keranjang bambu berisi belerang di pundaknya. Serasa
sangat berat hingga dia harus menaiki tangga batu satu persatu cukup lama. Saya
yang sudah tak sabar untuk turun kebawah harus menyaksikan kejadian yang
memilukan itu. Kasihan saya melihat bapak tua yang bersusah payah tersebut. Sayapun
berhasil mengabadikan kejadian itu lewat beberapa foto secara
sembunyi-sembunyi, takut ketahuan si bapak. Dihati saya pengen berfoto dengan
bapak tadi dan kemudian menyerahkan beberapa ribu rupiah sebagai upahnya.
Kami melanjutkan untuk
menuruni anak tangga terbuat dari batu menuju tambang belerang kawah Ijen.
Setelah cukup dekat kami tidak diperbolehkan untuk mendekat hingga ke tambang
belerang tersebut oleh beberapa orang penambang. Mereka bilang kalau terlalu
dekat akan sangat berbahaya, lantaran asap belerang yang pekat yang dapat
menyebabkan sesak nafas. Dalam perjalanan turun itu kami sempatkan beberapa
kali berfoto ria dengan latar belakang pemandangan kawah yang menakjubkan itu.
Di spot terakhir, saya
berkenalan dengan beberapa turis dari Malaysia. Kali ini turis-turis tersebut
tak berlaku sombong seperti turis Bangkok tadi. Mereka cukup ramah untuk di
ajak ngobrol pakai bahasa Inggris. Jonopun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk
berfoto ria dengan kedua gadis cina asal Malaysia tersebut.
Sejenak kami menikmati
indahnya ciptaan Tuhan di Negeri tercinta ini. Tak ada yang lain selain terucap
rasa syukur kepada Tuhan akan keindahan
alam yang terhampar di depan mata. Memang harus bangga menjadi orang Indonesia.
Pengalaman saya yang mengecap pendidikan di negeri tetangga (Malaysia), tak
satupun tempat wisata yang mereka banggakan dapat mengungguli keindahan yang
kita punya. Yang ada iklan wisata mereka yang selalu dapat mengungguli iklan-iklan
kita.
Beberapa waktu kemudian, kami
putuskan untuk kembali dan berencana istirahat sebentar di pos keberangkatan.
Perjalanan turun gunung serasa sangat mudah di bandingkan ketika mendakinya. Di
pos timbang saya menyaksikan para penambang sedang menimbang hasil tambangnya.
Beberapa spot kami manfaatkan untuk berfoto ria, seperti spot dengan latar
belakang gunung Raung.
Saya menjumpai sepasang lelaki
dan perempuan keturunan China berasal dari Lumajang sedang menuruni gunung,
kami sempatkan berkenalan dan mengobrol dengan mereka. Mereka sangat ramah,
hingga setiap penambang di sapa oleh si cewek tersebut, bahasa merekapun halus
dan sopan. Hal ini sangat kontras dengan citra orang-orang China perkotaan yang
terkesan eksklusif, kalau boleh di bilang sepasang kekasih tersebut adalah
orang-orang keturunan China yang sangat Njawani, salut buat mereka.
Diperjalanan turun pula saya
mendapati bapak tua yang bersusah payah tadi memikul hasil tambangnya. Tak
ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, saya dan Kondom segera mengambil tindakan
untuk berfoto dengannya bergantian. Selepas menyalurkan nafsu tadi, saya segera
mengulurkan selembar uang 20 ribu buat si bapak sebagai imbalan mau berfoto
dengan kami. Puas rasanya keinginan pas di kawah tadi sudah tercapai.
Tak terasa kami sudah sampai
di pos keberangkatan, terdengar kabar bahwa si Jono sudah terlelap di mobil.
Adalah kewajibannya untuk istirahat setelah memegang kemudi selama 5 jam dari Surabaya
tadi malam. Dan dia pula yang akan memegang kemudi kembali ke Surabaya nanti.
Dadan dan Bebek sudah berada di sebuah pondokan besar berwarna hijau di
kejauhan. Di situlah tujuan saya untuk beristirahat dan tidur sejenak. Seperti
petualangan kami sebelum-sebelumnya, tak lengkap rasanya kalau tanpa memasak mie
goreng untuk sarapan pagi.
Usai aktifitas pagi, kami
menuju ke mobil dan segera berangkat pulang. Sebuah pengalaman berharga
menikmati Kawah Ijen di Kabupaten Banyuwangi-Bondowoso. Karena dari perjalanan
itulah kami menemukan cinta kami yang sebenarnya terhadap negeri ini, negeri
dengan sejuta pesonanya. Kami bertekad untuk menjelajahi setiap sudut negeri
ini untuk kami tularkan dan kami bagi kisahnya kepada penduduk Indonesia dan
dunia. Sebuah perjalanan yang teramat istimewa “From Ijen With Love”.
No comments:
Post a Comment