Saturday, August 9, 2014

   

"Tretes Fall, Wonosalam"

Tretes Fall, Wonosalam

Kamis malam 31 Juli 2014, telepon saya berdering tanpa sempat saya jawab. Maklum, waktu itu saya tengah asyik melayani pelanggan pembeli kopi di Kedai Wani. Kemudian saya memutuskan untuk menelepon balik ke Eko, lantaran saya menganggapnya penting. Tanpa bisa bicara banyak saya minta dia untuk sms saja, saya tak dapat mendengarnya karena live music sedang berlangsung seru-serunya di Kedai Wani. Sms yang saya harapkan tak kunjung dikirim juga, penasaran akan berita yang Eko mau sampaikan, saya telepon lagi dia setelah pesanan semua pelanggan sudah saya bereskan.

Di ujung telepon Eko mengabarkan kalau dia dan kawan-kawan TAT (Travelistar Adventure Team) tengah merencanakan perjalanan menuju Air Terjun Tretes yang ada di Desa Pengajaran, Wonosalam, Jombang. Tanpa pikir panjang saya meng-iyakan ajakan mereka. Hanya saja, saya harus berangkat dari Surabaya di pagi buta, karena perjalanan akan dimulai dari Mojoagung sekitar jam 7 pagi.

Usai tutup Kedai, segera saya mencoba untuk mengistirahatkan tubuh biar dapat bangun subuh untuk sholat dan persiapan berangkat ke Mojoagung menemui mereka. Ah, namun nasib berkata lain, saya tak dapat tidur barang sedetikpun lantaran terlalu capek dan kepikiran trip yang akan kami lalui nanti. Terbayang-bayang perjalanan saya ke Air Terjun Tretes semasa SMP silam. Waktu itu saya masih kelas 2 SMP alias masih berumur cabe-cabean. 

Saya teringat suasana malam di desa Pengajaran bersama para kakak Pembina Pramuka. Dingin tapi asyik, malam itu juga kami melakukan dubbing suara untuk pementasan teater di sekolah SMP saya. Teringat juga perjalanan menyusuri hutan belantara Wonosalam yang terkenal masih asri dan hijau. Satu-satunya wilayah di Kabupaten Jombang yang berupa bukit dan pegunungan dengan Gunung Anjasmoro sebagai puncak tertingginya. Wilayah ini menjadi salah satu tujuan seorang naturalis asal Inggris bernama Wallace melakukan perjalanan penelitiannya di Indonesia untuk meneliti keanekaragaman hayati di wilayah ini, yang waktu itu masih bernama Neatherland East Indies. Hingga dia mengemukakan konsep Garis Walacea yang terkenal, yang membagi Wilayah Indonesia menjadi 3 bagian berdasarkan Keanekaragaman hayatinya.

Belum juga kelar melamun di atas tempat tidur, suara adzan subuh berkumandang. Mandi menjadi agenda wajib sebelum sholat subuh saya kerjakan. Usai sudah persiapan petualangan saya, segera saya menjejakkan langkah pertama menuju petualangan seru di Wonosalam.

Kira-kira 1 setengah jam saya lalui dalam bus menuju Mojoagung, cukup lama mengingat jarak antara Surabaya – Mojoagung kurang dari 80 km. Mungkin karena bapak sopirnya sudah kelebihan umur untuk menjadi seorang pengendara bus, sehingga bus melaju amat pelan. Tak lupa dia selalu memencet klakson berulangkali pada setiap pengendara di depannya, cukup mengganggu. Banyak dari pengendara sepeda motor yang menengok kearah bus setelah mendengar bunyi klakson tersebut, saya yakin mereka pasti merasa bingung karena merasa sudah berada cukup di pinggir lajur jalan, namun klakson dari simbah sopir tetap berbunyi.

Sesampai di seberang jalan Pasar Mojoagung, saya turun dari bus dan menunggu teman-teman menjemput. Saya menunggu dengan sangat cemas, bagaimana tidak, disaat yang sama perut saya mendadak mules bingits. Ternyata sakit perut semenjak di Surabaya belum juga usai. Apalagi angin pagi yang dingin berualngkali melalui area perut saya menambah rasa mules berlipat-lipat. Keringat dingin di tubuh sayapun bercucuran keluar. Sungguh detik-detik yang amat memilukan. Ditambah teman-teman yang saya harap segera menjemput tak kunjung datang. Tak tahan dengan gejolak di perut yang semakin meronta ingin di keluarkan isinya, saya putuskan untuk berjalan menuju Pom Bensin terdekat. Untunglah lokasi saya turun hanya sekitar 100 m dari Pom Bensin yang saya harapkan memiliki toilet dan tanpa harus mengantree. Alhamdulillah semuanya sesuai harapan saya, sesampai di depan pintu toilet segera saya…. (tiga kalimat berikutnya di sensor karena mengandung kata-kata tidak layak baca untuk anak-anak dan remaja). Croott… broott… kira-kira begitu suaranya.

Lega rasanya, di seberang jalan Eko sudah menunggu saya. Tepat di depan pasar Mojoagung teman-teman yang lain juga sudah menunggu. Segera kami berangkat kearah Wonosalam. Tak seberapa lama kami memutuskan untuk berhenti di sebuah warung pinggir jalan guna mengisi perut kami yang masih kosong, apalagi perut saya. Semua memesan jenis makanan yang sama, yaitu Rawon. Ditengah menikmati rawon kami bersenda gurau dengan guyonan khas ala TAT. Si Bebek (bukan nama sebenarnya, tapi nama panggilan asli) mengusulkan nama The Nekad Traveller atau di singkat TNT, namun yang lain seolah tidak setuju lantaran nama nekad traveler sudah di pakai sebuah program dari Telkomsel yang mengisahkan perjalanan beberapa orang dari Jakarta menuju Pulau Komodo dengan modal internet saja. Saya mengusulkan nama Travelistar Adventure Team atau di singkat TAT, kembali menuai pro dan kontra hingga tak ada satu namapun yang di setujui secara musyawarah mufakat.

Ibu-ibu penjual makanan tampak sumringah dengan senyum mencurigakan. Hati saya bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan senyum ibu-ibu ini. Mereka melihat kami seolah kami adalah mangsa buruan yang siap di santap. Tiba saatnya kami membayar makanan yang sudah kami santap, si Ibu mulai menghitung. “Rawon 5, 75 ribu, tambah teh panas 4 dan es teh 1 jadi 90 ribu, krupuknya 1, seribu” kata si ibu. “Totalnya 91 ribu” tambah si ibu. “Glek” tanpa sadar tenggorokan saya mengeluarkan bunyi, “Mahal amaaat” hati saya memberontak. Ternyata ini firasat saya tentang senyuman ibu-ibu tadi. Tanpa banyak mengucapkan kata-kata kami segera mengeluarkan uang masing-masing sambil tersenyum kecut. Oh wow, rawon yang tampak tidak mirip rawon itu harganya 15ribu per porsi, dengan kuah yang terlihat cukup bening dan lauk irisan kecil daging itu harganya 15ribu??. Ditambah teh panas dan es teh yang biasanya seharga 2ribu di sini harganya 5ribu. Oh tidaaaaak…

Dalam antrian mengisi bensin, kami kembali membicarakan hidangan dengan harga mewah yang barusan kami santap tadi. Si Dadan menyebutnya “Rawon Setan Liar”, si Bebek lebih parah lagi, dia sebut rawon tadi sebagai “Rawon Begal”. Saya hanya tersenyum sambil berujar “Sudah ndak usah di omongin lagi, biar menjadi sedekah”, maksud saya untuk membesarkan hati yang lagi dongkol.

Perjalanan kami lanjutkan menuju arah Wonosalam. Saya menikmati perjalanan yang cukup jauh dan berkelok-kelok naik turun, posisi saya ketika itu di bonceng Dadan. Kiri kanan jalan tampak hutan, sawah terasering dan rumah penduduk bergantian, khas daerah pegunungan. Beberapa kali kami menanyakan arah ke desa Pengajaran ke penduduk setempat, hingga akhirnya sampai ke tempat tujuan. Beberapa warga tengah berkumpul di tempat kami berhenti, sepertinya mereka tengah mempersiapkan sebuah acara di desa tersebut. Seorang warga menganjurkan kami untuk menitipkan sepeda motor kami di rumah warga, tanpa banyak tanya kami segera memarkir sepeda motor di salah satu rumah warga. Tak lupa kami berfoto ria di terminal ketibaan alias arrival terminal kalo di bandara-bandara.

Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Kira-kira 3 km perjalanan yang akan kami tempuh menuju Air Terjun Tretes. Sekitar 300 m pertama, jalanan masih berupa beton dengan lebar kira-kira + 3 m, kiri kanan jalan tampak rerimbunan kebun salak dengan pagar pembatas dari kayu dan pintu-pintu di beberapa sisi. Setelah itu di gantikan kebun kopi robusta dengan daunnya yang lebar dan buah kopi yang sebagiannya sudah matang memerah, tak lupa kami berfoto ria di beberapa spot.

Di ujung jalan beton kami terhenti, lantaran salah satu teman kami si Dadan tertinggal dan tak kunjung muncul. Sayapun berinisiatif kembali untuk menemui dia untuk mengetahui apa yang terjadi. Dari kejauhan tampak Dadan sedang berjongkok sambil mengeluarkan isi tasnya, setelah saya tanya apa yang dia lakukan, dia menjawab bahwa STNK sepeda motornya lenyap, dan dia sedang mencarinya di tas. Tak lama kemudian dia memutuskan untuk kembali ke parkir motor di rumah warga tadi. Sayapun kembali menemui teman-teman yang lain, kami memutuskan untuk menunggu si Dadan di ujung jalan beton itu. 

Beberapa menit kemudian muncullah Dadan dengan sepeda motor, dia berniat untuk melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motornya. Setelah pengamatan sebentar oleh Bebek, Dadan segera berangkat dengan 2 tas besar di punggung dan dadanya. Teman-teman yang lain termasuk saya segera melanjutkan perjalanan. Jalanan selanjutnya di gantikan jalan berbatu dengan lebar + 1 m, kiri kanan jalan pemandangan berubah menjadi rerimbunan hutan lebat dengan perbukitan hijau di kejauhan. Kini jalanan menjadi jalan setapak yang sempit di pinggiran bukit. Mirip dengan jalan setapak ketika kami menjelajahi pegunungan lain di Jawa Timur, semisal Penanggungan. 

Setelah melalui jalanan setapak kurang lebih setengah jam lamanya, kami menemukan Dadan sedang bersantai ria di jembatan terbuat dari bambu yang melewati sebuah sungai kecil berair jernih. Indah nian pemandangan kala itu, disungai berair bening itu terdapat bebatuan besar dan kecil hingga di beberapa tempat membentuk air terjun mini yang menimbulkan suara gemericik yang menenangkan jiwa. Air sungai mengalir menjauhi posisi kami ke arah lembah yang di apit pegunungan hijau di kiri kanan. Langit saat itu tidak secerah yang kami harapkan, tetesan gerimispun segera membasahi tubuh dan pakaian kami. Karena takut jalanan menjadi licin, Dadan memutuskan untuk meninggalkan sepeda motornya di sini. Walaupun sebelumnya dia coba untuk menaiki tanjakan licin di depan jembatan bambu. 

Kami segera mencari spot untuk menyembunyikan sepeda motor Dadan. Setelah ketemu, Eko melontarkan ide untuk menutupi sepeda motor tersebut dengan dedaunan kering dan apa saja yang ada di sekitar untuk menyamarkan sepeda motor si Dadan agar tak tampak oleh pengunjung lain ketika lewat jalanan ini. Tak lama untuk mennutupi speda motor dengan rerimbunan daun kering. Yang tadinya terlihat sepeda motor, kini hanya tampak rimbunan sampah kering di hutan, misi penyamaran berhasil.

Perjalanan kami lanjutkan kembali dengan menapaki jalanan setapak yang kini agak melebar, sesekali kami melewati hutan bambu dengan riuh suara serangga hutan dari kejauhan. Di beberapa spot kami manfaatkan untuk berfoto, seperti di spot sebuah pohon besar yang memiliki bentuk batang melengkung menyerupai pintu gerbang. Tak lama kemudian, kami menemukan pos dengan suasana yang rindang, terdapat pohon yang lumayan besar di sana. Sebuah bangunan terbuat dari kayu berdiri tegak di kanan jalan dengan posisi pintu tertutup, juga dipan lebar yang berada di bawah pohon besar di kiri jalan. Tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berstirahat, kami segera bersantai ria di dipan besar tersebut. Sembari mengambil gambar secara bergantian.

Saya teringat tempat ini lebih dari sepuluh tahun silam, suasana sekarang serasa sama dengan dahulu ketika saya menginjakkan kaki disini. Tanpa ada perubahan yang berarti. Lalu kamipun beranjak melanjutkan perjalanan, saya mengira perjalanan tinggal sedikit lagi. Ternyata masih cukup jauh setelah pos tadi. Walaupun dari kejauhan sudah nampak air terjunnya, namun tetap saja perjalanan masih terasa jauh dengan medan yang lebih menanjak.

Kira-kira 2 jam lamanya waktu yang kami tempuh menyusuri hutan menuju air terjun Tretes ini. Kini kami sudah sampai di hadapan air terjun yang katanya salah satu yang tertinggi di Jawa Timur (kata Bebek sih). Memang, tebing yang menjadi media turunnya air terjun tersebut cukup tinggi dan curam, alias tegak lurus 90 derajat. Air terjunnya cukup deras, terdapat air terjun kecil di sebelah kiri air terjun utama. Hawa di sekitar air terjun terasa sangat dingin. Sesampai di lokasi, kegiatan pertama kami adalah mengambil gambar kami berlima (saya, Dadan, Eko, Bebek dan Indah) dengan background air terjun Tretes. Pemandangan di sekitar air terjun didominasi warna hijau. Maklum, kawasan ini masih sangat asri dengan hutannya yang sangat lebat. Di sekitaran air terjun, tepatnya di aliran air sungai terdapat batuan granit yang besar-besar. Di bebatuan itulah kami bernarsis ria jeprat-jepret bergantian, tentu dengan background air terjun. Dari kejauhan Indah tampak merenung sendirian, tak lama si Bebek segera menghampiri kekasihnya itu yang sedang galau. Galau meratapi nasibnya selama ini.

Kami berempat melepas baju masing-masing, karena ingin bernarsis di tempat wisata alam berair ini. Usai foto bertelanjang dada, saya memutuskan untuk menghampiri air terjun yang sedari tadi menggoda tubuh ini untuk mencelupkan diri ke dalam kolam jernih di bawahnya. Semakin mendekat, hawa terasa semakin dingin. Seperti berada di ruangan berpendingin, ketika saya mencelupkan kaki di kolam itu, terasa air sedingin es. Saya nekad untuk berjalan mendekati air terjun setelah ajakan saya tidak digubris yang lain. Byurrr… saya mencoba berenang di kolam dengan air hanya setinggi pinggang itu. Hiii… dingin bingits, benar-benar sedingin air es. Tak tahan tubuh saya menahan dinginnya air kolam dibawah air terjun itu. Segera saya kembali menuju ke tempat dimana teman-teman saya berada.

Teman-teman yang lain ternyata sedang menikmati snack yang kami bawa. Saya ikut nimbrung setelah sebelumnya berganti pakaian. Tak lama kamipun memutuskan untuk kembali. Waktu perjalanan pulang kami habiskan lebih cepat, ditengah jalan kami berpapasan dengan beberapa kelompok pengunjung yang nekad mengendarai sepeda motor mereka hingga pos. Bahkan ada yang mencoba untuk mengendarainya melebihi pos. Namun urung setelah kami beritahu kalau jalurnya tidak mungkin untuk di kendarai sepeda motor.

Sesampai di jembatan bambu tempat Dadan menyembunyikan sepeda motornya kami berhenti beristirahat. Saya sempat memotret kondisi sepeda motor Dadan sebelum dan sesudah menjadi rimbunan sampah. Di sini kembali kami jeprat-jepret bergantian, lantaran suasananya terlalu indah untuk dilewatkan.

Kamipun kembali melanjutkan perjalanan pulang, Dadan sudah melesat duluan dengan sepeda motornya. Di tempat parkir rumah warga tadi kami memulai perjalanan kembali ke Mojoagung. Namun kami sempatkan untuk makan mie ayam di desa Wonosalam. Kali ini tidak ada lagi istilah Mie Ayam Setan Liar, atau Mie Ayam Begal. Yang ada mie ayam dengan harga standar.

Sesampai di Mojoagung, Eko memisahkan diri dari rombongan. Dia langsung menuju Gresik. Saya, Dadan, Bebek dan Indah sempat terhenti di sebuah ATM BCA, karena Bebek ingin tarik tunai. Dimana sebagian uangnya dipinjamkan ke saya sebesar 50ribu. Kemudian saya diturunkan Dadan di sebuah pertigaan jalan untuk melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan bus.

Sebuah kejadian memilukan terjadi lagi ketika saya berada di dalam bus. Ceritanya berawal dari sepinya bus menuju kota Surabaya ketika saya sedang menunggu bus balik. Sempat terlihat bus yang sama yang di sopiri si mbah tadi berlalu tanpa mau berhenti mengangkut saya. Tak lama kemudian tampak bus Harapan Jaya Patas dari kejauhan. Lantaran sudah terlalu capek dan belum tidur seharian, ditambah harus buka kedai karena sudah terlanjur janji dengan mbak Ratna. Akhirnya saya menyetop bus tersebut. Saya pikir harganya masih di sekitaran 25ribu, tak apalah. Karena pagi tadi ketika naik bus normal harganya hanya 9ribu saja.

Ketika di dalam bus, kondektur berpawakan pendek dan sedikit botak menghampiri saya. Dia menanyakan ke saya tujuan perjalanan saya. Sambil menjawab “Surabaya” saya menyodorkan uang 50ribu satu-satunya ke kondektur tersebut. Tak lama kondektur melipat uang saya sambil menyodorkan tiket berwarna putih ke saya, kemudian segera pergi ke tempatnya semula. “Loh” saya bertanya-tanya dalam hati “Kok gak dikasih kembalian sama sekali ya, ah mungkin nanti pas mau turun”. “Tapi kok dia gak bilang apa-apa?” gumam saya dalam hati. “Hah jangan-jangan harga tiketnya 50ribu??” saya mulai panik, karena sudah tak memiliki ongkos sama sekali. “Bagaimana dengan perjalanan saya dari Terminal Bungurasih ke kedai nanti?”. Jantung mulai dag dig dug, hati menjadi cemas tidak karuan. Saya mulai berfikir berbagai opsi jalan keluar setelah dari Bungurasih. Namun tampaknya kali ini otak saya sedang buntu.

Segera saya memberanikan diri bertanya ke kondektur tadi. “Pak sorry, harga tiketnya berapa ya?”. “Lima puluh ribu” katanya sambil menunjuk sebuah tulisan pengumuman di kaca bus tentang ongkos dari Jombang ke Surabaya yang bertuliskan 50ribu. “Mati aku” ucap saya dalam hati. Perasaan bingung bercampur cemas semakin menjadi-jadi. Otot-otot persendian saya mulai lemas dan pasrah. Namun saya tidak boleh menyerah, segera saya meminta ke kondektur tersebut. “Pak boleh minta diskon gak? Buat ongkos pulang naik bus kota” kata saya. “Tidak bisa” kata kondektur tadi singkat. Kembali saya memohon “Empat ribu aja pak, saya sudah ndak punya uang lagi” kata saya memelas. “Iya nanti saya kasih” kata kondektur tadi akhirnya membuat saya sedikit lega.

Namun, gelagatnya seperti tidak serius menurut saya. Di dalam hati saya masih cemas. Tak berapa lama naiklah beberapa orang penumpang baru berdiri di hadapan saya. Ketika si kondektur meminta ongkos karcis ke orang tersebut, segera saya kembali meminta. “Pak gimana kalau saya turun sini aja, duitnya bapak ambil separuhnya gak papa” ujar saya. “Nanti tak kasih mas” ujarnya singkat. Waduh, susah ngobrol dengan bapak kondektur satu ini. Tapi dengan begitu saya menjadi agak tenang karena dia sudah menegaskan akan memberi saya uang kembalian.

Tanpa saya sadari seorang ibu yang duduk di bangku pojok depan sebelah kiri memperhatikan saya. Ketika saya melihatnya si ibu malah tersenyum ke saya. Sayapun berusaha membalas senyuman si Ibu dengan memaksa otot muka saya yang sudah lunglai untuk tersenyum. Tak lama si Ibu bertanya ke saya. “Di Surabaya turun mana dik?” kata si Ibu berkerudung coklat itu. “Di Adityawarman bu, dekat Sutos” jawab saya. Dalam hati saya berfikir “Wah jangan-jangan si Ibu itu mau ngasih saya duit buat ongkos, atau bisa jadi nanti sampai di Bungurasih dia mau ngasih tumpangan ke saya”. Jadi serba salah, takutnya fikiran saya salah semua dan tidak terjadi apa-apa.

Tapi Allah memang tidak tinggal diam di saat umatnya di timpa kesulitan. Si Ibu tiba-tiba membuka dompetnya dan mengeluarkan uang sebesar 10ribu, kemudian menyodorkan uang tersebut kepada saya. Jadi serba salah, merasa sungkan tetapi tak bisa menolak pula. Saya segera bilang “Tidak usah bu ndakpapa”, eh dia malah maksa saya untuk terima. Akhirnya saya terima uang itu sambil berujar “Maaf merepotkan bu, terima kasih”. Sambil tersenyum lega. Si Ibu menjawab “Iya-iya ndakpapa, sambil nanti tetap diminta ya uang kembalian dari kondektur”. “Nggeh” saya bilang.

Lega rasanya masalah pulang selesai. Tanpa disadari, trip yang tadinya ingin murah meriah malah menghabiskan uang sebesar 150ribu walaupun tujuannya sekedar di Wonosalam saja. Sesampai di Bungurasih segera saya disodori uang 5ribu oleh kondektur tadi. Lumayan buat tambahan. Bus kota yang saya tumpangi ternyata berongkos 6ribu, untung di kantong sudah ada 15ribu, 10ribu dari si Ibu dan 5ribu dari kondektur bus. Perjalanan pulang yang teramat mengesankan.

Sesampai di Kedai segera saya mempersiapkan diri untuk bukaan Kedai Wani, karena malam itu akan ada live music kembali. Lantaran lidah sudah terlanjur berucap, maka saya wajib menepatinya. Resmi sudah saya tidak tidur sehari-semalam hari itu. 


2 comments:

  1. Wah, ditarget sama penjual rawon ya mas he he he .... kalau mau rawon yang enak dan nyaman tempatnya ada di sekitar alun-alun Mojoagung, harganya 22 ribu seporsi, meski agak mahal untuk ukuran Jombang saya yakin tak akan ada komplain tentang rasa ataupun sajiannya. Atau kalau di Wonosalam, ada sebelum WTC, harganya sekitar 12 ribu seporsi. Dua-duanya tempatnya permanen, bukan kaki lima.

    Salam,
    http://pencangkul.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. hehe okok mas thanks...
    kpn2 klo k sby main ke kedai wani jl adityawarman 108...

    ReplyDelete

Recent Comments