Showing posts with label majapahit. Show all posts
Showing posts with label majapahit. Show all posts

Saturday, August 17, 2013

   

Sambang Kahyangan part 7 'end', Situs Yoni & Pohon Sihir

0


Situs Yoni & Pohon Sihir
Perjalanan kami lanjutkan menuruni gunung ke arah Mojokerto. Sesampainya di bawah, kami berbelok ke arah Puri. Saya belum terfikirkan tempat seperti apa yang akan kami kunjungi kali ini. Sempat kang Paidi dan kang Didik berputar – putar arah di jalanan seolah lupa kemana kami harus pergi. Kami pun dengan sabar mengikuti laju motor kang Paidi yang kelihatan sudah tua. Setelah menemukan belokkan yang benar segera kami masuk jalan ke arah kiri. Perjalanan kami tempuh sekitar sepuluh menit dari jalan utama. 

Kemudian sampailah kami ke sebuah tempat, di mana terdapat pohon yang super besar. Dengan cabang yang mengarah ke delapan penjuru mata angin. Rindang pohon itu, sangat damai rasanya ketika berada di bawah teduhnya sang pohon. Kang Paidi menyebut area ini sebagai situs wanita atau yoni dalam bahasa kunonya. Kenapa pohon ini termasuk kategori situs? Itu karena ada beberapa bongkahan batu besar yang tercecer di bawah si pohon. Bentuk batuan besar tersebut tampak jelas adalah buatan manusia, dan sepertinya memang dulunya adalah menjadi bagian dari sebuah bangunan kuno atau candi. Tak lama kemudian saya di perlihatkan temuan kang Paidi berupa serpihan batu kecil yang berukir, sekali lagi, di sini memang lokasi sebuah situs kuno, yang kang Paidi dan penduduk lokal sebut sebagai situs Wanita atau situs Yoni. 

Entah mengapa namanya demikian, tapi yang jelas menurut pemaparan kang Paidi ada lagi situs yang tak jauh dari tempat ini bernama situs laki-laki atau situs Lingga. Sebuah pertanyaan kemudian muncul, lalu dimana lokasi situs Wanita ini sebenarnya? Ada kemungkinan letaknya tepat di bawah pohon tersebut. Hal ini dapat di lihat dari adanya beberapa batuan berbentuk kubus persegi panjang yang berada di antara akar pohon, terjepit dan sebagiannya tersembunyi di dalam. Lalu mengapa ada pohon sebesar ini yang tumbuh tepat diatas situs tersebut? Banyak pertanyaan memang yang muncul ketika kami mengunjungi tempat ini, dan jawabanpun akan tetap menjadi sebuah kesimpulan yang tak pasti. 

Kembali menurut kang Paidi, bahwa mungkin terjadi sebuah kesengajaan untuk mengubur atau menyembunyikan situs-situs tertentu demi menyimpan entah itu harta atau informasi yang berharga dari masa Majapahit akhir. Dan salah satu cara mereka melakukan penyembunyian itu adalah dengan menanam pohon yang dapat tumbuh menjadi sangat besar seperti yang terdapat di situs Wanita ini. Secara kasat mata, pohon ini memang sangat besar dan berumur ratusan tahun, mungkin sekitar dua ratus tahun. Dibutuhkan sekitar sepuluh orang dengan membentangkan tangan masing- masing untuk mampu merangkul diameter pohon ini. Bagi saya, pohon ini mengingatkan kepada pohon ajaib yang bisa bergerak di filem Harry Potter yang kedua, entah saya lupa namanya. Begitu besar dan begitu panjangnya  cabang pohon ini seolah-olah mampu menyeret seseorang dari jarak sepuluh meter lebih. Untungnya pohon ini tidak melakukan hal yang sama seperti dalam filem, bergerak dan memukul semua yang mendekat.

Puas bercengkrama dan menikmati situs Yoni dengan pohon besarnya, kami sempatkan  untuk berfoto bersama-sama dengan bantuan salah seorang pengunjung lain untuk jepret kamera. Dan kamipun melanjutkan perjalanan ke tempat terakhir, yaitu situs Lingga atau situs Laki-laki. Letaknya tak jauh dari situs Yoni, hanya berkendara sekitar lima menit perjalanan. Tepatnya di belakang Kantor KUA kecamatan Puri. Disamping lapangan sepakbola desa tersebut. Ketika kami sampai di tujuan terakhir itu, hanya perasaan miris yang muncul di dada. Terlihat dua buah pohon yang besar, tapi tak sebesar di situs Yoni, dengan beberapa tumpukan batuan andesit di antaranya, dimana tumpukan paling atas mirip dengan bentuk umpak atau dasaran tiang jaman Majapahit yang berjumlah dua buah. Sedangkan tercecer di sekitaran lokasi batu bata tak terkira jumlahnya dan sebagian besar tertutup sampah daun kering. Sehingga kami harus sedikit membuka tumpukan sampah tersebut untuk melihat batuan bata yang tercecer. Kotor dan tak terawat, itulah kesan yang kami dapat dari tempat tersebut. Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar situs Undercover di wilayah Mojokerto, seolah pemerintah dan masyarakat sekitar tidak sadar betapa berharganya situs-situs tersebut sebagai peninggalan kejayaan masa lalu. Apalagi warga sekitar situs terkesan memandang situs tersebut tak ada gunanya, atau bahkan mereka malah dengan sengaja mengambil bagian dari situs tersebut untuk dijadikan material bangunan rumah mereka. 

Ironi memang, lebih parah lagi ketika sebagian warga menjual bagian situs berupa batu bata besar dengan harga sangat murah. Saya pernah mendengar sebuah berita bahwa suatu ketika ada oknum pemerintah yang mengangkut ke atas dua buah truk besar batuan candi yang baru di ketemukan dan tidak dapat diketahui kemana mereka pergi. Entah itu di jual atau di apakan saya tidak tahu. Yang jelas apabila ada orang yang perduli dan memperkarakan, maka di butuhkan sebuah bukti yang kuat untuk melacak keberadaan bagian situs yang hilang.

Dengan adanya tulisan ini, harapan kami adalah semakin banyak orang yang sadar dan mampu untuk melestarikan peninggalan masa lalu kita, sehingga anak cucu kita masih dapat menikmati kisah – kisah kejayaan masa lalu bangsanya dan menjadi acuan untuk menjadi bangsa yang besar di masa depan.

[...fin...]
Complete Story »

Sambang Kahyangan part 6, Ketan Hitam Kupu-kupu

0


Ketan Hitam kupu-kupu
Setelah keluar ke jalan utama, kami dapati kang Paidi dan kang Didik sudah tidak tampak, kami kira mereka melanjutkan perjalanan naik ke atas. Ternyata kami salah, mereka sudah perjalanan balik ke arah Mojokerto. Saya, kang Ketut, Ryan dan Dita pun segera menyusul mereka dengan memutar arah. Tak jauh dari kami memutar arah sekitar lima menit, kami mendapati mereka sudah stand by di pingir jalan dengan seorang ibu penjual minuman ketan hitam. Sungguh lezat, kata saya. Tapi tidak, saya sedang berpuasa dan pantang untuk berkeinginan mencicipi minuman tersebut. Tapi hal yang sama tidak terjadi bagi teman-teman yang tidak berpuasa, mereka dengan leluasa menikmati minuman ketan hitam itu. Saya dan kang Didik saja yang berpuasa pada saat itu, the rest... NO. 

Tapi tak apalah, saya tetap dapat menikmati suasana pegunungan yang indah. Nun jauh di sana nampak perbukitan berjejer indah berwarna kehitaman di kaki gunung Arjuno dengan kabut tebal yang menutupi sebagiannya, seolah malu sibukit terlihat oleh mata kita. Juga hamparan sawah terasering yang sangat memukau ditambah aliran air sungai yang memantulkan cahaya matahari. Sungguh indah, gumam saya. Di sana sini tampak beberapa gerombol pohon besar menambah segar pemandangan yang kami dapati. 

Dan ibu penjual minuman ketan hitampun dengan sabar meladeni kami, pembeli terakhir. Karena kang Ketut segera memborong semua ketan hitam yang di jual si ibu. Saya jadi teringat sebuah lagu yang biasa di mainkan teman-teman band reggae berjudul Kopi Hitam Kupu-kupu, tapi segera saya ubah syairnya menjadi Ketan Hitam kupu-kupu. Mengingat pemandangan yang saya dapati seorang ibu yang menjual minuman ketan hitam, LEZAT.
(to be cont...)
Complete Story »

Friday, August 16, 2013

Sambang Kahyangan part 5, Terkesimaku di Kesiman Tengah

0


Terkesimaku di Kesiman Tengah
Perjalanan dilanjutkan menelusuri jalan ke arah pacet. Sesampainya di desa Gondang, kami berhenti di sebuah rumah, ternyata di rumah tersebutlah kami mendapati buku yang dimaksud oleh kang Didik. Sesaat kami habiskan waktu bercengkrama dengan penghuni rumah yang ternyata adalah seorang perupa seni lukis. Kemudian perjalanan dilanjutkan dan terhenti lagi sejenak di masjid yang berada di desa Padi untuk melaksanakan sholat Dhuhur.

Kembali kami lanjutkan perjalanan menuju desa Kesiman Tengah, sekitar lima belas menit perjalanan kang Paidi dan kang Didik membelokkan arah motornya ke kiri dan memasuki sebuah gang yang lumayan besar jalannya. Kamipun mengikutinya dari belakang, setelah bertanya ke salah satu warga kami segera beranjak ke tempat tujuan yang di maksud. Jalanan di desa Kesiman Tengah sangat indah dimana kiri dan kanan jalan kita akan disuguhi pemandangan sawah dengan model teraseringnya. Dari kejauhan di sebelah kiri tampak jelas gunung Penanggungan berdiri kokoh. Dan di sebelah kanan pula tampak kaki gunung Arjuno dan jajaran perbukitan yang indah di sekitanya. Waktu itu puncak gunung Arjuno sedang tertutup kabut sehingga tak nampak dengan jelas. Di tengah perjalanan kami semua tanpa sadar memperhatikan sebuah bukit yang di puncaknya terdapat sebuah pohon besar. Bukit tersebut lebih menyerupai sebuah Piramid besar yang letaknya sekitar dua kilometer sebelah kanan dari jalanan tempat kami berada. Tak lama kemudian kami belok kekiri, dengan kondisi jalanan kecil berpaving. Hingga tiba di ujung jalan kami terhenti, ternyata jalan tersebut menuju ke area pemakaman warga dan pastinya kami telah salah jalan. Sejenak kami berhenti di lokasi tersebut tak dapat menyia-nyiakan waktu untuk berpose di depan kamera, karena viewnya yang sangat indah dengan background persawahan dan gunung Penanggungan.

Segera kami memutar arah dan kembali ke jalan utama. Namun beberapa saat berkendara kami terhenti lagi karena kang Paidi mencoba untuk bertanya pada warga yang tampak di situ. Dan kamipun tiba pada belokkan yang pasti di rasa sudah benar. Jalanan kecil itu kondisinya lebih buruk daripada jalanan menuju area pemakaman tadi. Jalan masih berupa tanah berumput dengan kubangan air dan lumpur di beberapa bagiannya, hingga mengharuskan saya dan teman-teman untuk melepaskan sepatu dan ber-nyeker ria. Tak jauh kami memasuki areal persawahan sekitar tiga ratus meter, kami melihat sebuah bangunan berwarna batu kali berbentuk kubus di kejauhan. Bangunan tersebut terletak tepat di tengah-tengah persawahan padi warga. Kamipun diharuskan untuk melewati medan berupa pematang sawah kecil yang lebarnya seukuran kaki. Pematang sawah biasa kami sebut galengan, yaitu pembatas petak sawah yang dalam kasus ini bermodel terasering. Sehingga petak yang satu lebih tinggi dari petak sebelahnya. Hingga sampailah kami di sisi candi berpagar kawat berduri yang pintunya tertutup rapat itu. Sejenak saya di buat bingung dan berfikir, darimana saya harus masuk ke area candi tersebut. Dan muncullah ide untuk menerobos lubang yang mungkin sengaja di buat seseorang untuk menerobos masuk area candi tepat di sisi kanan bawah pintu masuk. Saya segera masuk dan di susul teman-teman yang lain.

Sesampainya di bagian dalam saya segera mengambil beberapa gambar relief yang ada di dinding candi berbentuk kubus tersebut. Kondisi candi tersebut sepertinya tidak dalam keadaan utuh. Seakan bagian atap candi sudah tidak ada lagi. Anehnya candi tersebut tidak memiliki pintu masuk ke bagian tengah candi. Sehingga hanya terlihat bentuk kubus tanpa pintu. Saya amati bagian-bagian relief dari sisi satu ke sisi lainnya. Gambar pertama yang saya amati adalah adanya relief berbentuk kelinci di dalam lingkaran oval horisontal, dimana kelinci tersebut seperti sedang memakan sayuran di mulutnya. Kemudian ada gambar berupa sengkala, tapi dalam bentuk relief. Hal ini sangat menarik mengingat sebagian besar candi yang di temukan di Jawa memiliki Sengkala yang terletak di atap pintu. Sengkala berwujud kepala monster raksasa dengan mata melotot dan taring panjang yang muncul dari dalam mulut, sengkala ini di maksudkan untuk menghindari bala atau menjaga tempat suci dari roh-roh jahat. Muka sengkala biasanya sangat menyeramkan, akan tetapi beda kasusnya dengan sengkala yang ada di Candi Kesiman Tengah tersebut. Rupa sengkala lebih mirip sebagai ornamen hiasan yang lucu dan cantik, kita akan tahu kalau itu adalah gambar sebuah kepala monster seperti sengkala. Hanya saja dengan bentuk yang lebih halus dan indah. Kemudian ada pula gambar relief yang menggambarkan sesosok perempuan separuh badan yang di kedua tangannya memegang sesuatu. Saya amati lebih dalam gambar tersebut dan dapat menyimpulkan mungkin yang di pegang di tangan kiri adalah sebuah wadah seperti gayung terbuat dari logam berisi buah-buahan dan tangan kanan menggenggam setangkai bunga teratai yang tegak ke atas. Kemudian ruangan yang kosong dalam lingkaran oval tersebut di isi dengan relief sulur-sulur yang indah seperti bertaburan bunga. Juga pada luar lingkaran oval tersebut terdapat relief bunga. Dan kita akan menemukan relief sengkala yang sama yang sepertinya berada di sela-sela setiap relief yang ada, mungkin sebagai pembatas antar gambar.

Pada ujung dinding berelief terlihat sesosok gambar monyet berdiri tegap dengan tangan menengadah ke atas. Kenapa monyet, karena terlihat ekornya yang menjuntai ke atas dan bagian muka menyerupai seekor monyet. Banyak orang melihat monyet tersebut sebagai sesosok Hanuman dalam cerita Ramayana agama Hindu. Akan tetapi bagi saya itu bukanlah Hanuman, melainkan seekor monyet biasa. Hal ini dapat dilihat dari atribut si monyet yang sangat sederhana tidak sekompleks atribut Hanuman pada umumnya. Memang, banyak yang menyimpulkan bahwa candi Kesiman Tengah adalah candi yang bercorak Hindu. Tapi sekali lagi saya tidak sependapat dengan kesimpulan itu. Karena tidak terdapat adanya relief-relief yang menceritakan tentang cerita-cerita klasik agama Hindu sama sekali. Baik cerita Ramayana maupun Mahabarata dan yang lainnya. Juga menurut saya di candi manapun yang becorak Hindu, tidak pernah di jumpai relief bergambar kelinci. Terkait dengan sengkala yang ada di sela-sela relief lainnya, saya dapat menyimpulkan sebagai berikut. Bahwasanya tradisi sosok sengkala merupakan produk budaya asli Indonesia, terutama Jawa. Saya belum pernah melihat sosok sengkala berada di atap kuil orang hindu di Malaysia. Ini bukti bahwa Sengkala bukanlah tradisi bawaan Hindu dari India. Tapi Asli dari indonesia yang kemudian berasimilasi dengan produk budaya Hindu-Budha.

Kemudian ada pula relief yang menggambarkan seperti orang sedang melakukan lomba tarik tambang. Dengan peserta di masing masing sisi dua orang. Terlihat sangat jelas postur dan posisi tubuh di masing-masing figur seperti sedang saling menarik sesuatu yang mereka pegang di masing-masing ujungnya. Setelah diamati lebih dekat, ada kemungkinan benda yang menjadi rebutan atau objek yang di tarik menyerupai sebuah tali tambang besar. Hal ini memunculkan teori baru tentang perlombaan tarik tambang yang sering diperlombakan pada hari kemerdekaan Indonesia. Bahwa lomba tersebut merupakan tradisi budaya asli dari Indonesia, bukan permainan yang di bawa oleh orang asing. Sehingga apabila negara lain mengklaim perlombaan tarik tambang sebagai hasil budayanya, maka kita dapat berargumen bahwa lomba tersebut berasal dari Indonesia dengan menunjukkan bukti berupa relief perlombaan tarik tambang di Candi Kesiman Tengah. Salah seorang teman bernama Ryan memiliki teori lain tentang sifat dan tujuan pembuatan candi tersebut. Dia berpendapat bahwa relief candi itu menunjukkan adanya sebuah perayaan yang dilakukan penduduk pada masa itu, sebagaimana di tunjukkan dengan perlombaan tarik tambang dan ornamen-ornamen sekelilingnya yang menunjukkan banyak hasil bumi berupa untaian padi dan lainnya. Figur yang ditampilkan juga bukan merupakan tokoh kerajaan dengan berbagai aksesoris kebesarannya, akan tetapi lebih bersifat sederhana dan mencerminkan sosok rakyat jelata.

Kemudian ada lagi relief yang menurut saya sangat aneh dan fenomenal. Yaitu sebuah relief yang menggambarkan sesosok figur separuh badan manusia berupa wanita dengan sayap di belakang dan memiliki kaki berupa kaki burung juga ekor serupa dengan burung. Sangat aneh bagi saya dan sangat sulit untuk menyimpulkan sesuatu dari keadaan relief tersebut. Satu tangan memegang seperti gayung logam dan di tangan satunya memegang sebuah senjata berupa Gadha.

Biarlah begitu adanya tanpa kesimpulan yang jelas. Saya sempat menaiki bagian atas candi yang sepertinya terpotong itu. Dari atas tampak dua buah lubang di tengah candi. Saya tidak mengerti apa fungsi dari lubang tersebut. Satu lubang kecil di pinggiran dan sebuah lubang yang cukup besar di tengah. Sayapun segera turun dan mengeksplorasi lubang yang besar. Siapa tahu dapat menemukan sesuatu yang berharga fikir saya. Dita segera menyusul dan turun ke bawah, alih-alih menemukan sesuatu, kami berdua malah asyik berfoto ria dalam lubang tersebut. Dengan background dinding candi bagian dalam yang sebagiannya di tumbuhi lumut, sehingga nampak terlihat tua dan kuno.

Ketika menaiki candi, saya sempat berbincang dengan Kang Paidi. Dia menyebutkan bahwa kemungkinan candi tersebut bukan berasal dari era Majapahit. Terlihat dari jenis batu dan bentuk ukiran yang lebih sederhana. Jenis batu yang di pakai untuk candi Kesiman Tengah merupakan jenis batu yang sangat keras, analisa ini di dapat dengan percobaan membenturkan jari bercincin logam kang Paidi ke salah satu batu candi sehingga menimbulkan bunyi nyaring, seolah-olah cincin logam tersebut membentur ke permukaan logam lain. Ini adalah bukti bahwa bahan batu yang dipakai pembangunan candi adalah bahan batu bersifat sangat keras, lebih keras daripada bahan batu di candi lainnya pada era Majapahit maupun yang lainnya, yang juga merupakan bahan impor dari wilayah lain. Sedangkan ukirannya terlihat seperti ukiran tipis, dimana ukiran tersebut masih bertahan lama hingga sekarang. Dan bentuk relief yang relatif lebih sederhana tanpa menceritakan cerita-cerita keagamaan baik Hindu maupun Budha.

Puas menikmati candi Kesiman Tengah dari berbagai sisi, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, yang saya sendiri belum tahu kemana waktu itu. Sebelum beranjak pulang kami bertemu para kenalan kang Paidi dimana salah seorangnya adalah seorang perupa dalam bentuk sketsa. Dimana kemudian kang Paidi bercerita bahwa kejadian bertemu dengan mereka seperti mengalami sebuah De Javu.

Setelah melewati ‘galengan’ sawah, dan berada pada jalan tanah yang kami lalui tadi. Kami terhenti sejenak di sebuah sungai kecil untuk sekedar mencuci kaki kami yang kotor di lumuri lumpur sawah. Tanpa di duga kami menemukan sebongkah batu besar berbentuk kubus panjang. Tanpa pikir panjang kami segera menyimpulkan bahwa bongkahan batu tersebut adalah bagian dari sebuah candi, entah itu bagian dari candi Kesiman Tengah atau mungkin candi yang lain yang menurut kang Paidi sudah terurai berantakan di mana-mana. Sebuah tanda tanya besar masih menyelimuti pikiran kami tentang asal batu tersebut. Seperti umum di ketahui, ada beberapa situs yang masih dapat ditemui di sekitaran areal persawahan desa Kesiman Tengah, seperti situs prasasti Batu Tulis yang letaknya tak jauh dari situs candi Kesiman Tengah. Sehingga memunculkan kesimpulan bahwa area tersebut merupakan area sebaran situs yang berdekatan satu sama lain. Sebagaimana bukit Piramid yang tampak dari kejauhan tadi.

Puas bercuci kaki ria, kami melanjutkan berjalan menuju arah parkir sepeda motor kami. Di ujung jalan tepatnya di jalanan aspal, kami mendapati beberapa anak kecil yang sedang bermain. Di situ kami sempatkan bertanya kepada mereka perihal bukit yang mirip Piramid tersebut. Mereka menjawab kalau di puncak bukit tersebut terdapat sebuah makam, entah makam siapa mereka tidak dapat memastikan. Sedangkan masyarakat sekitar menyebut tempat tersebut dengan sebutan ‘Puthuk’. Itu adalah sebutan umum masyarakat Jawa untuk sebuah tempat kuno yang sakral yang biasanya terdapat makam kuno juga, dan biasanya berlokasi di tengah areal persawahan.

Segera kami kembali berkendara menuju arah pulang dengan, sekali lagi, sebuah tanda tanya besar tentang keberadaan ‘Puthuk’ bukit Piramid itu. Saya yakin, bahwa suatu ketika kami akan datang kembali ke tempat ini dan menjelajahi bukit Piramid tersebut, sehingga memungkinkan kami untuk menemukan apakah memang bukit piramid itu adalah sebuah situs kuno atau bukan.
(to be cont...)
Complete Story »

Sambang Kahyangan part 4, Piramid Majapahit

0


Piramid Majapahit
Sesampainya di sekitaran dusun Demangan desa Poh Kecik kecamatan Dlangu, kami berbelok arah ke kiri menuju ke sebuah perkampungan yang lumayan modern. Rumah-rumah di kampung tersebut sudah merupakan rumah permanen yang menunjukkan tingkat ekonomi menengah ke atas. Tak jauh dari gang masuk kampung, sekitar lima ratus meter, kami tiba di sebuah tempat yang dengan tegas di awal saya melihat bahwa gundukan batu bata tersebut membentuk sebuah Piramid tidak sempurna. 

Mengapa saya katakan tidak sempurna, karena sudah banyak bagian bangunan yang berserakan tidak teratur dan sedikit mengubah bentuk besar awal. Tapi sejauh saya memandang, bangunan tersebut masih dapat dikatakan mirip dengan bangunan piramid. Inilah yang kang Paidi katakan sebelumnya sebagai ‘Piramid Majapahit’. Waktu itu saya belum yakin, karena foto hasil jepretan kang Paidi tidak menampakkan bentuk bangunan yang utuh alias bagian-bagiannya saja. Namun setelah melihat sendiri, saya jadi yakin kalau bangunan tersebut berbentuk piramid. Luas bangunan hampir seluas antara tiga ratus hingga empat ratus meter persegi, dengan dikelilingi pagar tembok setinggi setengah meter dan di sisi utara bangunan tersebut di tanami dengan pohon jati yang sekarang kira-kira berumur lima tahun. Kamipun segera memulai penjelajahan mengarungi berbagai sisi bangunan piramid tersebut. 

Sesampainya di lokasi, saya segera mendekat dan menaiki sisi utara bangunan yang lebih tinggi. Sepertinya bangunan tersebut memiliki tiga tingkat sebagaimana yang pernah saya lihat di candi Sukuh. Tingkatan pertama adalah yang paling luas yang memiliki pelataran melingkar membentuk piramid terpotong. Di situ terdapat jajaran batu kali berbentuk persegi panjang memanjang yang menghubungkan antara tingkatan pertama dan yang kedua, atau bisa juga di sebut batu pijakan menuju tingkatan kedua yang merupakan sebentuk piramid terpotong dan lebih kecil. Di sisi utara sebelah kanan tingkatan pertama berdiri sebuah bangunan tembok yang masih terlihat utuh setinggi sekitar kurang dari dua meter. Sebagian besar bangunan piramid tersebut terdiri dari batu bata besar, kecuali pada tingkatan ketiga yang di dominasi oleh tumpukan batu kali. Di sekitaran pelataran tingkatan pertama, tepatnya menempel tembok tingkatan ke dua, berdiri beberapa pohon yang cukup besar, sepertinya akar pohon-pohon tersebut ikut menjaga bentuk asli bangunan, buktinya adalah tembok yang saya sebut tadi yang terlihat relatif lebih utuh daripada di sisi timur yang sudah kelihatan tidak berbentuk. Pada sekitaran pijakan batu, saya dan Ryan meneliti atau memperhatikan batu-batu bata besar, di mana pada bagian tengah batu bata tersebut terdapat pola seperti goresan dua jari yang membentuk- apabila masih utuh- lingkaran atau setengah lingkaran. Hal itu dapat kami temui di sebagian besar batu bata lainnya. 

Batu-batu bata tersebut terlihat lebih tebal dan lebih besar dari batu bata jaman Majapahit. Menurut analisa kang Paidi, bisa jadi bangunan yang orang lokal sebut sebagai sebuah ‘Punden’ tersebut umurnya jauh lebih tua daripada peradaban Majapahit. Hal ini terlihat pertama, dari struktur bangunan secara keseluruhan sebagai sebuah bentuk Piramid bertingkat. Kedua bahan material berupa batu bata yang ukurannya jauh lebih besar dari yang dipakai sebagai bahan bangunan masa Majapahit. Mungkin benar, mungkin juga salah, analisa kami hanya sebatas perbandingan bentuk fisik saja. Kemudian bentuk yang dikatakan sebagai ‘Punden Berundak’, apabila mengacu pada pengetahuan sejarah anak SD, adalah sebuah bentuk bangunan kuno bertingkat-tingkat mengerucut ke atas yang biasa di gunakan sebagai acara ritual pada jaman sebelum era kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, alias Jaman Pra-sejarah. 

Sedangkan analisa saya, pada jaman dahulu, mungkin ribuan tahun silam, masyarakat Indonesia sudah memiliki bentuk kekayaan intelektual yang tinggi sehingga mampu menghasilkan bentuk arsitektur yang megah seperti piramid dan sebagainya, yang menurut peneliti jaman sekarang adalah ‘sederhana’ dan ‘kurang canggih’. Hal ini dibuktikan dengan adanya bentuk arsitektur Candi Bodobudur di Magelang, di mana para arsitekturnya menggabungkan seni arsitektur lokal dan asli Indonesia dengan seni arsitektur yang di pengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Ketika kita lihat Candi Borobudur secara utuh, maka akan tampak sebentuk piramid terpotong dengan pola-pola yang sangat mengesankan. Itu adalah bukti kecanggihan nenek moyang kita. Sedangkan kasus Piramid yang berada di dusun Demangan desa Poh Kecik ini, adalah bukti peradaban kuno Jawa yang masih murni dan belum tersentuh unsur budaya Hindu-budha, yang bisa jadi pada saat jaman dipergunakannya piramid tersebut, bentuknya akan sangat jauh lebih indah dan lebih megah, di mana kita saat ini hanya mampu menikmati reruntuhannya saja yang tak terurus dengan baik.

Pada Tingkatan kedua sebelah utara, tampak dengan jelas jajaran batu kali berbentuk persegi panjang berdiri membentuk sebuah tembok yang mengelilingi tingkatan ke tiga. Dimana diatas jajaran batuan tersebut terdapat tumpukan beberapa lapis batu bata yang juga membentuk dinding tingkatan ke tiga. Terdapat juga beberapa pohon berdiri menjulang ke atas di beberapa sudut tingkatan ke dua. Di situ kang Paidi menunjukkan kepada saya sebuah temuan pecahan yang terbuat dari terakota berbentuk ukiran yang indah, seperti kumpulan bunga. Yang menurut kang Paidi itu adalah bukti peninggalan berupa alat yang bersifat keagamaan. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa bangunan tersebut pada jaman dahulu berfungsi sebagai lokasi ritual keagamaan. Hanya saja pecahan terakota tersebut mirip dengan bentuk-bentuk yang ada di situs peninggalan keagamaan era Majapahit.

Hal ini mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Telah diketahui secara umum bahwa era Kerajaan Majapahit tidak banyak membangun candi-candi baru yang sifatnya berupa bangunan keagamaan. Karena pada masa itu tugas kerajaan di fokuskan untuk ekspansi wilayah dan memajukan perdagangan. Maka dari itu, bangunan-bangunan kuno yang sifatnya lebih tua dari era Majapahit masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar, dan tetap difungsikan sebagaimana mestinya. Seperti misal Candi Brahu di Trowulan, dimana tetap di fungsikan sebagai tempat penyimpanan abu para raja. Padahal candi tersebut sudah ada sebelum jaman Majapahit. Begitu juga dengan Candi Simping atau yang lebih di kenal dengan nama Candi Penataran di Blitar. Candi tersebut di bangun pada masa Kerajaan Singosari atau Tumapel. Bahkan ada yang mengindikasikan bahwa candi tersebut di bangun jauh lebih lama sebelum kerajaan Singosari. Hal ini dibuktikan dengan adanya material pembangun candi yang berbeda di tiap bagiannya. Di mana bangunan candi selalu d renovasi atau di perbaharui oleh kerajaan berkuasa pada jaman yang berbeda, begitu juga dengan jaman Majapahit. Pada jaman Majapahit, candi Simping juga mengalami pemugaran dan penambahan bangunan dan masih di gunakan sebagai tempat ritual kaagamaan terutama untuk para Raja dan keluarga kerajaan.

Sama kasusnya dengan situs Piramid di desa Poh Kecik, yang mungkin masih dipergunakan oleh penduduk sekitar untuk upacara keagamaan pada masa Kerajaan Majapahit. Sehingga dapat ditemukan banyak sisa peninggalan berupa alat-alat upacara keagamaan di tempat tersebut.

Ketika menaiki ke tingkat terakhir atau tingkatan ke tiga, ditengah-tengah terdapat bangunan berupa tumpukan batu kali dan batu bata yang membentuk kerucut ke atas agak meruncing. Bangunan itu dapat di indikasikan sebagai puncak dari situs Piramid. Di atas bangunan puncak tersebut, kami jumpai beberapa benda yang unik. Pertama adalah sebentuk pecahan terakota yang mirip dengan ujung kendi minuman orang Jawa, kemudian ada beberapa sisa pembakaran dupa di salah satu ujung bangunan itu. Juga ada sebuah wadah dari tanah liat yang mungkin juga sebagai tempat orang menancapkan dupa. Selebihnya adalah susunan batu yang menumpuk membentuk bangunan puncak Piramid. 

Di sisi Barat tingkatan ke tiga berdiri sebuah pohon yang lumayan besar, kemungkinan berasal dari spesies pohon beringin dengan akar gantungnya yang khas. Akar pohon ini mencengkram kuat dan seolah-olah tak tergoyahkan oleh apapun disekitarnya dan mampu menjaga struktur bangunan di tingkatan ketiga.

Beranjak dari tingkatan ke tiga, kami menuruni sisi selatan dari situs Piramid tersebut. Di tingkatan pertama sisi selatan, kami menemukan banyak benda terbuat dari terakota berserakan di bawah pohon di ujung tingkat pertama. Sepertinya ada seseorang yang sengaja mengumpulkan pecahan-pecahan terakota tersebut. Bukti ketika kang Paidi menemukannya, pecahan-pecahan tersebut berada di bawah tumpukan material berupa glangsing, dan sebagiannya lagi berada di dalam sebuah kantong plastik. Kami segera menganalisa dan berusaha mengenali pecahan tersebut. Ryan dengan cerdasnya berusaha menggabungkan kembali sebuah bentuk dasar gentong yang membentuk lingkaran. Ada pula pecahan yang menyerupai ujung genteng rumah orang Jawa yang berukir melingkar. Juga bentuk terakota berukir lainnya yang tidak sanggup kami analisa lebih jauh karena ukirannya yang tidak jelas. 

Saya segera beranjak naik lagi ke atas mendekati pohon besar yang ada di tingkat tiga. Disitu kami dapati sesosok arca kecil dengan tinggi kurang lebih empatpuluh centimeter, dengan bentuk yang sudah sangat aus, sehingga sudah tidak dapat dikenali lagi bentuk tokoh arca tersebut. Akan tetapi memang masih terlihat jelas bagian muka dan kepala dari arca itu. Menurut kang Paidi, bahwa memang itu adalah sebuah arca kuno, akan tetapi baru diletakkan di lokasi itu. Kemungkinan warga sekitar menemukan arca kuno tersebut dari lokasi lain di sekitaran piramid dan meletakkannya di tempat yang lebih layak. Saya segera turun kembali menuju bagian luar situs piramid, dari luar sisi sebelah selatan, saya mendapati tumpukan batu bata yang tersusun rapi membentuk pinggiran piramid tingkat pertama, sehingga masih tampak struktur aslinya yang berbentuk kotak. Di sisi selatan tengah juga terdapat sebuah anak tangga baru yang di buat warga sekitar untuk memudahkan pengunjung menaiki piramid menuju tingkatan pertama. Puas kami menjelajahi hampir keseluruhan situs Piramid, kami segera melanjutkan perjalanan kembali.
(to be cont...)
Complete Story »

Recent Comments